Sunday, December 27, 2015

RI MERDEKA DAN BERDAULAT 17. 8. 1945. INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH




REPUBLIK INDONESIA
MERDEKA DAN BERDAULAT 17 AGUSTUS 1945 
INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH


 
Catatan Batara R. Hutagalung. 
Minggu 27 Desember 2015.


Tepat 66 tahun lalu, sebagai hasil Konferensi Meja Bundar. Di Ridder Saal (Balai Ksatria) Amsterdam, dilangsungkan upacara “Pelimpahan Kewenangan” (Inggris: transfer of sovereignty. Belanda: soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pemerintah belanda diwakili oleh Ratu Juliana, dan pemerintah RIS diwakili oleh Wakil Perdana Menteri M. Hatta.

Pada hari yang sama, 27 Desember 1949 di Jakarta, Wakil Tinggi Mahkota (Hoge Vertegenwordiger van de Kronen) Lovink, secara simbolik “menyerahkan kewenangan” kepada Menteri Pertahanan RIS, Sultan Hamengku Buwono IX.

Sejarah mencatat, bahwa RIS tidak bertahan lama. Satu persatu Negara bagian bentukan belanda dibubarkan oleh rakyatnya atau membubarkan diri, dan bergabung dengan Republik Indonesia, yang beribukota di Yogyakarta.

Pada 16 Agustus 1950 RIS resmi dinyatakan bubar, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada 28 September 1950 Republik Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 60.

Namun hingga saat ini, 27 Desember 2015, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Indonesia tetap 27 Desember 1949.


Pengantar
 JASMERAH, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, itulah yang pernah diucapkan oleh Presiden Sukarno.

Saat ini sangat banyak kalangan yang tidak lagi peduli terhadap Kedaulatan Negara dan Martabat Bangsa. Bahkan pejabat-pejabat tinggi sampai para menteri juga tidak mempermasalahkan, ada Negara yang memiliki “hubungan diplomatic” dengan Indonesia, dengan gamblang menyatakan TIDAK MENGAKUI DE JURE KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945!

Di era Perang Asimetris (Asymmetric Warfare), pengetahuan mengenai sejarah nasional dan internasional menjadi sangat penting, karena dapat menjadi motivasi untuk membela negara dan dapat menjadi “senjata” ampuh untuk menyerang atau memojokkan suatu Negara, terutama sehubungan dengan pelanggaran HAM, pembantaian massal atau kejahatan perang yang telah dilakukan oleh Negara tersebut di masa lampau.

Pengetahuan sejarah nasional Indonesia juga dapat menangkal “serangan” terhadap isu-isu yang selalu dilontarkan oleh Negara-negara tertentu untuk menjatuhkan citra Indonesia. Ini dilakukan oleh Negara-negara mantan penjajah untuk menutup lembaran hitam sejarah penjajahan mereka, sekaligus “memoles” citra mereka sebagai “pengawas HAM internasional.”

Sejak puluhan tahun di Indonesia, tampak ada kecenderungan untuk mengaburkan sejarah Nusantara (sampai 17 Agustus 1945) dan sejarah Indonesia (mulai 17.8.1945), terutama periode 1942 – 1950. Juga di kalangan Indonesia sendiri –termasuk pejabat-pejabat Negara- banyak yang tidak mau memperjuangkan pengakuan terhadap de jure Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, terutama terhadap Belanda, yang di beberapa wilayah di Nusantara, telah menjajah lebih dari 300 tahun.
Tidak sedikit yang justru membela versi Belanda, bahwa Indonesia baru merdeka dan berdaulat pada 27 Desember 19. Juga ada seorang pakar hukum orang Indonesia yang berpendapat, bahwa tahun 1945 Indonesia merdeka, namun belum berdaulat.

 Tampaknya, sebagian terbesar pimpinan/penyelenggara Negara dan kalangan elit Indonesia tidak mengetahui, bahwa hingga detik ini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Yang sangat memprihatinkan adalah, banyak sejarawan Indonesia yang cenderung membenarkan sejarah versi Belanda dan bahkan tidak sedikit pakar hukum Indonesia yang berpendapat, bahwa Indonesia baru memperoleh kemerdekaan penuh pada 27 Desember 1949, yaitu ketika Belanda “menyerahkan kewenangan” (transfer of sovereignty/soevereniteitsoverdracht) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pengaburan penulisan sejarah nasional juga merupakan bagian dari perang asimetri ini. Hal ini diformulasikan dengan tepat sebagai berikut:
“Adapun langkah pengaburan sejarah suatu bangsa lazimnya melalui beberapa tahapan. Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek moyangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain. Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang dalam kolonialisasi.”

Hal ini yang sejak lama terjadi di Indonesia. Matapelajaran sejarah dibuat menjadi sangat tidak penting, menghilangkan bagian-bagian yang heroik yang dilakukan oleh berbagai kerajaan dan kesultanan di Nusantara, dan yang ditonjolkan adalah versi belanda, yang sebenarnya memalukan.

Hingga saat ini, masih sangat banyak orang Indonesia yang percaya, bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Ini tidak terbatas pada rakyat biasa, bahkan seorang menteri sekalipun sampai sekarang masih tetap berpendapat seperti ini, sebagaimana diucapkan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said, ketika meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Bantul pada 4 Mei 2015.

Bahkan Jenderal Ryamizard Ryacudu ketika menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), dalam sambutannya pada peringatan Palagan Ambarawa yang dipeingati sebagai Hari Juang Kartika TNI AD bulan Desember tahun 2003, salah menyampaikan peristiwa tersebut. Disebutnya a.l., bahwa:” Ketika itu, Presiden Soekarno ditawan, pemerintahan lumpuh, dan Belanda dengan militernya mengancam akan kembali menguasai Indonesia. TNI di bawah pimpinan Jenderal Soedirman menunjukkan eksistensinya secara heroik. Dengan persenjataan sederhana, TNI bersama rakyat mampu memenangi pertempuran untuk menjaga integritas bangsa dan Negara.”

Presiden Sukarno ditawan oleh Belanda pada 19 Desember 1948, yaitu ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua, sedangkan peristiwa Palagan Ambarawa terjadi pada bulan Desembe 1945, dan pada waktu tiu TNI melawan tentara Sekutu/Inggris.

Selain itu, yang juga sering terdengar mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 dinyatakan sebagai revolusi, perang kemerdekaan, perang merebut kemerdekaan, dan dari sudut pandang belanda, yang dilakukan oleh belanda melancarkan “aksi Polisional” adalah membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan  dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang.

Di buku sejarah Indonesia, Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai seseorang, yang marah dan kemudian melawan Belanda, setelah sebagian tanah miliknya diambil oleh Belanda untuk membuat jalan.Masyarakat Indonesia tidak menyadari, bahwa hal-hal tersebut adalah karangan Belanda.

Pada peringatan ke 63 KOPASSUS tanggal 16 April 2015 yang lalu, dibacakan sejarah singkat KOPASSUS: “… Sejak Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda tgl. 27 Desember 1949 dan beberapa Pemberontakan di wilayah Indonesia (APRA, Andi Azis, RMS) …”

Yang menjadi masalah di sini adalah kalimat: “Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda tgl. 27 Desember 1949”, yang tidak pernah dilakukan oleh Belanda. Yang terjadi pada 27 Desember 1949 adalah PELIMPAHAN Kedaulatan (Inggris: Transfer of sovereignty; Belanda: Soevereniteitsoverdracht), dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indobnesia Serikat (RIS), karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India – Belanda (Nederlands Indië). Hal ini tertuang dalam perjanjian, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung  di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949.Dengan demikian, Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah “hadiah” dari Belanda!

Banyak kalangan di Indonesia menilai, bahwa hasil KMB ini sangat merugikan Indonesia dan hanya menguntungkan Belanda, terutama secara politis, finansial dan militer. Juru runding Indonesia menerima, bahwa RIS dipandang sebagai kelanjutan dari Nederlands Indië, maka RIS harus menanggung utang pemerintah India – Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalam utang ini, termasuk biaya belanda untuk melancarkan agresi militernya terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948. Setelah RIS dibubarkan pada 16.8.1950, cicilan dibayar oleh pemerintah RI.

Disepakati pembentukan Uni Belanda – Indonesia, di bawah pimpinan Ratu Belanda. Yang sangat merugikan pihak Indonesia adalah di bidang hubungan Luar Negeri. Untuk berhubungan dengan negara lain, Indonesia harus mendapat persetujuan dari Belanda.

Di dalam RIS, Republik Indonesia hanya menjadi satu dari 16 Negara Bagian. Juga pembahasan mengenai Irian Barat ditunda, sehingga di dalam RIS, Irian Barat tidak termasuk di dalamnya.

Juga sering terdengar mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 dinyatakan sebagai revolusi, perang kemerdekaan, perang merebut kemerdekaan, dan dari sudut pandang belanda, yang dilakukan oleh tentara belanda adalah membasmi para perampok, perusuh dan ekstremis tyang dipersenjatai Jepang.

Hal-hal tersebut di atas sangat salah dan menyesatkan. Dikuatirkan, apabila pendapat-pendapat tersebut di atas tidak dibantah dan diluruskan, generasi-generasi mendatang di Indonesia juga percaya terhadap pendapat-pendapat yang salah ini, yang sebagian besar adalah versi Belanda. Juga dikuatirkan, di kemudian hari, tidak ada bantahan dari pihak Indonesia apabila dunia internasional juga berpendapat seperti yang disebut di atas.

Secara keseluruhan, berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia antara tahun 1942 – 1950 masih kurang diketahui oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia boleh dikatakan sangat minim. Banyak tulisan hanya sekadar menyalin tulisan-tulisan peneliti Belanda atau penulis bangsa asing lainnya. Kurang dilakukan penelitian, apakah penulisan sejarah Nusantara yang sampai sekarang banyak dikenal oleh masyarakat luas, adalah benar sesuai fakta, ataukah penulisan tersebut telah “diselewengkan” oleh penjajah, untuk mengaburkan peristiwanya dan juga mendiskreditkan tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Untuk banyak peristiwa sejarah, kurang dilakukan analisis yang lengkap dan cermat, dan dari kacamata bangsa dan kepentingan Indonesia. Cukup banyak yang masih menggunakan terminologi penjajah. Yang paling mencolok adalah, banyak orang Indonesia yang ikut menggunakan istilah “aksi polisional” versi Belanda. Yang agak “lunak” menamakan agresi militer Belanda sebagai “clash.”

Kelihatannya juga belum ada penelitian yang dilakukan oleh pihak Indonesia, mengenai berapa jumlah korban akibat agresi Belanda –yang dibantu oleh sekutunya, Inggris dan Australia- dan dampak ekonomi serta sosial untuk keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di berbagai daerah di Indonesia antara tahun 1945 - 1950.

Mereka yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945 membiarkan pemerintah Belanda dengan sikapnya ini.

Dalam kesempatan ini dilakukan analisis, tidak hanya berdasarkan pendekatan sejarah, melainkan juga pendekatan hukum, politik, ekonomi, sosial dan pandangan dari segi Hak Asasi Negara, Hak Asasi Bangsa, Hak Asasi Manusia serta Martabat bangsa Indonesia, sebagai akibat dari agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Mengapa ketika Belanda “melimpahkan kewenangan” kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), justru Republik Indonesia Serikat (kemudian setelah RIS dibubarkan, cicilan pembayaran terus dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia) yang harus membayar kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½  milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $)? Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia.

Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam upaya Belanda untuk kembali berkuasa di Bumi Nusantara –dibantu tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia- tentara Belanda, Inggris dan Australia banyak melakukan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan, perkosaan terhadap perempuan Indonesia, pembantaian massal dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya.

Mengenai peran tentara Inggris membantu Belanda, hanya sedikit yang dapat dibaca di buku-buku sejarah di Indonesia, seperti pemboman Inggris atas Surabaya pada November 1945. Sedangkan mengenai peran tentara Australia dalam membantu Belanda menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, hampir tidak ada dalam buku-buku sejarah di Indonesia.

Secara keseluruhan: Kemerdekaan suatu Negara tidak memerlukan pengakuan dari Negara lain, asalkan Negara baru tersebut SANGGUP MEMPERTAHANKAN DIRI!
USA menyatakan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776. Tidk menyatakan “memberontak” terhadap Inggris. Hanya mencetuskan “DECLARATION OF INDEPENDENCE.” Kemudian sanggup mempertahankan kemerdekaanya dari serangan tentara Inggris.

Demikian juga belanda tahun 1581 menyatakan kemerdekaan dari spanyol. Sanggup mempertahankan kemerdekaan. Kemudian Belgia tahun 1830 menyatakan kemerdekaannya dari Belanda. Belanda tak berani menyerang, karena Perancis mendukung kemerdekaan Belgia.

Di lain pihak, ada juga beberapa upaya menyatakan kemerdekaan secara sepihak, pemisahan diri atau pemberontakan yang gagal.

Di USA, ketika 7 negara bagian di selatan memisahkan diri dan mendirikan Konfederasi, ditumpas dengan keras oleh pemerintah di Washington. Korban tewas mencapai 750.000 jiwa.





Di Nigeria, Provinsi Biafra yang dihuni oleh etnis Igbo yang mayoritasnya beragama Kristen, pada 30 Mei 1967 mendeklarasikan kemerdekaannya dari Nigeria, yang mayoritas etnis-etnis lainnya beragama Islam. Republik Biafra segera mendapat pengakuan dari Gabon, Haiti, Ivory Coast (Pantai Gading), Tanzania, dan Zambia. Beberapa Negara lain, walaupun belum resmi memberi pengakuan, namun  memberikan bantuan, a.l. Israel, Prancis, Spanyol, PortugalAfrika Selatan dan Rhodesia (setelah merdeka dari jajahan Inggris tahun 1980, berganti nama menjadi Zimbabwe). Upaya pemisahan diri gagal karena  ditumpas oleh pemerintah pusat Nigeria. Perang berakhir tahun 1970. Dengan demikian, pengakuan dari Negara lain TIDAK ADA GUNANYA.



RRC selama puluhan tahun tidak mau diakui oleh USA dan sekutunya, tidak mengalami kesulitan samasekali. Pada waktu itu, USA dan sekutunya hanya mengakui kedaulatan Taiwan (Nasional China).

Kemudian, karena RRC menjalankan “Politik Satu China”, maka banyak Negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan, namun Taiwan tidak memiliki kesulitan apapun dalam hubungan dengan semua Negara di dunia.


Latar Belakang Sejarah

Sejarah mencatat, bahwa Belanda menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari 300 tahun, terutama Jayakarta (Jakarta), yang oleh Belanda dinamakan Batavia, dan Maluku. Sementara di beberapa daerah, seperti Aceh, Tanah Batak, Bali dan beberapa daerah lain, kekuasaan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30 atau 40 tahun saja, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika belanda secara resmi menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

Namun permasalahannya bukanlah pada lama atau tidaknya penguasaan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain, melainkan pada keabsahan penguasaan tersebut, yang lazim disebut sebagai kolonialisme atau penjajahan.

Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberikan legitimasi kepada suatu bangsa atau negara untuk menguasai atau merampok negara lain. Yang dilakukan oleh banyak negara-negara Eropa bukan hanya menjajah dan menguras kekayaan wilayah yang dikuasainya, melainkan juga memperbudak bangsa yang dijajahnya, bahkan memperjual-belikan manusia. Satu-satunya hukum yang ada hanyalah “hukum rimba”, yaitu berdasarkan atas kekuatan: siapa yang lebih kuat memangsa yang lemah.

Pada abad 15 dua negara katolik, Portugal dan Spanyol saling memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa untuk menguasai perdagangan atau untuk dijadikan jajahan. Untuk menghindari konflik berkelanjutan di antara kedua negara katolik tersebut, Paus Alexander VI memfasilitasi perundingan antara keduanya dan pada 7 Juni 1494 di Tordesillas, Spanyol ditandatangani Perjanjian Tordesillas. Isinya adalah membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu separuh untuk Spanyol dan separuh lagi untuk Portugal. Namun ketika Belanda dan Inggris memasuki kawasan-kawasan tersebut, kedua Negara yang belakangan ini tidak merasa terikat dengan Perjanjian Tordesillas. Sering terjadi pertempuran baik di laut maupun di darat di antara keempat Negara tersebut dalam memperebutkan hegemoni atas suatu wilayah di luar Eropa. Prancis, Italia, Belgia dan Jerman kemudian ikut meramaikan kwartet ini.

Negara-negara tersebut bukan hanya memperebutkan dan memperjual-belikan wilayah yang mereka kuasai, mereka kemudian juga memperjual-belikan manusia, yang lazim disebut sebagai perbudakan. Sejak abad 18 praktek jual-beli dan “tukar guling” jajahan sangat marak. Belanda juga pernah menawarkan wilayah jajahan yang waktu itu dikuasainya di Asia Tenggara untuk dijual. Belanda termasuk Negara terbesar dalam perdagangan budak. Di wilayah jajahannya, Nederlands Indië (India Belanda) diberlakukan undang-undang perbudakan antara tahun 1640 – 1862. Undang-undang perbudakan ini dihapus oleh Inggris ketika Inggris berkuasa antara tahun 1811 - 1816, namun diberlakukan kembali, ketika jajahan tersebut “dikembalikan” kepada Belanda.

Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis, Belanda yang kalah perang, berada di bawah kekuasaan Prancis dari tahun 1806 sampai tahun 1813. Perubahan situasi di Eropa juga berimbas ke kawasan Asia Tenggara, di mana terdapat persaingan kekuasaan antara Belanda dan Inggris. Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India (1807 – 1813), memimpin armada Inggris menyerbu Jawa, dan pada 6 Agustus 1811, bersama Thomas Stamford Raffles. Inggris menduduki pulau Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Raffles, diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah awal penjajahan Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The British Interregnum.

Raffles kemudian diganti oleh John Fendall sebagai Letnan Gubernur Jenderal, yang memegang jabatan ini sampai India Belanda “dikembalikan” kepada Belanda. Setelah tentara Prancis pada 18 Juni 1815 di Waterloo dihancurkan oleh tentara koalisi di bawah Jenderal Wellington dan Jenderal Blücher. Negara-negara di Eropa sepakat untuk kembali pada situasi sebelum timbulnya perang di Eropa yang diawali dengan agresi Prancis di bawah Napoleon Bonaparte.

Di Eropa terjadi perubahan situasi politik, di mana Inggris berdamai lagi dengan Belanda. Sebagai akibat perdamaian ini, pada 19 Agustus 1816 wilayah India-Belanda “diserahkan” kembali kepada Belanda, tak ubahnya seperti menyerahkan suatu barang. Ini juga merupakan akhir dari British Interregnum. Setelah itu, Inggris hanya menguasai Bengkulu dan Belanda masih berkuasa atas Singapura.

Belanda dan Inggris kemudian sepakat untuk melakukan “tukar guling” atas Singapura dan Bengkulu. Dalam Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda melepaskan seluruh haknya atas Singapura kepada Inggris dan sebagai imbalan, Belanda memperoleh Bengkulu. Selain itu, Inggris dan Belanda beberapa kali mengadakan perundingan bilateral untuk membagi kekuasaan di Irian dan Kalimantan. Belanda dan Portugal juga sepakat untuk membagi dua Pulau Timor.

Kalau melihat perilaku para penjajah untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan, maka akan terlihat, ini adalah perilaku kelompok gangster/Mafia yang membagi-bagi wilayah kekuasaan, apakah itu kota, wilayah di dalam suatu kota, bahkan membagi atau menentukan lahan parkir untuk kelompok-kelompok yang terlibat!. Dalam perebutan wilayah di Asia Tenggara yang berlangsung selama berabad-abad, akhirnya Belanda berhasil mengungguli Inggris, Spanyol, Portugal dan kemudian juga Prancis, dengan menguasai sebagian besar kerajaan-kerajaan di Nusantara. Inggris tetap berkuasa di Malaya (Malaysia) dan di East New Guinea (Irian Timur), Spanyol di Filipina, Prancis di Indochina dan untuk Portugal hanya tersisa Timor Timur (Timor Leste), Goa di India dan Macau.

Untuk “melancarkan” perdagangan dan menghindari konflik di antara Negara-negara Eropa agar tidak saling memperebutkan wilayah di Afrika, Perdana Menteri Prusia, Otto von Bismarck mengundang 11 negara Eropa ke Berlin untuk mengadakan perundingan. Selain itu, juga diikutsertakan Amerika Serikat dan Turki yang merupakan Negara-negara yang sangat kuat. Pertemuan yang kemudian dikenal sebagai Berliner Kongokonferenz (Konferensi Berlin untuk Kongo) berlangsung dari 15 November 1884 sampai 26 Februari 1885. Konferensi ini membagi-bagi wilayah di Afrika untuk Negara-negara Eropa, seperti layaknya orang membagi-bagi kue ulang tahun kepada para tamu. Kalau melihat batas Negara-negara di Eropa yang berlika-liku, kemudian memperhatikan batas-batas Negara di Afrika, Irian dan Timor, nampak dengan jelas perbedaan yang mencolok. Penetapan batas Negara-negara tersebut bukan berdasarkan etnis, atau kerajaan sebelumnya melainkan dibagi-bagi kepada Negara-negara penjajah berdasarkan kesepakatan di antara mereka, sehingga batas wilayah jajahan merupakan garis lurus, karena menggunakan penggaris (mistar).

Hal ini berdampak terbelahnya desa-desa yang terkena imbas “pembagian kue” di Eropa. Pemisahan keluarga-keluarga secara paksa di desa-desa tersebut dialami oleh banyak Negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, seperti  di Kalimantan, Timor dan Irian (Papua).

Jayakarta, Jajahan Belanda Pertama di Bumi Nusantara

Tahun 1618 JP Coen diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC ke 4. Oleh Pangeran Jayawikarta, penguasa di Jayakarta, Belanda diizinkan mendirikan pos dagang. Namun kemudian Belanda membangun pos dagang tersebut sebagai benteng pertahanan. Pangeran Jayawikarta, tidak menyukai Belanda dan bersekutu dengan Inggris menghadapi Belanda. Ketika timbul konflik dengan Belanda, koalisi Pageran Jayakarta dengan Inggris berhasil mengusir Coen ke luar dari Jayakarta. Dia berlayar ke Maluku, dan mengambil pasukan Belanda yang ada di Maluku dan kembali menyerang Jayakarta.

Pada waktu yang bersamaan, timbul konflik antara Kesultanan Banten dengan Pangeran Jayawikarta. Coen memanfaatkan situasi ini dan menyerang Jayakarta pada 30 Mei 1619. Tentara Belanda berhasil mengalahkan pasukan Jayawikarta dan kemudian membumi-hanguskan kota Jayakarta, yang sebelumnya bernama Sunda Kalapa. Pada abad ke-V, kota ini merupakan Ibukota Kerajaan Hindu Tarumanegara. Seluruh penduduk Jayakarta melarikan diri ke luar kota. Belanda kemudian mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, sebagai penghormatan kepada nenek-moyang bangsa Belanda, bangsa Batavir.

Selain mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, JPC juga “mengganti” penduduk Jayakarta. Sebagai akibat dari perang, kota Jayakarta ditinggalkan oleh penduduknya. Yang tersisa hanya penduduk non-pribumi, yaitu para pedagang dari Negara-negara lain. Untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, seperti perkebunan, selain “mengimpor” kuli-kuli dari Tiongkok, Belanda juga mendatangkan budak-budak dari Negara-negara lain dan dari daerah-daerah lain di Nusantara. Mereka a.l. adalah mantan tentara yang kalah perang melawan Belanda, seperti tentara Portugal. Setelah para budak orang Portugal bersedia melepaskan agama katolik dan menganut agama Kristen Protestan (aliran Calvijn) seperti yang dianut oleh mayoritas orang Belanda, mereka dibebaskan dan dinamakan Mardijkers (dari kata Sansekerta Mahardika). Keturunan mereka kini bermukim di daerah Tugu,  Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Pada abad ke XVI bangsa-bangsa Eropa mulai berdatangan ke Asia Tenggara dengan maksud melakukan perdagangan. Namun seiring perjalanan waktu, beberapa Negara tersebut, yaitu Spanyol. Portugal, Inggris, Perancis dan Belanda  ingin menguasai wilayah yang kaya akan rempah-rempah, yang waktu itu sangat mahal di Eropa. Mereka bahkan saling merampok dan saling membunuh untuk mencapai tujuan mereka.

Dengan berbagai tipu muslihat, Belanda dapat mengusir Negara-negara pesaingnya dari kawasan Asia Tenggara. Setelah mengusir para pesaingnya, Belanda kemudian menyerang berbagai kerajaan dan kesultanan di Bumi Nusantara.

Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).
Pieter Both lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten.

            Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh.

Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, dan membumihanguskan keraton serta seluruh pemukiman penduduk diratakan dengan tanah. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Horn, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun. Dengan demikian, Jayakarta (kemudian Belanda menamakan Batavia, dan Jepang menamakan Jakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara.

Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di Bumi Nusantara.


Kekejaman Belanda: Genosida di Kepulauan Banda

Jan Pieterszoon Coen (JPC) dikenal di Belanda sebagai “bapak pendiri” imperium VOC di Nederlands Indië (India Belanda). Setelah menghancurkan Jayakarta (Batavia, Jakarta) pada 30 Mei 1619, JPC mengerahkan pasukan terbesar pada waktu itu untuk “menghukum” penduduk Kepulauan Banda, Maluku. Jayakarta (Batavia, Jakarta) dan Maluku adalah wilayah yang paling lama dan paling menderita selama masa penjajahan Belanda,sedangkan daerah-daerah lain di Nusantara hanya sempat di bawah administrasi Belanda selamasekitar 30 – 40 tahun, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang.

Para pemuka masyarakat di Kepulauan Banda, Maluku, dikenal sebagai ‘Orang Kaya.’ Sebelum kedatangan orang asing, merekalah yang memimpin pemerintahan dan perdagangan di Kepulauan Banda. Pada waktu itu, Kepulauan Banda adalah satu-satunya penghasil buah dan bunga pala di dunia. Selain sebagai rempah-rempah untuk makanan, pala juga bermanfaat untuk ramuan obat dan sebagai bahan pengawet makanan.

Awalnya perdagangan rempah-rempah dilakukan sendiri oleh orang-orang Maluku dan pedagang-pedagang dari Jawa. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, pedagang-pedagang asing yang kemudian terlibat dalam perdagangan rempah-rempah adalah para pedagang Arab yang melakukan perdagangan rempah-rempah  sampai ke Eropa. Mereka menjual kepada para pedagang Venesia yang sangat terkenal dalam perdagangan dunia waktu itu. Para pedagang Arab sangat merahasiakan wilayah penghasil rempah-rempah di Kepulauan Maluku.

Bangsa Eropa pertama yang mengenal Kepulauan Banda adalah orang Portugis, di awal abad 16, kemudian diikuti oleh Spanyol. Karena letaknya yang sangat strategis, Banda menjadi simpul perdagangan “timur – barat.” Cengkeh dari Ternate-Tidore, komoditi dagang dari dan ke Papua selalu melalui Kepulauan Banda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, Banda kemudian menjadi incaran Negara-negara Eropa yang ingin memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.
Sejak pertamakali menginjakkan kaki di Banda awal tahun 1512, Portugal sudah berusaha memndirikan benteng untuk menguasai kawasan tersebut, namun dapat digagalkan oleh orang Banda. Sejak itu pedagang Portugal membeli rempah-rempah dari para pedagang lain di Malakka.

Akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai terlibat dalam pedagangan rempah-rempah di Asia tenggara, juga dalam perebutan hegemoni atas kawasan tersebut. Kedua Negara ini kemudian sagat sengit dan kejam dalam memperebutkan monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Maluku dan Banda.

Belanda berhasil memaksakan kontrak dagang dengan beberapa Orang Kaya di Banda, yang menjamin Belanda dapat memborong seluruh produksi pala. Namun Belanda sangat menekan harganya, sehingga membuat para Orang Kaya tersebut juga menjual kepada pedagang Inggris yang membayar dengan harga yang lebih tinggi. Di Eropa, Belanda dan Inggris dapat menjual komoditi tersebut dengan harga 250 sampai 300 kali lipat dari harga beli di Banda.

Puncak kebencian orang Banda terhadap Belanda terjadi pada tahun 1609, di mana Gubernur Belanda untuk Maluku bersama 40 stafnya dibunuh.

Sementara itu, Inggris mendirikan pos dagang di Pulau Ai dan Run. Perang memperebutkan kekuasaan atas wilayah Banda antara Inggris dan Belanda terjadi tahun 1615. Dengan kekuatan 900 tentara, Belanda menyerang pos dagang Inggris di Pulai Ai. Namun kemudian Inggris berhasil memukul balik dan membunuh 200 tentara Belanda di Pulai Ai. Setahun kemudian Belanda menyerang lagi Inggris di Pulau Ai, dan kali ini berhasil mematahkan perlawanan Inggris, di mana kemudian seluruh tentara Inggris dibantai oleh tentara Belanda.

Setelah menguasai Jayakarta, Coen berpaling lagi ke Banda, di mana dia melanjutkan tekad Belanda untuk menguasai perdagangan pala dan bunga pala. Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.

Coen bersama pasukannya tiba di Kepulaua Banda pada 27 Februari 1621. Penyerangan ke pulau Lontor dimulai pada 3 Maret 1621, dan ke  Banda Besar pada 11 Maret 1621.  Dengan kekuatan yang demikian besar, hanya dalam sehari pasukan Coen berhasil menguasai seluruh pulau itu.

Pada 8 Mei 1621 dilakukan pembantaian secara besar-besaran terhadap para pemuka dan rakyat Banda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:

“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.

Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.

Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.

Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.

Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Penduduk Kepulauan Banda pada waktu itu diperkirakan sekitar 15.000 orang. Sekitar 1.000 orang bersembunyi di hutan-hutan atau melarikan diri ke pulau-pulau lain, yang merupakan mitra dagang mereka. Ini berarti jumlah penduduk yang dibantai lebih dari 13.000 jiwa.

Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit. Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara.[1]

Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post:

“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”

Sebagaimana dilakukannya di Jayakarta, untuk mengerjakan perkebunan pala, Belanda mendatangkan budak-budak dan orang-orang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Setelah Jayakarta, Kepulauan Banda adalah daerah ke dua, dimana dilakukan “penggantian” penduduk.

Namun kemudian Belanda mendapat kesulitan dalam budidaya tanaman pala, karena orang-orang yang didatangkan tidak paham mengenai budidaya tanaman pala. Oleh karea itu, Bepada kemudian”membawa pulang” sekitar 530 orag yang telah mereka jual sebagai budak di Batavia, kembali ke Banda untuk mengerjakan tanaman pala.

Belanda menyingkirkan berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.

Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie di Maluku secara besar-besaran, untuk menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau dikenal sebagai “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.


Legalisasi (Undang-Undang) Perbudakan dimulai oleh VOC

Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudakan diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan. Selama lebih dari 200 tahun, Belanda menjadi pedagang budak terbesar di dunia. Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, atau yang dibeli dari penguasa-penguasa setempat.

Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan.

Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.

Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.

Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.      Dari data/ tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).[2]

Tabel 1. Perbandingan jumlah penduduk dan jumlah budak di berbagai pemukiman Belanda di Samudra India akhir abad 17.

           
Description: Table 2

Tabel 2. Jumlah budak VOC dan jumlah seluruh budak Belanda dengan rata-rata jumlah perdagangan budak per tahun oleh Belanda, sekitar tahun 1688.

Description: Table 4

Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.

Karena korupsi, kolusi dan nepotisme serta lemahnya pengawasan administrasi, dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC, perusahaan dagang yang dibangun dengan modal 6,5 juta gulden, yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Runtuh karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih oleh Pemerintah Belanda, termasuk utang VOC sebesar 219 juta gulden[3], sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda, yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.
Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum) tahun 1811 - 1816. Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda.
Pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877, dan di beberapa daerah lain masih lebih belakang dari ini. Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi kompensasi.
Selain berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Belanda selama berkuasa di Bumi Nusantara, dengan keangkuhan yang luar biasa, mereka menunjukkan bahwa pribumi tidak layak untuk memasuki gedung-gedung yang hanya diperuntukkan bangsa kulit putih, atau yang ”disetarakan” dengan kulit putih, seperti Jepang.
Di muka gedung-gedung tersebut dipasang plakat dengan tulisan: “verboden voor honden en inlander”, yang artinya: TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI.
Pribumi yang ada di dalam gedung-gedung tersebut hanya budak atau pelayan!


Kerajaan dan Kesultanan yang Terakhir Dikuasai Belanda

Sampai awal abad 20, Belanda belum sepenuhnya menguasai seluruh Asia Tenggara/ Nusantara. Beberapa Kerajaan yang belum dapat dikalahkan Belanda adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Batak, Kerajaan Badung dan Kerajaan Klungkung.
Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Dengan korban yang sangat besar, Belanda akhirnya dapat. memenangkan perang Aceh tahun 1904, namun perlawanan rakyat Aceh berlangsung terus hingga tahun 1914. Korban di pihak Belanda antara lain Jenderal Koehler.
Walaupun telah memenangkan perang, namun Gubernur Jenderal Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz, telah melakukan pembantaian massal di Kuta Reh pada 14 Juni 1904, dimana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Raja Batak, Sisingamangaraja XII pada 16 Februari 1878 menyatakan perang terhadap Belanda. Dalam pertempuran melawan Belanda pada 17 Juni 1907 di lereng bukit Aek Sibulbulen, di desa Si Onom Hudon, di Kabupaten Tapanuli Utara, Sisingamangaraja XII tewas tertembak. Dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian juga tewas dalam pertempuran tersebut.
Di Pulau Dewata, Bali, Belanda juga mendapat perlawanan sengit dari dua kerajaan terakhir di Bali. Puputan Badung pada 20 September 1906 dan Puputan Klungkung, 28 April 1908 mengakhiri perlawanan Kerajaan-kerajaan di Bali.


 “Lahirnya” Kata INDONESIA
            Nama Indonesia muncul pertama kali di masa penjajahan Belanda. "Pencipta" kata ini adalah George Samuel Windsor Earl, seorang pengacara kelahiran London, yang bersama James Richardson Logan, seorang pengacara kelahiran Scotlandia, menulis artikel sebanyak 96 halaman di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia No. 4, tahun 1850 dengan judul "The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders."      
Mereka menamakan penduduk India-Belanda bagian barat yang berasal dari Proto-Malaya (Melayu tua) dan Deutero-Malaya (Melayu muda), sebagai Indunesians (Indu, bahasa Latin, artinya: India; Nesia, asal katanya adalah nesos, bahasa Yunani, artinya: kepulauan). Sedangkan penduduk di wilayah India-Belanda bagian timur masuk ke dalam kategori Melanesians (Mela = hitam. Melanesia = kepulauan orang-orang hitam). Oleh karena itu, Earl sendiri kemudian cenderung menggunakan istilah Melayu-nesians, untuk menamakan penduduk India-Belanda bagian barat. Kemudian Logan merubah Indunesia menjadi Indonesia (Indos dan Nesos, keduanya berasal dari bahasa Yunani) dalam tulisan-tulisannya di Journal tersebut.

Adalah Adolf Bastian, seorang dokter dan sekaligus etnolog Jerman, yang memopulerkan nama Indonesia ketika menerbitkan laporan perjalanan dan penelitiannya di Berlin, yang diterbitkan dalam karya 5 jilid (1864 – 1894) dengan judul “Indonesien, oder die Inseln des malaysischen Archipels” (bahasa Jerman, artinya: “Indonesia, atau Pulau-Pulau dari Kepulauan Malaya”). Jilid I berjudul Maluku, jilid II Timor dan Pulau-Pulau Sekitarnya, jilid III Sumatera dan Daerah Sekitarnya, jilid IV Kalimantan dan Sulawesi, jilid V Jawa dan Penutup.

Eduard Douwes Dekker, dalam bukunya “Max Havelaar” menyebut India-Belanda dengan nama Insulinde, variasi bahasa Belanda untuk Kepulauan India. Ketika Indische Partij (Partai India) yang didirikan oleh keponakannya dilarang oleh  Pemerintah India Belanda tahun 1913, para anggotanya mendirikan Partai Insulinde.

Baik Indunesia, Indonesien atau Insulinde semua artinya adalah Kepulauan India, untuk menunjukkan identitas pribumi yang hidup di bagian barat wilayah India- Belanda, sedangkan yang hidup di wilayah timur –Flores, Timor, Maluku dan Papua-

sebenarnya adalah orang-orang Melanesia (Kepulauan orang-orang hitam).
Para pendiri bangsa ini pada awal gerakan kemerdekaan ingin meninggalkan dan menanggalkan nama Nederlands - Indië, yang artinya India Belanda. Nama ciptaan penjajah ini untuk membedakan dengan British-India, yaitu India yang dijajah oleh Inggris. Oleh karena itu -mungkin kurang mencermati arti dan dampaknya di kemudian hari- para pendiri bangsa memilih kata 'INDONESIA', untuk BANGSA, NEGARA dan BAHASA yang pada waktu itu masih dijajah oleh Belanda.

Jadi kata Indonesia yang sampai sekarang digunakan oleh Republik Indonesia artinya tak lain adalah: Kepulauan India.


Perang Dunia II[4]

Adolf Hitler, der Führer (Pemimpin) Jerman, sejak awal tahun 1939 telah merencanakan akan menyerang Polandia, namun Polandia telah mendapat jaminan dari Inggris dan Perancis, bahwa kedua negara tersebut akan membantu apabila Polandia diserang oleh Jerman. Tanggal 23 dan 24 Agustus, Jerman mengadakan pembicaraan rahasia dengan Uni Sovyet di Moskow, dan kemudian ditandatangani perjanjian untuk tidak saling menyerang. Jerman dan Rusia juga telah merencanakan untuk membagi dua Polandia yaitu sepertiga wilayah Polandia di belahan barat akan menjadi milik Jerman dan dua pertiga lain di sebelah timur akan menjadi milik Uni Sovyet.

Tanggal 1 September pukul 00.40, Hitler mengeluarkan perintah untuk dimulainya penyerangan terhadap Polandia, yang kemudian dilancarkan pukul 04.45. Tanggal 3 September 1939 pukul 11.00 Inggris menyatakan perang terhadap Jerman, dan diikuti oleh Prancis, pukul 17.00. Perang Dunia II dimulai.

Setelah menyerbu Norwegia dan Denmark di utara, Jerman membuka pertempuran di barat (Western front) dengan sasaran utama untuk menyerang Prancis. Jerman memulai penyerbuan terhadap Belanda tanggal 10 Mei 1940, dengan menerjunkan pasukan payungnya di Mordijk, Doordrecht dan Rotterdam, serta mendaratkan tentaranya di sekitar Den Haag. Pada hari yang sama, tentara Jerman berhasil menembus Peel Line di selatan sungai Maas dan tanggal 11 Mei, pertahanan Belanda dipukul mundur ke barat melalui Tilburg sampai Breda. Siang hari tanggal 12 Mei, tank-tank Jerman telah muncul di batas kota Rotterdam.

Tanggal 13 Mei 1940, ratu Belanda Wilhelmina bersama Pemerintah Belanda melarikan diri ke Inggris, dan tanggal 14 Mei, Panglima Tertinggi Tentara Kerajaan Belanda, Jenderal Henri Gerard Winkelman menyerah kepada tentara Jerman. Tentara Kerajaan Belanda dilindas oleh tentara Jerman hanya dalam tiga hari. Jerman sendiri menamakan penyerbuan ini hanya sebagai “Spaziergang” (jalan santai – pen.), karena Jerman menggilas Belanda –sambil lalu- dalam perjalanan menyerbu Prancis. Setelah menumpas perlawanan singkat tentara Belanda, tentara Jerman melanjutkan penyerangan ke Belgia dan Prancis.

Namun invasi tentara Jerman ke Belanda berbuntut panjang di India-Belanda, karena setelah Jerman menyerang Belanda, Pemerintah India-Belanda menyatakan perang kepada Jerman. Pendudukan Jerman dibalas oleh Pemerintah India-Belanda dengan menahan semua warga Jerman –pria, wanita serta anak-anak- yang ada di India-Belanda, keseluruhan berjumlah 2.436 orang. Mereka adalah para pemilik perkebunan, insinyur, dokter, ilmuwan, diplomat, pedagang, pelaut, pendeta, bahkan seniman, di antaranya adalah pelukis ternama Walter Spieß (baca: Spies) yang tinggal di Bali. Mereka semua dibawa ke Sumatera dan berstatus interniran, pria dipisahkan dari wanita dan anak-anak. Ketika tentara Jepang telah mendarat di Kalimantan, mereka akan dievakuasi ke India, yang masih dijajah Inggris.[5]


Agresi Militer Jepang

Dengan kemenangan atas Rusia tahun 1905, rasa percaya diri bangsa Jepang semakin meningkat dan Jepang tumbuh sebagai satu kekuatan ekonomi dan militer yang dahsyat di Asia Timur. Jepang mulai menunjukkan ambisinya untuk melakukan ekspansinya ke daratan Asia, yang dimulai dengan agresinya ke Manchuria. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan negara-negara Eropa dan AS yang mempunyai jajahan di Asia Timur dan Asia tenggara. Oleh karena itu, mereka mengambil langkah-langkah untuk meredam ekspansi Jepang, dengan antara lain menjalankan blokade ekonomi.
Pengepungan terhadap Jepang secara ekonomi oleh ABDA (American, British, Dutch, Australia) sangat menghalangi hubungan Jepang dengan negara-negara tetangganya, dan membawa Jepang ke dalam krisis ekonomi.

Kemenangan Jerman atas Belanda, Belgia dan Prancis pada bulan Mei tahun 1940, memberi keberanian kepada Perdana Menteri Jepang, Konoe memulai langkah-langkah untuk mencaplok jajahan negara-negara tersebut di Asia Tenggara. Indochina, jajahan Prancis, India-Belanda, jajahan Belanda, dan Malaya, jajahan Inggris, sangat kaya akan sumber daya alam seperti minyak bumi, karet, tembaga dll., yang sangat dibutuhkan oleh industri Jepang, terutama untuk mendukung rencana perang mereka.

Dalam mempersiapkan agresi militer mereka, Jepang mengadakan sejumlah perundingan untuk memperkuat posisi mereka. Langkah pengamanan pertama yang ditempuh Jepang adalah mengadakan perundingan dengan Uni Sovyet. Tanggal 13 April 1940, Jepang dan Uni Sovyet menandatangani neutrality pact  (pakta netralitas) yaitu untuk tidak saling menyerang. Selain itu, Menteri Luar Negeri Jepang, Yosuke Matsuoka mengadakan perundingan dengan Jerman dan Italia. Jerman dan Italia mengakui Jepang sebagai kekuatan utama di Asia. Tanggal 27 September 1940, Jerman, Italia dan Jepang menandatangani pakta Tripartite, yang juga dikenal sebagai Axis. Inti perjanjian tersebut adalah saling membantu apabila salah satu negara itu diserang oleh suatu kekuatan, yang belum terlibat dalam perang.

Juga dalam rangka persiapan ekspansinya, tahun 1940 pimpinan militer Jepang mendirikan Nakano Gakko, Sekolah Intelijen Militer, dan kemudian mengirim ribuan lulusan Nakano Gakko ke berbagai negara di Asia Tenggara, termasuk ke India-Belanda, beberapa bulan sebelum pecah Perang Pasifik. Mereka menyamar sebagai diplomat, jurnalis atau pedagang. Bahkan di Indonesia ada yang menuturkan, bahwa seorang Jepang, yang sebelum tentara Jepang menduduki Indonesia, dikenal sebagai penjual tahu, ternyata adalah seorang perwira intel militer Jepang dengan pangkat Kapten. Nakano Gakko ini berada di luar kendali pemerintahan sipil di Tokyo.[6]

Bulan Oktober 1941, Letnan Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki perang melawan beberapa negara sekaligus, namun  sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo Minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang maupun untuk keperluan Angkatan Perang.

Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armada di bawah komandonya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang besar, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak (destroyer), 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.

Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 353 pesawat tempur dan pesawat terbang pembawa torpedo diberangkatkan dalam dua gelombang. Sebelumnya, 31 kapal selam kelas Midget telah diberangkatkan menuju Pearl harbor, dan telah siap menunggu komando untuk penyerangan. Serangan mendadak tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar dipihak Amerika.

Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang. Belakangan muncul tudingan terhadap Presiden Roosevelt, bahwa sebenarnya ia telah mengetahui rencana penyerangan jepang atas Pearl Harbor, dan bahkan memprovokasinya, agar Amerika terlibat dalam Perang Dunia II.[7]

Penyerangan tentara Jepang terhadap Hongkong, dimulai dengan penghancuran kekuatan Angkatan Udara Inggris dan Kanada oleh pesawat-pesawat pembom Jepang pada 8 Desember 1941. Pada 25 Desember 1941 tentara Inggris dan Kanada di Hong Kong menyerah. Selanjutnya, dalam serangan yang mereka lancarkan paralel dengan serangan terhadap Hong Kong dan Filipina, pada 9 Desember balatentara Dai Nippon menguasai Bangkok dan kemudian tanggal 16 Desember 1941 menguasai Victoria Point di Birma selatan. Tanggal 8 Desember Jepang juga mendaratkan pasukan di Malaya, dan menggilas pasukan kecil Australia dan India. Tanggal 10 Desember 1941, dua kapal perang Inggris yang berangkat dari Singapura untuk membantu di Malaya, Prince of Wales dan Repulse, diserang oleh pesawat tempur Jepang, dan berhasil ditenggelamkan. Akhir Januari 1942, dua Divisi tentara Jepang telah menguasai seluruh semenanjung Malaya, kecuali Singapura.

Tanggal 17 Desember 1941 mereka sudah menduduki Kucing, tanggal 6 Januari 1942 menguasai Teluk Brunei, dan tanggal 11 Januari Jesselton, di pantai utara Kalimantan. Sekutu membentuk ABDACOM (American British, Dutch, Australian-Command) pimpinan Jenderal Sir Archibald P. Wavell, yang baru mulai beroperasi tanggal 15 Januari 1942. Namun laju serbuan tentara Jepang sudah tidak dapat dibendung lagi.


Penyerangan Jepang ke India-Belanda

Perang Pasifik, yang dimulai dengan pemboman Jepang atas Pearl Harbour tanggal 7 Desember 1941, juga berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan  menduduki India Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.[8]

Pada 11 Januari 1942, Jepang menyatakan perang terhadap Belanda. Kekuasaan Jepang di India Belanda, diawali dengan pendaratan tentara Jepang di Tarakan tanggal 11 Januari 1942. Balikpapan (Kalimantan) dan Kendari (Sulawesi) jatuh ke tangan tentara Jepang tanggal 24 Januari 1942, Ambon tanggal 4 Februari, Makasar tanggal 8 Februari, dan Bandjarmasin tanggal 16 Februari. Bali diduduki tanggal 18 Februari, dan tanggal 24 Februari tentara Jepang telah menguasai Timor.

Setelah hampir seluruh wilayah India Belanda jatuh ke tangan tentara Jepang, sasaran terakhir dan terpenting adalah Pulau Jawa, tempat kedudukan Pemerintah India Belanda dan pusat operasi militer Sekutu. Penyerbuan diawali dengan pertempuran di Laut Jawa pada 27 Februari dan di Selat Sunda pada 28 Februari, dalam rangka pendaratan Balatentara Dai Nippon di Jawa. Direncanakan, pendaratan dilakukan di Teluk Banten, Eretan Wetan, dekat Cirebon, dan di Kragan, dekat pelabuhan Rembang.

Dalam pertempuran di Laut Jawa tanggal 27 Februari 1942 –terkenal sebagai “The battle of Java sea”-  yang berlangsung selama tujuh jam, Angkatan Laut Sekutu dimusnahkan secara total. Sekutu kehilangan lima kapal perangnya, sedangkan Jepang hanya menderita kerusakan pada satu kapal perusaknya (Destroyer) dan beberapa kapal transport kecil. Rear Admiral Karel Willem Frederik Marie Doorman, Komandan Angkatan Laut India Belanda, yang baru dua hari sebelumnya, tanggal 25 Februari 1942 ditunjuk menjadi Tactical Commander armada tentara Sekutu ABDACOM, tenggelam bersama kapal perang utamanya (Flagship) De Ruyter.

Perang di Selat Sunda berlangsung pada 28 Februari di malam hari, ketika kapal penjelajah berat (heavy cruiser) AL Amerika Serikat, USS Houston, dan kapal penjelajah ringan (light cruiser) AL Australia, HMAS Perth, berusaha menyingkir dari Laut Jawa dan akan menuju pelabuhan Cilacap, berpapasan dengan konvoi kapal-kapal yang mengangkut tentara Jepang yang akan mendarat di Merak dan Teluk Banten, termasuk yang mengangkut Letnan Jenderal Imamura, Panglima Tentara 16 Jepang. Kapal-kapal transport tersebut dikawal oleh beberapa kapal penjelajah dan 9 kapal perusak (destroyer). Enam kapal transport akan berlabuh di Merak dan 27 lainnya akan berlabuh di Teluk Banten membawa Divisi Infanteri ke 2.

Dalam pertempuran di Selat Sunda ini, kedua kapal AL Sekutu, Houston dan Perth berhasil ditenggelamkan oleh torpedo-torpedo dan tembakan dari kapal-kapal perang Jepang. Kerugian di pihak Jepang adalah tenggelamnya satu kapal penyapu ranjau dan empat kapal transport, sedangkan satu kapal pendaratan dan dua kapal perusak mengalami kerusakan.


Penyerbuan Jepang ke Pulau Jawa[9]

Pada 1 Maret 1942 pukul 02.00, kapal-kapal pengangkut tentara berlabuh di Teluk Banten sesuai jadwal. Seluruh pasukan Detasemen Sato, di bawah komando Kolonel Hansichi Sato mendarat di Teluk Banten. Menjelang subuh, Letjen Imamura telah mendirikan Pos Komando di Ragas, 3 km di utara Bojonegara, kemudian sore harinya dia memindahkan Poskonya ke Serang, di mana ia bermarkas sampai tanggal 7 Maret.

Detasemen Nasu sebagai bagian dari rencana operasi Divisi II, akan merebut titik silang di Sungai Ciujung secepat mungkin untuk kemudian menduduki Bogor guna memotong jalan mundur tentara sekutu dari Batavia ke Bandung. Detasemen Sato dan Detasemen Fukushima akan mengambil jalan Serang-Balaraja-Tangerang-Batavia dan menuju selatan Batavia di mana kemudian dipersiapkan penyerbuan atas Batavia. Dan setelah merebut Batavia, bersama Detasemen Shoji, akan menyerang Bandung.

Detasemen Shoji, di bawah komando Kolonel Toshishige Shoji dari Divisi 38, yang mendarat pada 1 Maret di Eretan Wetan, dekat Cirebon, bertugas untuk secepatnya merebut Bandara Kalijati, dekat Subang. Tanpa mendapat perlawanan berarti ketika mendarat, pukul 06.10 Kompi 7 dari Batalyon 2 yang dipimpin oleh Osawa segera dikirim dengan kendaran bermotor menuju Bandara Kalijati. Sementara itu, di pihak Belanda, Mayor KNIL J.H. Wessel ditugaskan untuk menghancurkan jembatan di Pamanukan, di sebelah barat Subang.

Siang hari, pasukan Mayor Mitsunori Wakamatsu yang bergabung dengan pasukan Osawa telah memasuki kota Subang dan mulai bergerak menuju Kalijati. Tanggal 2 Maret sore hari, pasukan utama Brigade Udara 3 Jepang bergerak menuju Bandara Kalijati. Tentara Jepang hampir tidak menemukan perlawanan yang berarti dalam menduduki Kalijati, dan setelah itu mereka bergerak menuju Bandung.

Setelah melarikan diri dari Jakarta ke Bandung, pada 5 Maret diadakan rapat seluruh perwira senior di Bandung, di mana Panglima tertinggi Tentara Belanda di India Belanda, Letnan Jenderal hein Ter Poorten menyampaikan gawatnya situasi dan menyatakan, bahwa perang gerilya tidak mungkin dilakukan, mengingat sikap rakyat Indonesia terhadap orang Belanda. Bandung tak dapat dipertahankan lagi sehingga akan kesulitan untuk berkomunikasi, karena Markas Besar Belanda hanya dapat beroperasi dari Bandung.

Pada 7 Maret, satu unit pasukan Jepang telah mencapai Lembang, di utara Bandung. Sementara itu, pasukan Australia di bawah komando Brigadir Jenderal Blackburn telah meneliti wilayah pegunungan di selatan Bandung dan telah mengkonsentrasikan logistik mereka di sana. Pada malam tanggal 7 menjelang 8 Maret, pasukan Australia dan sekitar 1.750 pasukan Angkatan Udara Inggris beserta seluruh staf Angkatan Darat menuju ke wilayah tersebut, dan semua ditempatkan di bawah komando Blackburn. Keseluruhannya berjumlah sekitar 8.000 orang. Blackburn menempatkan pasukannya yang mendapat julukan “Blackforce” di sekitar Cikajang.

Dengan pengalaman menduduki Bataan di Filipina, bahwa diperlukan dukungan artileri berat, satu Unit pasukan di bawah komando Kolonel Hifumi Imai segera ditugaskan membentuk ujung tombak di pantai dan sebagian pasukan harus merebut pelabuhan Rembang di mana artileri berat dan perlengkapan militer lain yang diperlukan untuk menyerang Surabaya dapat didaratkan. Unit pasukan Tanaka ditugaskan untuk secepat mungkin menuju Cepu guna merebut ladang minyak. Setelah itu, Bojonegoro harus segera direbut dan kemudian menguasai titik silang Bengawan Solo di dekat kota, dan selanjutnya menuju Surabaya melalui Babad dan Lamongan.

Selama pendaratan di Kragan di bawah bulan purnama yang sangat terang, sama sekali tidak ada perlawanan dari pasukan Sekutu di pantai, hanya beberapa pesawat Sekutu menyerang kapal-kapal transport. Tiga pesawat AS P-40 ditembak jatuh oleh tentara Jepang, dan enam lainnya rusak kena tembakan. Juga tiga pesawat Hurricane Belanda kena tembak.

Dalam perjalanan menuju Surabaya, seluruh pasukan pertahanan Belanda di semua lini digilas oleh balatentara Dai Nippon. Pada 5 Maret tentara Jepang berturut-turut menghancurkan pasukan pertahanan Belanda di Ngawi, Caruban, Nganjuk, Kertosono dan Jombang, dan pada 6 Maret tentara Jepang telah menduduki Mojoagung. Sebelum melarikan diri, tentara Belanda mencoba meledakkan jembatan di Kertosono, namun tidak berhasil sepenuhnya, karena jembatan itu tidak tenggelam dan masih dapat digunakan oleh tentara Jepang, sehingga pada 6 Maret tengah hari, Unit Imai berhasil mencapai Mojokerto dan laporan intelijen menyebutkan, bahwa tentara Belanda terus terbirit-birit melarikan diri menuju Surabaya.

Pukul 15.00 Mayor jenderal Tsuchihasi memerintahkan untuk memanggil Charles Olke van der Plas, Gubernur Jawa Timur dan pejabat-pejabat lain untuk diinterogasi. Ketika tidak jelas, siapa yang memegang komando atas tentara Sekutu di Surabaya, Tsuchihasi membatalkan rencana untuk menginterogasi dan memerintahkan  untuk segera menyerang dan menduduki kota Surabaya, yang dilaksanakan pukul 18.00.

Tanggal 7 Maret Batavia telah jatuh ke tangan tentara Jepang, dan tentara Belanda di Surabaya telah dievakuasi karena ancaman serbuan besar-besaran dari tentara Jepang. Dengan demikian, hanya dalam waktu satu minggu dan tanpa perlawanan yang berarti, balatentara Dai Nippon berhasil menguasai seluruh kota-kota besar di Jawa dan mengancam akan memusnahkan seluruh tentara Belanda, apabila mereka tidak mau menyerah.

Akhirnya Pemerintah India-Belanda menyisyaratkan kesediaan untuk melakukan perundingan dengan pimpinan tentara Jepang. Letnan Jenderal Hitoshi Imamura memerintahkan Gubernur Jenderal Jonkheer Van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi Tentara Belanda Letnan Jenderal Hein Ter Poorten untuk datang ke Kalijati. Mereka didampingi oleh Jenderal Mayor Jenderal J.J. Pesman, komandan garnisun Bandung.



9 Maret 1942, Akhir Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara

Pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi, Imamura meninggalkan Batavia menuju Kalijati melalui Karawang dan pukul 16.00 tiba di Kalijati. Pada hari itu juga dimulai perundingan antara Pemerintah Hindia Belanda yang dipimpin langsung oleh Gubernur Jenderal van Starkenborgh Stachouwer dengan tentara Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Imamura. [10]

Imamura menyatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat, namun Gubernur Jenderal Belanda tersebut masih berkeras kepala dan menjawab, bahwa untuk itu dia harus menunggu instruksi dari Pemerintah Exil Belanda di London. Jawaban ini membuat Imamura sangat berang dan mengancam, akan menghancurkan tentara Belanda apabila tidak mau menyerah tanpa syarat.

Akhirnya Belanda tunduk kepada ancaman Jenderal Jepang tersebut dan keesokan harinya, pada 9 Maret 1942 (ada sumber yang menulis tanggal 8 Meret) Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara India Belanda mewakili Gubernur Jenderal menandatangani dokumen pernyataan menyerah tanpa syarat.[11] Dengan demikian, bukan saja de facto, melainkan juga de iure, seluruh wilayah bekas India-Belanda berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang. [12]

Pada hari itu juga Jenderal Hein ter Poorten memerintahkan kepada seluruh tentara India-Belanda untuk juga menyerahkan diri kepada balatentara Kekaisaran Jepang.[13] Dengan demikian, tentara Belanda menyerah kepada Jepang hampir tanpa perlawanan sama sekali. Dengan tindakan itu, Belanda menghancurkan sendiri citra yang ratusan tahun dibanggakan oleh Belanda, bahwa bangsa Belanda/ras kulit putih tidak terkalahkan. Dan kini ras unggul ini ternyata dikalahkan oleh –di mata mereka- ras rendahan.

Sang penguasa yang telah ratusan tahun menikmati dan menguras bumi Nusantara, menindas penduduknya, kini menyerahkan jajahannya ke tangan penguasa lain. Di atas secarik kertas, Belanda telah melepaskan segala hak dan legitimasinya atas wilayah dan penduduk yang dikuasainya kepada penjajah baru, yang ternyata tidak kalah kejam dan rakusnya.
Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942, dengan menyerahnya Pemerintah India Belanda kepada Jepang, dapat dinyatakan sebagai tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di Bumi Nusantara!

Siang itu juga, Vice Marshall Maltby dan Jenderal Sitwell mengeluarkan perintah bagi seluruh pasukan Inggris untuk mematuhi pernyataan menyerah tersebut. Namun tentara Australia di bawah komando Blackburn memutuskan untuk  melanjutkan pertempuran melawan Jepang. Namun mereka hanya dapat bertahan tiga hari, karena selain datangnya musim hujan dan kekurangan obat-obatan serta sarana kesehatan lain, pasukannya juga tidak terlatih dan dipersenjatai untuk perang gerilya di gunung dan hutan. Akhirnya Blackburn menyampaikan informasi kepada Jenderal Sitwell, bahwa pasukannya akan menyerah dan seluruh senjatanya akan dimusnahkan sebelumnya.

Pada 10 maret pukul 14.00 jenderal Imamura bersama stafnya berangkat ke Bandung, dan memanggil seluruh perwira senior Inggris, Amerika dan Australia ke Bandung. Pada 12 Maret Para perwira senior Inggris, Amerika dan Australia menandatangani pernyataan menyerah, yang disaksikan oleh Panglima Tentara Jepang di Bandung, Letnan Jenderal Masao Maruyama, yang menjanjikan kepada mereka hak-hak dan perlindungan para tawanan perang sesuai dengan Konvensi Jenewa.

Sebelum penyerahan itu, para penguasa “perkasa” yang lain termasuk Dr. Hubertus Johannes van Mook, Letnan Gubernur Jenderal untuk India Belanda bagian timur, masih sempat  melarikan diri ke Australia. Bahkan Jenderal Ludolf Hendrik van Oyen, perwira Angkatan Udara Kerajaan Belanda -yang kegemarannya adalah minum wine (anggur), makanan lezat dan wanita- kabur dengan kekasihnya dan meninggalkan isterinya di Bandung.[14] Tentara KNIL yang tidak sempat melarikan diri ke Australia –di pulau Jawa, sekitar 20.000 orang- ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Jepang; sedangkan orang-orang Eropa lain dan juga warganegara Amerika Serikat, diinternir. Banyak warga sipil yang bukan wrganegara Belanda dipulangkan kembali ke Eropa dan Amerika.


Pembentukan Pasukan Pembela Tanah Air (Peta), Heiho, Giyugun dll.

Untuk membantu mereka dalam menjaga keamanan dan ketertiban, Jepang melatih pemuda-pemuda Indonesia di bidang kemiliteran. Di Jawa mereka disebut Heiho (pasukan pembantu), dan di Sumatera dinamakan Giyugun (tentara sukarela). Selain itu, untuk membantu kepolisian Jepang (Tokubetsu Keisatsu Tai), mereka membentuk keibodan, untuk melatih para pemuda dalam pertahanan sipil/pembantu kepolisian Jepang. Banyak pemuda Indonesia yang menjadi anggota Tokubetsu Keisatsu Tai (Kesatuan Polisi Istimewa) yang adalah juga suatu satuan tempur. Tokubetsu Keisatsu Tai ini yang kemudian menjadi cikal bakal Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Republik Indonesia.

Pada bulan Juni 1943, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Selatan, Letnan Jenderal Masazumi Inada, melakukan inspeksi ke Asia Tenggara, termasuk ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Melihat wilayah yang harus dipertahankan serta terbatasnya jumlah pasukan Jepang, membuat Inada cemas. Inada memberikan rekomendasi kepada Panglima Tentara ke 16, Jenderal Harada dan Panglima Divisi 25 di Sumatera, Jenderal Moritaka Tanabe, untuk melatih rakyat setempat guna membantu pertahanan mereka.[15]

Pada bulan Oktober 1943 di Jawa, dibentuk pasukan yang dinamakan Pembela Tanah Air (Peta).[16] Joyce Lebra mencatat, dari pihak Indonesia pembentukan Peta tersebut atas usul Gatot Mangkupraja (konon ditulis dengan darahnya sendiri).[17] Dengan demikian secara kebetulan keinginan pihak Indonesia seiring dengan rencana Jenderal Inada.

Sebelum Peta resmi dibentuk, secara rahasia telah didirikan Seinen Dojo (Sekolah Kemiliteran), dan dirancang untuk membentuk kelompok kecil orang Indonesia yang berbahasa Jepang guna membantu melatih sukarelawan Peta mendatang.[18] Selain itu, Jepang juga mempersiapkan Peta untuk perang gerilya, apabila tentara Sekutu masuk ke Jawa. Dengan demikian struktur yang dibentuk, disesuaikan dengan rencana tersebut. Satuan tertinggi adalah daidan (batalyon) dengan anggota sekitar 500 – 600 orang, di bawah pimpinan daidancho (komandan batalyon). Di setiap kabupaten ditempatkan satu daidan, dengan beberapa pengecualian seperti Jakarta dan Bandung, di mana ditempatkan 2 atau 3 batalyon.[19]

Bulan September 1943, Markas Besar Tentara Selatan menyetujui dibentuknya Gyugun di Sumatera. Pusat latihan perwira didirikan di Kotaraja, Medan, Padang dan Palembang.. Pada bulan Maret 1944 telah terbentuk  sekitar 30 kompi (chutai). Tugas utama Gyugun adalah penjagaan pantai, oleh karena itu latihannya dirancang untuk menghasilkan perwira dan serdadu yang siap untuk tugas bertempur.[20] Gyugun di Sumatera dibentuk dan dilatih pada tingkat karesidenan, tidak di dalam suatu kesatuan di bawah satu komando seperti di Bogor.

Dengan makin terdesaknya Jepang dalam perang melawan Sekutu, banyak pemuda yang telah dilatih, dipaksa ikut dalam pertempuran, termasuk sekitar 2.000 Gyugun asal Sumatera Utara yang dibawa ke Morotai (Halmahera Utara) untuk bertempur melawan tentara Sekutu.

Pada akhir tahun 1943 di Bogor didirikan Renseitai (Satuan Pendidikan Perwira). Dari catatan Jepang, dapat diketahui berapa jumlah anggota Peta yang mendapat pendidikan militer.[21] Sampai bulan November 1944 tercatat kekuatan Peta di Jawa sebanyak 33.000 orang dan di Bali 1.500 orang. Di Sumatera telah dilatih sebanyak 6.000 Gyugun.

Tahun 1945, seluruh kekuatan Peta mencapai 66 batalyon di Jawa dan 3 batalyon di Bali. Selain itu masih terdapat sekitar 25.000 prajurit Heiho. Apabila dalam struktur komando Peta, semua perwira adalah orang Indonesia, dalam Heiho, seluruh perwiranya adalah orang Jepang. Pangkat tertinggi orang Indonesia dalam Heiho adalah sersan.[22]

Selain itu jumlah rakyat di seluruh Indonesia yang mendapat latihan semi-militer atau baru sebatas baris-berbaris dan latihan disiplin adalah:
Seinendan (barisan pemuda)                      : sebanyak 5.600.000 orang,
Keibodan (kelompok pertahanan sipil)      : sebanyak 1.286.813 orang,
Shisintai (Korps Perintis)                           : sebanyak 80.000 orang,
Jibakutai (Korps Berani Mati)                    : sebanyak 50.000 orang,
Gakutai (Korps Mahasiswa)                       : sebanyak 50.000 orang,
Hisbullah (Korps Pemuda Muslim)             : sebanyak 50.000 orang.

            Latihan militer yang mereka peroleh hanya dengan memakai bambu runcing. Kelompok-kelompok ini dipersiapkan sebagai pendukung Peta, Heiho dan gyugun, dan Keibodan yang diperbantukan kepada kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.


Jepang Menyerah Kepada Sekutu, Terjadi Vacuum Of Power

Pada awal tahun 1945, dalam Perang Pasifik Jepang sudah semakin terdesak. Perang di Eropa hanya tinggal menunggu waktu menyerahnya Jerman dan Sekutu sudah mulai mengalihkan tentaranya ke Pasifik. Pada Konferensi yang diselenggarakan di Yalta, Rusia, tanggal 4 - 11 Februari 1945, dicapai kesepakatan antara Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat, Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris dan Joseph Stalin, Perdana Menteri Uni Sovyet, bahwa dua atau tiga bulan setelah Jerman menyerah, Uni Sovyet akan ikut dalam perang melawan Jepang. Sebenarnya, tanggal 13 April 1941, Uni Sovyet dan Jepang telah menandatangani kesepakatan netral, artinya tidak saling menyerang.[23]
Setelah memperkirakan bahwa perang di Eropa akan segera berakhir, Uni Sovyet mulai memusatkan tentaranya di Wladywostok, pelabuhan Rusia di pantai timur. Pimpinan militer Jepang –dan juga Sekutu- memperkirakan Uni Sovyet akan segera menyerang Jepang. Perkembangan yang dramatis dan sangat cepat terjadi di Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

Ketika perang masih berkecamuk di Eropa dan Afrika, kekuatan tentara sekutu dan Rusia terpecah, sehingga tidak bisa mengerahkan kekuatan penuh untuk menghadapi Jepang di Asia. Namun setelah Jerman ditundukkan pada bulan Mei 1945, sekutu dan Rusia dapat mengalihkan kekuatannya ke Asia untuk menundukkan Jepang.

Tanggal 8 Agustus, Menteri Luar Negeri Uni Sovyet, Molotov menyampaikan kepada Sato, Duta Besar Jepang di Moskow, bahwa pada tengah malam Uni Sovyet akan mengumumkan pernyataan perang kepada Jepang. Hal ini sesuai kesepakatan dengan Amerika Serikat dan Inggris pada konferensi Yalta bulan Februari 1949.[24] Tanggal 9 Agustus, Tentara Merah Uni Sovyet memasuki Manchuria yang masih dijajah Jepang, dan setelah menggilas tentara Jepang di Manchuria hanya dalam dua hari, pada 12 Agustus Tentara Merah mendarat di Korea, dan kemudian menduduki kepulauan Sachalin, yang hanya berjarak 42 kilometer dari pantai satu pulau Jepang di bagian utara.[25]

Pada 9 Agustus 1945, tiga orang pimpinan PPKI -Ir. Sukarno, Drs. M. Hatta dan dr. Rajiman Wedyodiningrat (juga didampingi dr. Suharto, dokter pribadi Sukarno)- diundang ke Saigon (kemudian Ho Chi Minh City), Viet Nam, untuk menemui Marsekal Hisaichi Terauchi, Nanyo Gun Saiko Sikikan (Panglima Tertinggi Wilayah Selatan). Mereka diantar oleh Letnan Kolonel Nomura dan Myoshi.[26]

Bertepatan dengan hari keberangkatan tiga pemimpin Indonesia untuk bertemu dengan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Viet Nam, pada 9 Agustus pesawat pembom AS menjatuhkan bom atom kedua atas kota Nagasaki, yang kelihatannya sebagai reaksi terhadap pengumuman perang oleh Rusia kepada Jepang. Nampaknya, Amerika Serikat tidak ingin berbagi kekuasaan dengan Uni Sovyet atas Jepang. Bom atom kedua di Nagasaki telah menewaskan antara 35.000 sampai 40.000 orang serta melukai sejumlah besar penduduk. Amerika Serikat mengancam Pemerintah Jepang, bom atom ketiga akan dijatuhkan di atas Ibukota Jepang, Tokyo.

Pada 10 Agustus, Jepang mulai melakukan perundingan dengan pihak Sekutu, di mana Pemerintah Jepang kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa Pemerintah Jepang menyetujui  persyaratan penyerahan sesuai dengan deklarasi Potsdam tanggal 26 Juli 1945. Jepang hanya meminta, agar posisi Kaisar Jepang sebagai penguasa di Jepang tidak diganggu. Pihak Sekutu mengabulkan permintaan Jepang tersebut.

Sementara itu, pada 11 Agustus,[27] ketiga pemimpin Indonesia diterima Marsekal Terauchi di Villa-nya di Dalat, Vietnam. Atas nama pemerintah Jepang, selain mensahkan Sukarno dan Hatta sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI, Marsekal Terauchi menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, dan wilayah kedaulatan Indonesia: Seluruh wilayah bekas India Belanda. Terauchi bahkan menyetujui sidang pertama PPKI dilaksanakan tanggal 18 Agustus 1945.[28]

Tanggal 13 Agustus rombongan Sukarno-Hatta-Wedyodiningrat meninggalkan Saigon dan singgah di Singapura, di mana mereka bertemu dengan anggota PPKI yang mewakili Sumatera, Mr. Teuku Mohammad Hassan, dr. M. Amir dan Mr. Abbas, dan kemudian bersama-sama ke Jakarta. Mereka tiba di Jakarta tanggal 14 Agustus, di mana sejumlah tokoh serta masyarakat telah menunggu di bandar udara. Pimpinan tinggi militer Jepang, antara lain Jenderal Nagano dan Laksamana Muda Tadashi Maeda juga ikut menjemput di bandar udara.[29]

Pada 14 Agustus itu juga tecapai kesepakatan antara pihak Sekutu dengan Pemerintah Jepang mengenai tata cara penyerahan Jepang, dan Kaisar Jepang, Hirohito, mengeluarkan perintah secara sepihak, agar tentara Jepang segera menghentikan pertempuran. Jepang menyerah tanpa syarat!

Namun Sekutu, terutama Amerika Serikat, tidak langsung menerima penyerahan Jepang dan hingga akhir Agustus 1945, pesawat-pesawat pembom Amerika Serikat masih terus membom kota-kota serta pusat-pusat industri di Jepang, dengan tujuan menghancurkan potensi industri Jepang agar supaya tidak dapat lagi membangun kekuatan militer. Di 66 kota yang dibom, rata-rata sekitar 40% bangunan dihancurkan dan sekitar 30% penduduk kota di Jepang kehilangan tempat tinggal serta harta benda.
Pada 1 September 1945 Kaisar Jepang Hirohito memberikan mandat kepada Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu  dan Jenderal Yoshijiro Umezu, Chief of the General Staff of the Imperial Japanese Army, untuk mewakili pemerintah dan militer Jepang dalam penyerahan kepada Sekutu.

Kapitulasi Jepang secara resmi ditandatangani tanggal 2 September 1945, pukul 09.04, di atas kapal perang AS Missouri, di teluk Tokyo. Dari pihak Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur sebagai Supreme Commander for the Allied Powers mewakili tentara Sekutu; Admiral C.W. Nimitz, mewakili Pemerintah Amerika Serikat;  Hsu Yung Chiang, mewakili Republik China; Bruce Fraser, mewakili Inggris; Kuzma Derevyanko, mewakili Uni Sovyet; Thomas Blamey, mewakili Australia; L. Moore Cosgrave, mewakili Canada;  Jaques Le Clerc mewakili Pemerintah Sementara Prancis; Admiral C.E.L. Helfrich, mewakili Belanda dan Leonard M. Isitt, mewakili Selandia Baru.
Serah terima dari tentara Jepang di Asia Tenggara dilakukan di Singapura, pada 12 September 1945, pukul 03.41 GMT. Admiral Lord Louis Mountbatten,[30] Supreme Commander South East Asia Command, mewakili Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Seishiro Itagaki, yang mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang untuk Wilayah Selatan.[31]

Ada tiga hal yang dapat dipetik sebagai hikmah zaman penjajahan Jepang, yaitu pertama, zaman pendudukan Jepang dinilai sebagai zaman penderitaan lahiriah dan bathiniah,[32] karena tentara Jepang menggunakan kekerasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Namun justru tindakan tentara Jepang tersebut telah menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dan semangat untuk merdeka, yang tak dapat dibendung lagi[33].

Kedua, mempercepat proses pematangan dan pemantapan berpolitik bagi para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia. Juga memberi kesempatan kepada ribuan orang Indonesia yang menggantikan posisi Belanda di bidang pemerintahan daerah.

Dan ketiga, walaupun sebenarnya untuk tujuan perang dan dan memantapkan kekuasaan mereka, pembentukan Peta, Heiho dan Gyugun, serta pendidikan militer maupun semi-militer bagi Seinendan, keibodan, dll. dalam jumlah besar, memungkinkan -dalam waktu singkat- dibentuknya  berbagai  satuan pasukan, yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, sehingga ketika Belanda –dibantu oleh Inggris dan Australia- ingin berkuasa kembali di wilayah bekas Hindia Belanda, mendapat perlawanan bersenjata yang sangat sengit. Sejarah mencatat, sampai ditandatanganinya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag bulan November 1949, tentara Belanda tidak dapat mengalahkan Tentara Nasional Indonesia.

Kaisar Jepang Hirohito menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 15 Agustus 1945, dan menghentikan secara sepihak semua tindakan militer. Namun penandatanganan dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender) kepada sekutu baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS  Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di wilayah yang diduduki oleh Jepang antara tahun 1942 - 1945, termasuk bekas jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda).


Arti Penting Menyerahnya Belanda Kepada Jepang 9 Maret 1942 dan Menyerahnya Jepang Kepada Sekutu 15 Agustus 1945 Terhadap Keabsahan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada 18 Agustus mengangkat Sukarno sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.

Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh benua Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l.:

ARTICLE 1
The state as a person of international law should possess the following qualifications:
a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.

Namun ayat tiga konvensi ini juga menyebutkan, bahwa eksistensi Negara tersebut  tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Ayat tiga tersebut berbunyi.

ARTICLE 3
The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.

Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo, yaitu
a. Adanya penduduk yang permanen,
b. Adanya wilayah tertentu
c. adanya pemerintahan, dan
d. Kemampuan untuk menjalin hubungan internasional.

Sebagaimana diterangkan pada Ayat 3, bahwa butir ke empat Ayat satu tidak menjadi syarat utama, sehingga walaupun tanpa adanya pengakuan, Negara tersebut  berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Pada tahun 1946, Liga Arab memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi.


Landasan Politis dan Moral

Gagasan untuk memberikan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, telah tercetus sejak akhir abad 19. Dalam kongres internasional para buruh dan serikat sosialis (The International Socialist Workers and Trade Union Congress) yang diselenggarakan di London . dari 26 Juli – 1 Agustus 1896, dideklarasikan:
 “This Congress declares that it stands for the full right of all nations to self-determination [Selbstbestimmungsrecht]…”

Dalam kongres ini pertama kali diformulasikan gagasan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Right for selfdetermination of all nations). Vladimir Ilyich Lenin, dari bulan Februari – Mei 1914 juga menulis mengenai “The Right of Nations to Self-Determination.” Tulisannya dimuat dalam journal Prosveshcheniye Nos. 4, 5 dan 6, yang diterbitkan pada bulan April - Juni 1914. Dia mencantumkan namanya sebagai V. Ilyin.

Awalnya, yang dimaksud oleh kaum sosialis dan Marxis adalah hak bangsa-bangsa untuk menentukan bentuk Negara/pemeritahan sesuai yang dikehendaki oleh rakyatnya. Tujuannya adalah mengganti sistim monarchi dengan sistim republik. Namun kemudian kalimat ini, yang sangat dikenal dalam bahasa Jermannya sebagai Selbstbestimmungsrecht, kemudian berkembang untuk bangsa-bangsa terjajah menentukan nasibya sendiri.

Dalam hal ini, adalah Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, untuk mengambil hati Negara-negara jajahan dan bangsa-bangsa terjajah, yang menghubungkan hak menentukan nasib sendiri dengan situasi penjajahan. Dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan menjelang berakhirnya perang dunia pertama, butir lima konsepnya, Wilson telah menyebut mengenai klaim atas suatu jajahan, harus juga disesuaikan dengan keinginan penduduknya. Wilson menulis:
A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.

Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan: 
“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them …”

Butir tiga ini yang dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of people …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).
Atlantic Charter ini kemudian menjadi salahsatu butir yang tercantum dalam United Nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:
“… To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace…”

Sehubungan dengan Atlantic Charter ini, Ratu Belanda, Wilhelmina, dalam pidato radio yang disampaikannya ketika berada di tempat pelarian di London pada 7 Desember 1942, mendukung butir tiga dalam gagasan Atlantic Charter. Pidato ini disampaikannya tepat satu tahun setelah dimulainya Perang Pasifik, yang diawali dengan penyerangan Jepang terhadap pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Sistim monarchi konstitusional yang dianut oleh Kerajaan Belanda membuat Ratu Belanda tidak mempunyai kekuatan politik, dan hanya dapat memberikan dukungan moral. Dia mengatakan a.l.:
“… A political unity which rests on this foundation moves far towards a realization of the purpose for which the United Nations are fighting, as it has been embodied, for instance, in the Atlantic Charter, and with which we could instantly agree, because it contains our own conception of freedom and justice for which we have sacrified blood and possessions in the course of our history ...”

Bahkan Wilhelmina memberikan janji yang melebihi tunututan yang disampaikan oleh wakil-wakil pribumi dalam Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat zaman penjajahan Belanda), sebagaimana disampaikan oleh Sutardjo Kartohadikusumo dalam petisi yang dikenal sebagai Petisi Sutardjo. Juga dalam pidato ini, Wilhelmina menggunakan kata ‘INDONESIA’, dan bukan Nederlands Indië. Selanjutnya dia mengatakan:
“…I visualize, without anticipating the recommendations of the future conference, that they will be directed towards a commonwealth in which the Netherlands. Indonesia, Surinam and Curacao will participate, with complete self-reliance and freedom of conduct for each part regarding its internal affairs, but with the readiness to render mutual assistance …

Mengenai definisi suatu bangsa, lazim digunakan formulasi dari Otto Bauer, seorang negarawan dari Austria yang mengatakan, bahwa: “Eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.” Yang artinya, Satu bangsa adalah suatu masyarakat yang memiliki ciri/watak yang sama, yang lahir dari masyarakat yang senasib. Definisi ini sesuai a.l. untuk Amerika Serikat dan Indonesia.

Dengan demikian jelas adanya, bahwa dipandang dari berbagai segi, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah sah, baik dari segi hukum internasional, maupun dari segi politis, moral, Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Bangsa. Juga pernyataan kemerdekaan Indonesia, bukan suatu pemberontakan atau revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan. Tidak ada pemerintahan samasekali!




Wilayah Republik Indonesia: Berdasarkan uti possidetis juris

Uti possidetis juris adalah hukum internasional yang diadopsi dari hukum Romawi, mengenai batas wilayah suatu Negara yang pernah dijajah atau dikuasai oleh negara lain. Ini dilakukan oleh Negara-negara di Amerika Selatan setelah bebas dari penjajahan Spanyol dan Portugal. Demikian juga dengan negara-negara pecahan Uni Sovyet dan Yugoslavia. Juga ketika Ceko dan Slovakia memisahkan diri, mereka sepakat dengan batas-batas administrasi yang ada sebelum pemisahan kedua negara tersebut.

Dengan demikian, berdasarkan uti possidetis juris, wilayah Republik Indonesia adalah wilayah bekas Nederlands Indië (India Belanda) termasuk Irian Barat, yang dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), tidak dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI. Irian barat masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia tahun 1969, berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), yang difasilitasi oleh PBB (Perserikatan Bangsa bangsa).

Batas wilayah Nederlands Indië terakhir ditentukan berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939. Namun batas wilayah ini masih menggunakan ukuran 3 mil dari pantai. TZMKO ini kemudian diganti dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS ’82), termasuk mengenai batas wilayah suatu Negara Kepulauan.

Dalam sengketa antara Republik Indonesia dengan Malaysia sehubungan dengan sengketa kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berada di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, salahsatu dasar pertimbangan dari Pengadilan Internasional (International Court of Justice) di Den Haag, Belanda, untuk memenangkan Malaysia adalah berdasarkan Uti Possidetis juris.

Di peta Inggris, ketika masih berkuasa atas Malaysia (Malaya), kedua pulau tersebut termasuk wilayah Inggris, sedangkan kedua pulau tersebut tidak ada di peta Belanda, ketika masih menguasai Nederlands Indië (India Belanda).



Belanda Ingin Berkuasa di Indonesia

Sebenarnya, Belanda telah kehilangan haknya atas India-Belanda,[34] setelah Gubernur Jenderal India-Belanda, Jonkheer Alidus Warmmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936 – 1942) secara resmi menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang pada 9 Maret 1942[35] di Kalijati dekat Subang, Jawa Barat. Demikian juga dengan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, yang dengan cara pengecut dan memalukan, yaitu tanpa adanya perlawanan, menyerah kepada balatentara Dai Nippon.

Fakta ini menunjukkan, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya dan melindungi rakyatnya. Hal ini dapat terjadi juga antara lain disebabkan karena Pemerintah India-Belanda keras kepala dan menolak mobilisasi serta mempersenjatai rakyat Indonesia, sebagaimana diusulkan oleh banyak pemimpin bangsa Indonesia yang telah memperkirakan bahwa Jepang akan melancarkan agresi militernya ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia, yang masih dijajah Belanda.

Dengan menyerahkan jajahannya secara resmi kepada Jepang, maka Belanda telah kehilangan segala legitimasinya atas wilayah tersebut. Oleh karena itu, ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka hal ini bukanlah merupakan suatu pemberontakan terhadap Belanda, sebagaimana digarisbawahi oleh delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Lambertus Nicodemus Palar, dalam memorandum yang disampaikan dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada 20 Januari 1949, setelah agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948, yaitu:
“… Bahwasanya menurut sejarahnya Republik Indonesia bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya.

Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.

Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri.

Demikianlah maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada imperialis Jepang tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat mempertahankannya, tetapi juga menolak memberikan kepada rakyat Indonesia sendiri kekuatan untuk melawan Jepang.

Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa  bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri …”
           
Senada dengan isi memorandum tersebut di atas, Kolonel Laurens van der Post,[36] Gubernur Militer tentara Sekutu (AFNEI) untuk Batavia (Jakarta), pada pertengahan Agustus 1945 memberikan pendapatnya terhadap pernyataan Dr. Charles Olke van der Plas yang diucapkannya di radio Australia setelah Jepang menyatakan menyerah kepada sekutu, yaitu maksud Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia “…dan akan memulihkan kembali Jawa dan pulau-pulau lain menuju perdamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan yang telah mereka nikmati di bawah Belanda sebelum perang …” . van der Post menulis:[37]

“…I felt the Dutch should realized that any subject race whose lords and masters have failed in their first duty of protecting them from foreign invasion and domination of the kind they suffered under the Japanese, would resent and even despise those lords and masters, and reassess them accordingly. Instead of a real battle for the European way of life, the Indonesians had seen island after island, the island continent of Sumatra itself and the teeming and beautiful world of Java, fall ignominously without more than a skirmish or two –and those fought principally by the Australians under Brigadier Blackburn.”

Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan mulai mendarat di Jawa tanggal 1 Maret 1945, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan Gubernur Jenderar India Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Mayor Simon Hendrik Spoor, yang ikut mendirikan Dinas Intelijen Tentara Belanda di Timur (Netherlands Eastern Forces Intelligence Service - NEFIS).[38]

Spoor, yang lahir di Amsterdam pada 12 Januari 1902 mencatat karir yang sangat pesat. Tahun 1945 dia berpangkat Kolonel, dan kemudian tahun 1946 dia menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia.

Tahun 1942 jumlah tentara Belanda –termasuk pribumi yang menjadi serdadu KNIL seperti Kolonel Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo- yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang.

Setelah Jepang menyatakan menyerah pada 15 Agustus 1945, di seluruh wilayah yang mereka duduki, tentara Jepang mulai membebaskan para tahanan serta interniran Sekutu. Di antara para tahanan dan interniran yang dibebaskan, selain orang Belanda terdapat juga sejumlah tentara Inggris dan Australia. Salah seorang mantan perwira Inggris yang dibebaskan adalah Letnan Kolonel Laurens van der Post.

Pada  15 Agustus 1945 di Australia, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia. Sementara itu, juga pada hari itu, tanggal 15 Agustus 1945, dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglima South West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando Asia Tenggara) sesuai dengan hasil kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris di Potsdam bulan Juli 1945.

Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan pemerintah Belanda. Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak mau diakui oleh pemerintah Belanda, yang menganggap bahwa ini sebagai pemberontakan terhadap Kerajaan Belanda. Untuk sebagian orang Belanda, apabila Nederlands Indië tidak lagi di bawah kekuasaan Belanda, maka kekayaan orang-orang Belanda yang ada di bekas jajahannya akan hilang. Selain itu, pemasukan dari India Belanda menyumbang hampir 10 % budget (Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara) Belanda. Slogan yang waktu itu sangat popular di Belanda adalah: “Indië verloren, rampspoed geboren”, yang artinya Indië (sebutan untuk jajahannya) hilang, timbul malapetaka.

Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak mempunyai angkatan perang yang kuat. Tentaranya di Belanda telah digilas oleh tentara Jerman tahun 1941, dan tentaranya di India Belanda, ditaklukkan oleh balatentara Dai Nippon tahun 1942. Tentara Belanda yang ada di India Belanda, dimasukkan ke kamp-kamp interniran. Setelah mereka dibebaskan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu, kondisi  fisik para prajurit Belanda sangat menyedihkan. Kekurangan makan dan berbagai penyakit mengakibatkan fisik mereka sangat lemah dan tidak dapat dikerahkan untuk perang.
Setelah penyerahan wewenang atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal MacArthur kepada Admiral Lord Louis Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA).

Butir yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda. Di sinilah berulang kali diadakan pertemuan antara Pemerintah Inggris dengan delegasi Pemerintah Belanda.

Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada  status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan rahasia keduanya ini dipertegas dan diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.

Di sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting adalah “hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri” (Right for selfdetermination of peoples)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib negara-negara jajahan.

Namun belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.

Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat sekitar 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, mereka hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1.    Melucuti tentara Jepang serta  mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2.    Membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3.    Menciptakan  keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).

Namun sejarah mencatat, bahwa ternyata ada agenda rahasia (hidden agenda) yang dibebankan kepada Mountbatten,sebagai hasil perundigan antara pemerintah Inggris dengan pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan tugas Tentara Sekutu dan tugas tambahannya dia memperkirakan diperlukan enam divisi. Untuk tugas-tugas tersebut, dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara Inggris-India (British-Indian Divisions). Untuk memenuhi permintaannya, Mountbatten mendapat tambahan dua divisi tentara Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morshead, yang sebelumnya berada di bawah komando MacArthur di South West Pacific Area Command.

Dengan demikian, Ingris dan Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum mampu untuk bertempur.

Politik Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1948, setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.

Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tak perlu terjadi  pembantaian puluhan ribu rakyat Indonesia, terutama di Sulawesi Selatan.
Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa tentara Belanda dengan berkedok RAPWI.

Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda. Jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan Divisi ke 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.

Tanggal 1 September 1945, Dr. H.J. van Mook bersama Dr. Charles van der Plas menemui Lord Mountbatten di Markas Besar Komando Tentara Sekutu di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan antara Belanda dan Inggris, Civil Affairs Agreement, serta hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Setelah pertemuan tersebut, pada 2 September 1945 Mountbatten mengeluarkan perintah kepada komandan Divisi 5, yang berakibat sangat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Perintah tersebut berbunyi:

Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.

From   : Supreme Commander S.E.Asia
To        : G.O.C.Imperial Forces.

                                                Re. Directive ASD4743S.

                        You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
                        In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
                        The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
                        Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
                        As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
            I wish you God speed and a sucessful campaign.

                                                                                    (signed)
                                                                                Mountbatten
                                                                        ____________________
                                                                        Vice Admiral.
                                                                        Supreme Commander S.E.Asia.

Kalimat:
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.” 
dan kalimat berikutnya:
“……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”

menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
 “…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Dua Divisi tentara Australia ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur lainnya. Sejarawan Australia Anthony J.S. Reid dalam bukunya: Revolusi Nasional Indonesia, mengenai hal ini menulis a.l.:
“… Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara Australia,
di Kupang tanggal 11 September 1945,
di Banjarmasin tanggal 17 September,
di Makasar tanggal 21 September,
di Ambon tanggal 22 September,
di Manado tanggal 2 Oktober,
di Pontianak tanggal 16 Oktober.

Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda ...”

Atas desakan Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan di bagian timur, kecuali Bali dan Lombok, kepada tentara Australia. Namun kemudian, Inggris juga “menyerahkan” kewenangan atas Bali dan Lombok kepada tentara Australia, sehingga yang di bawah kewenangan tentara Inggris hanya Sumatera, Jawa dan Madura. Dengan demikian, Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah di seluruh Indonesia Timur.

Pada 24 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadier (Brigadir Jenderal) Aulbertin  Walter Sothern Mallaby, yang baru berumur 42 tahun, tiba di pelabuhan Tanjung Perak dan tanggal 25 Oktober mulai mendarat di Surabaya. Dia tewas pada 30 Oktober 1945 dalam insiden di depan Gedung Internatio, Surabaya.

Pada pertengahan Oktober 1945, Perdana Menteri Inggris Clement Atlee dari Partai Buruh, di House of Commons menegaskan dukungan Inggris terhadap Belanda, yang adalah sekutunya dalam Perang Dunia II, sehubungan dengan  Indonesia:
“… Pemerintah Inggris menginsyafi benar-benar kenyataan, bahwa selama peperangan yang lalu, Pemerintah Belanda berdiri di samping Inggris dan tidak boleh tidak, menderita akibat peperangan itu.
Pemerintah Inggris hanya mengakui pemerintah Belanda sebagai satu-satunya pemerintahan yang syah di seluruh Indonesia dan berpendapat bahwa pemerintah Belanda sudah sangat jauh menawarkan rencana yang liberal kepada Indonesia …


Konferensi Meja Bundar (KMB)
Dengan diberlakukannya gencatan senjata sesuai hasil Persetujuan Rum-Royen, maka tak ada lagi halangan bagi penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Republik Indonesia mengirim delegasi yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta, dengan anggota antara lain Prof. Dr. Mr. Supomo, Mr. M. Rum, Ir. Juanda, dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo dan Kolonel Simatupang. Selain sepuluh anggota delegasi, rombongan Republik dibantu oleh sekitar 40 penasihat ahli, baik bidang politik, hukum, sosial, kebudayaan dan bidang kemiliteran serta sejumlah tenaga staf sekretariat.

Para penasihat tersebut antara lain Mr. M. Yamin dan Mr. Sutikno Slamet, Ketua Mahkamah Agung. Untuk bidang militer dipimpin oleh dr. J. Leimena, dengan anggota antara lain Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel Subiyakto, Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Udara Suryadarma, Kepala Staf Angkatan Udara, Sukanto, Kepala Kepolisian Negara, Letnan Kolonel Daan Yahya, Mayor Haryono dan pakar hukum kemiliteran, Mr. Hamid Algadrie.[39]

Konferensi Meja Bundar dibuka tanggal 23 Agustus 1949 di Ridderzaal (Bangsal Ksatria) Den Haag. Dr. Leimena dan Kolonel Simatupang beserta rombongan militer belum hadir karena masih di New Delhi. Mereka tiba beberapa hari setelah pembukaan KMB.[40] Delegasi BFO dipimpin oleh Perdana Menteri BFO, Anak Agung Gde Agung dengan anggota delegasi antara lain Sultan Hamid II, Mr. Makmun Sumadipraja, Kolonel KNIL Sugondo dan Kapten KNIL Tahiya. Delegasi Belanda dipimpin oleh Menteri Urusan Provinsi Seberang Laut, J.H. van Maarseven.

Pada konferensi tersebut, dibentuk komisi-komisi yang akan membahas berbagai aspek dalam rangka serah-terima dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persiapan pembentukan Uni Indonesia - Belanda. Komisi-komisi tersebut adalah komisi ketatanegaraan dan hukum negara, komisi keuangan dan perekonomian, komisi  kemiliteran, komisi kebudayaan dan komisi sosial. Di komisi kemiliteran, delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II.

Perundingan yang sangat alot timbul di komisi ketatanegaraan, komisi keuangan dan komisi kemiliteran. Sehubungan dengan wilayah kedaulatan RIS, delegasi Republik mengajukan tuntutan, bahwa wilayah tersebut adalah bekas Hindia Belanda, termasuk Irian Barat (Nieuw Guinea), yang tentu tidak disetujui oleh Belanda. Dalam masakah Irian Barat, BFO, terutama Anak Agung Gde Agung sepakat dengan pihak Republik, yaitu bahwa Irian Barat harus termasuk wilayah RIS. Perdebatan mengenai masalah ini -sampai akhir KMB- tidak mencapai kata sepakat, sehingga diputuskan untuk menyatakan status quo bagi Irian Barat, yang berarti tetap di bawah administrasi Belanda. Dengan demikian delegasi Belanda memenangkan perundingan mengenai Irian Barat.

Di komisi keuangan dan perekonomian, Belanda menuntut -dan berhasil- bahwa RIS akan menanggung hutang Pemerintah India Belanda sejak tahun 1932 dan ironisnya, termasuk utang Belanda yang dibuat antara tahun 1945 - 1949, berarti biaya yang dikeluarkan oleh Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Semula Belanda menuntut pembayaran sebesar 6 milyar gulden, yang dinilai oleh Merle Cochran terlalu tinggi, dan akhirnya delegasi RI menyetujui pembayaran kepada Pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden. Sampai tahun 1954, Pemerintah RIS, kemudian diteruskan oleh Pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 milyar, sebelum dihentikan oleh Sukarno. Selain itu, juga diputuskan untuk mengembalikan semua hak milik orang Belanda di Indonesia.[41]

Di bidang kemiliteran, Belanda juga membukukan sejumlah keuntungan, yang mempunyai dampak sangat panjang. Angkatan Perang RIS (APRIS) harus menampung seluruh serdadu KNIL yang pribumi dengan pangkat yang sama. Namun dalam pelaksanaannya, sebelum diserahkan kepada APRIS, para serdadu KNIL dinaikkan pangkatnya, bahkan dikabarkan bahwa ada yang langsung naik dua tingkat. Di tahun tujuhpuluhan, ada bekas serdadu KNIL -yang hingga akhir tahun 1949 masih bertempur untuk Belanda melawan Republik- berhasil mencapai pangkat Mayor Jenderal. Dengan menawarkan bantuan militer yang dinamakan Nederlandsche Militaire Missië (NMM) untuk APRIS, perwira-perwira Belanda dengan berkedok sebagai penasihat militer, dapat leluasa bergerak di seluruh Indonesia dan mengadakan infiltrasi-infiltrasi serta mempengaruhi perwira-perwira APRIS, mantan anak buah mereka.

Bersamaan dengan berlangsungnya KMB, konferensi Inter-Indonesia juga dilaksanakan di negeri Belanda guna merumuskan konstitusi Republik Indonesia Serikat, sebagai kelanjutan perundingan di Yogyakarta tanggal 22 Juli 1949 dan di Jakarta tanggal 1 Agustus 1949. Tanggal 29 Oktober 1949, di Scheveningen ditandatangani Piagam Persatuan Republik Indonesia Serikat, yang ditandatangani oleh:[42]
1. Mr. Susanto Tirtoprojo,            untuk Republik Indonesia,
2. Raja Kaliamsyah Sinaga,          untuk Negara Sumatera Timur,
3. Raja Mohammad,                      untuk Daerah Otonom Riau,
4. Abdul Malik,                             untuk Daerah Otonom Sumatera Selatan,
5. Mohammad Yusuf Rasidi,         untuk Daerah Otonom Bangka,
6. K.A.Mohammad Yusuf,             untuk Daerah Otonom Belitung,
7. Mr. R.T. Jumhana Wiriaatmaja, untuk Negara Pasundan,
8. dr. R. Sujito,                              untuk Negara Jawa Tengah,
9. R.Sudarmo,                                untuk Negara Jawa Timur,
10. R.A.A. Cakraningrat,              untuk Negara Madura,
11. Sultan Hamid II,                      untuk Daerah Otonom Kalimantan Barat,
12. Aji Pangeran Sosronegoro,      untuk Daerah Otonom Kalimantan Timur,
13. Mohammad Hanafiah,             untuk Daerah Otonom Banjar,
14. Mochram bin Haji Moh. Ali,   untuk Daerah Otonom Dayak Besar,
15. M. Yamani,                               untuk Daerah Otonom Kalimantan Selatan,
16. Ide Anak Agung Gde Agung,   untuk Negara Indonesia Timur.

Perundingan KMB berakhir tanggal 1 November 1949 dan ditandatangani kesepakatan antara Republik Indonesia, BFO dan Kerajaan Belanda yang difasilitasi oleh UNCI (United Nations Commission on Indonesia).[43]

“Intermezzo”  Republik Indonesia Serikat (RIS)
Tanggal 14 November 1949, rombongan delegasi Indonesia di bawah pimpinan Drs. M. Hatta, tiba kembali di Yogyakarta. Hasil-hasil Konferensi Meja Bundar perlu diratifikasi oleh semua negara dan daerah otonom yang akan menjadi anggota RIS, dalam hal ini oleh Pemerintah Republik Indonesia dan semua negara-negara federal bentukan van Mook.
Pada 14 Desember 1949 di Jakarta, wakil dari semua negara anggota BFO dan Pemerintah Republik Indonesia, menandatangani Konstitusi RIS.[44] Sementara itu, sejak awal Desember 1949, di Yogyakarta KNIP mulai membahas semua hasil-hasil KMB. Mengenai hal ini, Sumantri mencatat:[45]
“…Akan tetapi di Yogyakarta, pada sidang Pleno KNIP penerimaannya tidaklah begitu menggembirakan, karena kebanyakan dari anggota KNIP insyaf, bahwa untuk memperoleh perdamaian dengan Belanda itu telah diberikan terlalu banyak konsesi kepada Belanda, sehingga pembentukan RIS itu sesungguhnya berarti penyelewengan terbesar dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meskipun demikian, kebanyakan anggota KNIP insyaf, bahwa pada waktu itu tidak ada jalan lain, melainkan menerima segala naskah yang dibuat oleh KMB di Den Haag itu. Juga naskah Konstitusi RIS, tidak dapat dirubah sedikitpun; untuk ini para anggota KNIP tidak diberi kesempatan sama sekali. Mereka hanya harus mensyahkan saja dan memilih seorang wakil bagi setiap 12 orang anggota KNIP, untuk duduk dalam Dewan Perwakilan RIS…”

Setelah satu minggu bersidang, diambil pemungutan suara untuk pengesahan seluruh hasil Konferensi Meja Bundar dengan hasil, 236 suara menerima dan 62 suara menolak hasil KMB. Tanggal 15 Desember 1949, KNIP meratifikasi hasil-hasil KMB.

Selain menunjuk wakil-wakil untuk duduk di Senat RIS, KNIP juga menunjuk wakil-wakil Republik Indonesia untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat RIS. Demikian juga dengan negara-negara anggota BFO, yang mengirim wakil mereka untuk duduk di Senat dan DPR RIS..

Pada 16 Desember 1949 di Yogyakarta, Panitia Pemilihan Nasional RIS memilih Ir. Sukarno menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama, dan peresmiannya dilakukan tanggal 17 Desember 1949. KNIP kemudian mengangkat Mr. Assaat Datuk Mudo, Ketua KNIP, sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian, Mr. Assaat de facto Presiden Republik Indonesia kedua yang memegang jabatan ini hingga tanggal 15 Agustus 1950. Setelah Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mr. Asaat menyerahkan kembali jabatan Presiden RI kepada Ir. Sukarno.

DPR RIS kemudian memilih empat orang menjadi formatur kabinet, yaitu Drs. Mohammad Hatta, Anak Agung Gde Agung, Hamengku Buwono IX dan Sultan Hamid II.[46] Pada 19 Agustus 1949 terbentuklah Kabinet RIS dengan susunan:[47]

Perdana Menteri                   : Mohammad Hatta
Menteri Luar Negeri             : Mohammad Hatta
Menteri Pertahanan             : Hamengku Buwono IX
Menteri Dalam Negeri         : Ide Anak Agung Gde Agung
Menteri Keuangan               : Mr. Syafruddin Prawiranegara
Menteri Perekonomian        : Ir. Juanda
Menteri Perhubungan dan
Pekerjaan Umum                 : Ir. H. Laoh
Menteri Kehakiman             : Prof. Dr. Mr. supomo
Menteri P dan K                    : dr. Abu Hanifah
Menteri Kesehatan               : dr. Josef Leimena
Menteri Perburuhan             : Mr. Wilopo
Menteri Sosial                       : Mr. Kosasih Purwanegara
Menteri Agama                     : K.H. Wahid Hasyim
Menteri Penerangan              : Arnold Mononutu
Menteri Negara                     : Sultan Hamid Alkadrie II
                                                  Mr. Mohammad Rum
                                                  Dr. Suparno

Upacara "penyerahan kedaulatan" dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) berlangsung secara bersamaan di dua tempat. Pada 27 Desember 1949 di Paleis op de Dam di Amsterdam, Belanda, Perdana Menteri RIS M. Hatta atas nama Pemerintah RIS, menerima "kedaulatan" dari Ratu Juliana, dan di Jakarta, Wakil Perdana Menteri RIS, Hamengku Buwono IX menerima "kedaulatan RIS" dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda, A.H.J. Lovink. Pada upacara tersebut yang berlangsung di Istana di Gambir (sekarang Jl. Medan Merdeka Utara) yang dihadiri oleh sejumlah wakil dari negara-negara sahabat seperti India, Pakistan, Filipina, Birma, Thailand, Arab Saudi dll., satu regu tentara Belanda dari KL menurunkan bendera Merah-Putih-Biru, dan regu TNI menaikkan bendera Merah-Putih.[48]

Pada 28 Desember 1949, Presiden RIS, Ir. Sukarno bersama rombongan diantar oleh Pejabat Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat Datuk Mudo, ke bandar udara Maguwo dan dengan dua pesawat istimewa berangkat menuju Jakarta. Presiden RIS beserta rombongan tiba di Jakarta pukul 11.40, disambut oleh Wakil Perdana Menteri RIS, Hamengku Buwono IX dan ratusan ribu rakyat Indonesia di Jakarta.[49]

Sejarah mencatat, RIS tidak bertahan lama. Satu per satu “Negara-Negara Bagian” bentukan Belanda dibubarkan oleh rakyatnya, atau membubarkan diri, kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya hanya tersisa 3 Negara Bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT). Akhirnya NST dan NIT juga sepakat untuk bergabung dengan Republik Indonesia.

Pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran RIS. Pada 17 Agustus 1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.


Akibat Dari Agresi Militer Belanda, Inggris dan Australia

Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Bangsa dan
Hak Asasi Negara Republik Indonesia

Dalam upaya menjajah Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat, tentara Belanda, demikian juga tentara Inggris dan Australia yang membantu Belanda, telah melakukan banyak pelanggaran, bukan hanya kejahatan perang, genosida dan kejahatan atas kemanusiaan, melainkan juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi Bangsa (HAB), dan Hak Asasi Negara (HAN) Indonesia.

Berbagai pembantaian terhadap penduduk sipil dilakukan sejak tahun 1945,yaitu diawali dengan pemboman atas kota Surabaya pada bulan Novermber 1945,yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 penduduk, sekitar 150.000 penduduk dipaksa mengungsi ke luar kota dan hancurnya kota Surabaya bagian selatan. Pemboman oleh Inggris di Surabaya, pertempuran Medan Area, Palagan Ambarawa dan Bandung Lautan Api, yang melibatkan tentara Inggris, tidak terlepas dari upaya Belanda untuk menjajah kembali, karena hal ini dilakukan oleh tentara Inggris sebagai pelaksanaan perjanjian Chequers, yaitu Civil Affairs Agreement.

Demikian juga peran tentara Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie Morshead, yang sangat berjasa dalam membantu Belanda menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur. Setelah dinilai sebagai “aman” dari perlawanan kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 seluruh wilayah IndonesiaTimur, termasuk Bali, “diserahkan” kepada NICA. Sehari kemudian, pada 16 Juli 1946, mantan Wakil Gubernur Jenderal Nederlands Indië, Dr. van Mook, menggelar konferensi Malino, dengan menghadirkan “wakil-wakil” dari Indonesia timur yang dipilih oleh Belanda, untuk membahas pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). Pembahasan ini dilanjutkan dalam “Konferensi Besar” pada bulan Desember 1946 di Denpasar, Bali.

Namun pada waktu itu, di Pulau Bali telah ada Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah komando Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang terus melancarkan serangan terhadap pos-pos pertahanan Belanda. Untuk memuluskan penyelenggaraan “konferensi besar” di Denpasar, maka Belanda harus “membersihkan” dahulu TNI di Bali. Pada 23 November 1946 terjadi pertempuran di desa Margarana, yang kemudian dikenal sebagai “Puputan Margarana’, di mana Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur bersama 95 orang anak buahnya.

Kemudian untuk mematahkan perlawanan rakyat Indonesia di Sulawesi, pimpinan tertinggi militer Belanda mengirim pasukan elit, Depot Speciale Troepen (DST) di bawah komando Letnan Westerling. Selama teror dan pembantaian yang dilakukan oleh Westerling bersama anak buahnya,dengan dukungan pasukan KNIL, pihak Idonesia menyatakan bahwa korban terror Westerling mencapai 40.000 jiwa. Pemerintah Belanda sendiri dalam laporan resminya yang disampaikan di parlemen Belanda tahun 1969 menyatakan, korban tewas di Sulawesi Selatan (kini setelah pemekaran, sebagian termasuk provinsi Sulawesi Barat) antara 2.000 – 3.000 jiwa.

Angka ini diperoleh pemerintah Belanda berdasarkan laporan resmi dari kementerian pertahanan Belanda, yang diperoleh dari laporan-laporan komandan pasukan. Dari beberapa peristiwa pembantaian, terbukti bahwa jumlah korban yang dilaporkan oleh pimpinan militer di lapangan, selalu dikecilkan, terutama apabila menyangkut penduduk sipil.

Sebagai contoh, dalam laporan resmi mengenai jumlah korban di desa Rawagede. Pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas kapal Renville yang difasilitasi oleh PBB, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang kini bernama desa Balongsari, tanpa proses hukum apapun. Dalam laporan resminya, pemerintah Belanda menyatakan bahwa penduduk sipil yang dibunuh “hanya” 20 orang. (Pada 15 Desember 2005, peristiwa pembantaian di Rawagede dibawa oleh pimpinan KUKB ke parlemen Belanda. Berita di harian Rakyat Merdeka 19.12.2005 dapat dibaca di: http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/10/dari-rawagede-ke-parlemen-belanda.html).

Yang diperintahkan untuk dibunuh pada waktu itu seluruhnya penduduk laki-laki di atas usia 16 tahun, namun ada beberapa yang usianya di bawah 16 tahun, bahkan baru berusia 12 tahun. Belum ada yang melakukan penelitian, berapa jumlah penduduk desa Rawagede waktu itu, dan berapa persen penduduk laki-laki yang dibantai oleh tentara Belanda. Melihat bahwa hingga saat ini penduduk desa tersebut tidak terlalu banyak, kemungkinan jumlah yang dibunuh dapat mencapai 60 atau 70 % dari populasi penduduk laki-laki.

Akibat dari dibunuhnya sebagian besar penduduk laki-laki di usia produktif, mengakibatkan kemunduran perekonomian di desa pertanian. Jelas pembantaian massal tersebut mengakibatkan perekonomian keluarga dari korban pembantaian juga

Pada 14 September 2011, pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, memenangkan gugatan yang dimajukan oleh 8 orang janda dan satu korban selamat dari pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari). Pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan Renville, tentara Belanda membantai 431 penduduk sipil di desa Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tanpa suatu proses hukum apapun. Namun komandan pasukan melaporkan, “hanya” 20 orang penduduk sipil yang mati.

Pengadilan sipil di Belanda tersebut menjatuhkan vonis, yang menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus memberikan kompensasi kepada para penggugat. Namun sebagai salahsatu dasar yang dipakai, sebagaimana tercantum dalam butir dua vonis tersebut, bahwa wilayah tersebut (Rawagede, Jawa Barat) adalah wilayah Belanda sampai akhir tahun 1949, sehingga kasus tersebut masuk ke dalam yuridiksi Belanda. Pengadilan sipil di Belanda menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah atas tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda terhadap warganya, di wilayah Belanda, dan harus bertanggungjawab.

Apabila diteliti lebih dalam, maka vonis pengadilan sipil di Belanda ini tajam di kedua sisinya. Di satu pihak memenangkan gugatan warga Rawagede, namun di lain pihak, menguatkan posisi pemerintah Belanda, bahwa wilayah tersebut (Rawagede/Jawa Barat) masih wilayah Belanda sampai 27 Desember 1949. Vonis ini juga berarti, bahwa yang menerima kompensasi tersebut adalah warga Belanda, bukan rakyat Indonesia, dan pemerintah Belanda dimenangkan secara politis.

Vonis pengadilan sipil di Belanda ini sangat bertentangan dengan tujuan utama dari satu NGO, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), yang menuntut pemerintah agar mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945. KUKB memperjuangkan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia korban agresi militer Belanda antara 1945 – 1950, bukan hanya untuk seratus atau duaratus janda korban agresi militer Belanda. Diperkirakan, jumlah korban agresi militer Belanda mencapai ratusan ribu jiwa. Pemerintah Belanda “mengakui”, bahwa korban di pihak Indonesia sekitar 150.000 jiwa. Namun kalau diteliti, jumlah korban di beberapa tempat sebagaimana tercatat dalam laporan resmi dari komandan pasukan, jauh di bawah jumlah korban yang sebenarnya.

Kini, setelah jelas dasar pengambilan keputusan hakim di Belanda, maka apabila akan menggugat pemerintah Belanda berdasarkan hukum Belanda dan dengan menggunakan pasal-pasal dalam hukum Belanda, berarti yang akan dibela adalah warga Belanda.

Demikian juga halnya dengan pembantaian di desa Galung Lombok, Sulawesi Barat. Laporan resmi pemerintah Belanda menulis, bahwa korban antara 350 – 400 orang. Lembaga Advokasi Korban 40.000 Jiwa (LAK) di Sulawesi Barat, telah memperoleh nama lebih dari 600 korban. Pada 1 Februari 1947, pasukan DST di bawah komando Letnan Vermeulen, dibantu oleh pasukan KNIL telah melakukan pembantaian di desa Galung Lombok. Ke tengah kerumunan massa yang berjumlah ribuan orang, diperintahkan untuk menembak secara membabi-buta. Di antara korban,juga terdapat wanita dan anak-anak.Bahkan seorang wanita hamil juga tewas tertembak. Korban pembantaian di desa Galung Lombok ini seluruhnya etnis Mandar, sehingga pembantaian ini dapat dikategorikan sebagai pembantaian etnis (genosida).
(Daftar nama korban dan asal desanya, yang dikumpulkan oleh Lembaga Advokasi Korban 40.000 Jiwa - LAK, dapat dibaca di:

Melihat perbedaan besar dalam jumlah yang resmi dilaporkan oleh Belanda,yaitu korban tewas di pihak Indonesia berjumlah 150.000 orang, tidak tertutup kemungkinan, bahwa korban tewas di pihak Indonesia selama agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1950, termasuk korban akibat pemboman Inggris, diperkirakan berkisar antara 800.000 sampai satu juta jiwa. Sebagian terbesar adalah penduduk sipil (non combatant), termasuk wanita dan anak-anak.

Kejahatan Tentara Belanda dan Sekutunya Tidak Kadaluarsa

Dari berbagai pelanggaran yang telah dilakukannya terbukti, bahwa Belanda adalah Negara yang paling banyak melanggar hukum-hukum dan perjanjian internasional. Yang dinyatakan oleh pemerintah Belanda sebagai “aksi polisional 1” yang dilancarkan pada 21 Juli 1947, adalah pelanggaran terhadap persetujuan Linggajati. “Aksi polisional 2” yang dimulai pada 19 Desember 1948, merupakan pelanggaran terhadap persetujuan Renville yang difasilitasi oleh PBB. Kedua “aksi polisional” tersebut jelas adalah agresi militer terhadap suatu Negara merdeka dan berdaulat.

Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Belanda yang juga difasilitasi oleh PBB menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah kewenangan resmi diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada pemerintah RIS pada 27 Desember 1949, Raymond  Westerling yang telah dipecat dari dinas militer Belanda, pada 23 Januari 1950 mencoba melakukan kudeta terhadap pemerintah RIS, dengan merekrut anggota pasukan elit yang pernah dipimpinnya. Kudeta ini gagal dan kemudian seluruh jajaran tertinggi militer dan sipil Belanda yang masih ada di Indonesia, melakukan konspirasi untuk menyelamatkan Westerling dari penangkapan oleh pihak RIS.  Beberapa tahun yang lalu terungkap, bahwa Pangeran Bernard, suami Ratu Belanda Juliana berada di belakang aksi Westerling, karena dia berambisi menjadi Raja Muda (Vice Roi) di Indonesia, seperti halnya Lord Mountbatten yang menjadi Raja Muda di India, sebagai wakil dari Kerajaan Inggris. (Mengenai konspirasi Pangeran Bernard dengan Westerling,silakan baca di:

Bahwa yang dilakukan oleh Belanda bukanlah “aksi polisi” melainkan aksi militer, diakui oleh Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu)  Ben Bot. Dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 Ben Bot mengatakan bahwa:
“…In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality …”

Ben Bot di sini menyebut: “military forces”, dan bukan: “police forces.” Jadi apabila disimak kalimat ini, maka Ben Bot secara langsung mengatakan aksi tersebut adalah pengerahan militer secara besar-besaran (large scale deployment of military forces) dan bukan pengerahan polisi.

Dengan membantai penduduk sipil (non combatant), Belanda telah melanggar Konvensi Den Haag II tahun 1899 yaitu Convention with Respect to the Laws and Customs of War On Land, yang diperkuat dengan Konvensi Den Haag ke IV tahun 1907 mengenai perlindungan penduduk sipil dalam perang.
Universal Declaration of Human Rights – UDHR (Pernyataan Umum Mengenai Hak Asasi Manusia) dari PBB, dicetuskan pada 10 Desember 1048. Peryataan ini ditandatangani oleh 48 negara, termasuk Belanda dan semua Negara yang masih memiliki jajahan. Namun mungkin belum kering tinta tandatangannya, Belanda melancarkan agresi militer kedua terhadap Republik Indonesia, hanya 9 hari setelah menandatangani UDHR.

Selama agresi militer ke II, tentara Belanda a.l. melakukan pembantaian terhadap sekitar 1.500 rakyat di Kranggan, pada bulan Januari-Februari 1949. Juga terjadi pembantaian di satu klinik di Solo, pada 11 Agustus 1949, sehari setelah gencatan senjata berlaku efektif. Agresi militer ke II diakhiri dengan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang menghasilkan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS).

Ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung di Belanda dari 23.8. – 2.10 1949, semua persidangan kasus kejahatan perang tentara belanda ditutup, tetapi eksekusi pejuang RI Wolter Robert Mongisidi dilaksanakan pada 5 September 1949.

Oleh karena itu, sangat ironis, bahwa Negara-negara yang tengah melakukan berbagai pelanggaran HAM, kejahatan atas kemanusaiaan dan kejahatan perang - terutama Belanda- menyusun butir-butir hal-hal atau perlakuan yang tidak boleh dilakukan terhadap manusia di mana pun.

Dalam upaya menjajah Indonesia, tentara Belanda banyak melakukan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan bahkan genosida. Diperkirakan ratusan ribu penduduk sipil menjadi korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda. Termasuk juga pemboman tentara Inggris di Surabaya bulan November 1945.

Pembantaian terhadap penduduk sipil jelas melanggar beberapa konvensi internasional, yang ironisnya ditetapkan di Den Haag, Belanda, yaitu mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil dalam situasi perang, sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907.

Pada 26 November 1968 PBB mengeluarkan konvensi mengenai Tidak Diterapkannya Azas Kadaluarsa Terhadap Kejahatan Perang dan Kejahatan Atas Kemanusiaan (Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity), yang berlaku efektif mulai 11 November 1970. Konvensi ini diperkuat dan diperluas dengan diratifikasinya Statuta Roma tahun 1998, yang berlaku efektif tahun 2002. Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag, empat jenis kejahatan dinyatakan tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:
  1. Genocide (pembersihan/pembantaian  etnis),
  2. Crime against humanity (Kejahatan atas kemanusiaan),
  3. War crime (kejahatan perang), dan
  4. Crime of aggression (kejahatan agresi).

Memang, sesuatu undang-undang tidak berlaku surut, termasuk Statuta Roma, namun dikenal juga pengadilan ad hoc, dalam hal ini tribunal internasional, seperti yang dilakukan terhadap penjahat-penjahat perang Nazi-Jerman (tribunal Nürnberg), penjahat perang Jepang (tribunal Tokyo), tribunal Rwanda, tribunal untuk mengadili penjahat-penjahat perang Serbia (Slobodan Milosevic, Radovan Karadzic).

Tahun 1993 Manuel Kneepkens, seorang dosen fakultas hukum Universitas Erasmus, Belanda, pernah mengusulkan dibentuknya suatu tribunal internasional untuk mengadili penjahat-penjahat perang Belanda yang telah melakukan berbagai kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan selama agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, terutama mengadili kejahatan Westerling di Sulawesi Selatan. Namun usulan ini kurang mendapat respons. Bahkan dari Indonesia sendiri tidak ada tanggapan mengenai usulan ini. (Mengenai usulan Manuel Kneepkens tahun 1993 dapat dibaca di:

Satu contoh bahwa azas kadaluarsa tidak diterapkan untuk kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan adalah, sampai detik ii, semua penjahat perang Nazi Jerman masih diburu, dan walaupun usia mereka sudah sangat lanjut, mereka tetap dimajukan ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman. Pada bulan Maret 2010, Heinrich Boere, seorang mantan perwira Nazi-Jerman, di pengadilan dikota Aachen, Jerman, dijatuhi vonis penjara seumur hidup. Usianya 89 tahun. Dia terbukti –dan mengakui- tahun 1944, berarti 66 tahun sebelumnya, telah membunuh tiga (!) penduduk sipil di Belanda.

Beberapa kasus pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950 dapat dikategorikan sebagai pembataian etnis (genocide), seperti pembataian yang telah dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan, terutama di desa Galung Lombok, Sulawesi Barat. Pada 1 Februari 1947 pasukan elit Belanda  Depot Speciale Troepen di bawah komando Letnan Vermeulen, hanya dalam waktu sekitar dua jam membantai lebih dari 600 penduduk, yang seluruhnya etnis Mandar.

Sejak dikeluarkannya konvensi PBB tahun 1968, yang berlaku efektif mulai tahun 1970 mengenai tidak diterapkannya azas kadaluarsa untuk kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, terbuka pintu untuk menuntut semua kasus kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam hal ini, melalui pengadilan ad hoc (tribunal internasional), seperti yang telah diusulkan 20 tahun yang lalu, tahun 1993.

Dampak dari penolakan penolakan Belanda atas proklamasi 17 Agustus 1945 dan kemudian agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terlihat dalam “hubungan diplomatik” yang janggal antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Di Indonesia ada Kedutaan Besar Belanda, dan di Belanda ada Kedutaan besar Indonesia.
Namun apabila ditinjau lebih dalam, akan terlihat kejanggalan ini, karena faktanya adalah, pemerintah Belanda tidak mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 agustus 1945. Bahkan hingga 16 Agustus 2005, Republik Indonesia untuk pemerintah Belanda TIDAK EKSIS SAMA SEKALI, karena dalam pidatonya di Den Haag pada 15.8.2005, dan kemudian di Jakarta pada 16.8.2005, Mrenlu Belanda Ben Bot menyatakan, bahwa kini (Agustus 2005), pemerintah Belanda menerima de facto proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945.

Keempat jenis kejahatan tersebut, Genosida, kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi, yang oleh Dewan Keamanan PBB ditetapkan tidak mengenal azas kadaluarsa, menjadi penyebab utama, hingga kini Belanda tidak mau mengakuit de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1949.

Kalau Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, maka dengan demikian, Belanda harus mengakui, bahwa yang dinamakan “aksi polisional adalah agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka dan berdaulat.

Oleh karena itu, Belanda tetap berpegang teguh, bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan “hadiah” dari Belanda, dan periode 1945 – 1949 bukanlah agresi militer Belanda, melainkan “aksi polisi” Belanda membasmi perampok, perusuh, pengacau keamanan dalam rangka menegakkan “rust en orde” (law and order), serta menumpas pemberontakan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.


KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yang sangat penting, yaitu:
  1. Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara dimulai dari tanggal 30 Mei 1619, yaitu dengan jatuhnya Jayakarta ke tangan Belanda, dan berakhir pada 9 Maret 1942, yaitu ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang di Lanud Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat, dan menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
  2. Belanda memerlukan waktu lebih dari 300 tahun untuk dapat membangun imperium jajahannya yang dinamakan Nederlands Indie.
  3. Masa pendudukan Jepang dari tanggal 9 Maret 1942, sampai tanggal 15 Agustus 1945, yaitu ketika Kaisar Jepang, Hirohito, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu, dan menghentikan semua aktifitas sipil dan militer di seluruh wilayah pendudukannya, termasuk bekas jajahan Belanda, India-Belanda. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani pada 2 September 1945. Antara 15.8.1945 – 2.9.1945 terdapat kekosongan kekuasaan (vacuum of power).
  4. Di masa kekosongan kekuasaan, pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945. Kemudian membentuk pemerintahan. Dengan demikian proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945 memiliki landasan hokum internasional, yaitu Konvensi Montevideo, 26.12.1933.
  5. Karena tidak ada pemerintahan yang berkuasa, maka proklamasi 17.8.1945, bukan revolusi (tidak ada pemerintah yang digulingkan) dan  bukan pemberontakan. Juga periode antara tahun 1945 – 1949/1950 bukan perang kemerdekaan, melainkan perang MEMPERTAHANKAN kemerdekaan.
  6. INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH SIAPAPUN, karena sebagai entitas politik dan hukum internasional baru ada sejak 17 Augustus 1945. Yang dijajah Belanda adalah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Bumi Nusantara. Yang di bawah pendudukan militer Jepang adalah wilayah BEKAS JAJAHAN BELANDA.
  7. Ketika Belanda dan sekutunya datang ke Indonesia dan dengan kekuatan militer ingin menguasai Indonesia, maka Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan AGRESI MILITER.
  8. Selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, tentara Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan genosida, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, a.l. dengan pembantaian terhadap sekitar satu juta rakyat Indonesia, penduduk sipil (non-combatant). Semua kejahatan tersebut oleh Dewan Keamanan PBB dinyatakan tidak kadalursa.
  9. Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, karena apabila beanda mengakui 17.8.1945. maka belanda terpaksa mengakui, yang dinamakan “aksi polisional” adalah AGRESI MILITER terhadap suatu Negara MERDEKA dan BERDAULAT. Akibatnya, Belanda harus membayar PAMPASAN PERANG,dan tentara Belanda menjadi PENJAHAT PERANG!
  10. Indonesia Pelopor Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Terjajah setelah usai Perang Dunia II, kemudian diikuti oleh Vietnam yang menyatakan kemerdekaannya pada 2 September 1945.

********

Referensi[50]

-          Anderson, Prof. Dr. Benedict R., Revolusi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 -1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
-          De Excessennota, Nota Betreffende het Archiefonderzoek naar de Gegevens Omtrent Excessen in Indonesië begaan door Nederlandse Militairen in de Periode 1945 – 1950, Sdu Uitgeverij Koninginnegracht, Den Haag, 1995.
-          Gozney, Richard CMG, Duta Besar Kerajaan Inggris. Uraian dalam Seminar Internasional "The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences" Diselenggarakan di Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.
-          Hadi-Soewito, Dra. Irna H.N., Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, Grasindo, Jakarta, 1994. [Buku ini ditulis a.l. berdasarkan catatan-catatan alm. Mayjen TNI (Purn.) Sungkono].
-          Hatta, Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1982.
-          Hutagalung, Batara, 10 November '45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?. Analisis Latar Belakang Agresi Militer Inggris, Millenium Publisher, Jakarta, 2001.
-          Hutagalung, Letkol. TNI (Purn.) Dr. W., Anak Bangsa dari Tiga Episode Perang Kemerdekaan, Naskah, 1986.
-          Ijzereef, Willem, De Zuid-Celebes Affaire. Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies, De Bataafsche Leeuw, Groningen, 1984.
-          Kertapati, Sidik, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Jakarta, 2000.
-          Lebra, Joyce C., Tentara Gemblengan Jepang,  Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
-          Meelhuijsen, Willy, Revolutie in Soerabaja. 17 Agustus - 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, Netherlands, 2000.
-          Moor, J.A. de, Westerling's Oorlog, Indonesie 1945 - 1950, Uitgeverij Balans, Netherlands, 1999.
-          Nasution, Dr. A.H., Memenuhi Panggilan Tugas, Kenangan Masa Gerilya, jilid 2 A, CV Hadi Mas Agung, Jakarta, 1983.
-          Nasution, Dr. A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Diplomasi atau Bertempur, Jilid 2, Bandung, 1977.
-          Nasution, Dr. A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Diplomasi atau Bertempur, Jilid 11, Bandung, 1977.
-          Post, Laurens van der, The Admiral's Baby, John Murray, London, 1996.
-          Reid, Anthony J.S., Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
-          Simatupang, Mayjen. TNI (Purn.) T.B., Laporan dari Banaran.  Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1980. (Diterbitkan pertama kali tahun 1960, oleh Badan Penerbit PT Pembangunan).
-          Sumantri, Prof. Iwa Kusuma SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 - 3, Jakarta 1963.
-          Tarjo, N.S.S., Dari Atas Tandu, Pak Dirman Memimpin Perang Rakyat Semesta, Yayasan Wiratama '45, Yogyakarta, 1984.
-          Wolf, Charles Jr., The Indonesian Story. The Birth, Growth and Structure of the Indonesian Republic, The John Day Company, New York, 1948.
-          Yayasan 19 Desember 1948, Dokumen RIPRESS Dalam Perang Rakyat Semesta 1948 - 1949, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.
-          Yong, Mun Cheong, H.J. van Mook and Indonesian Independence. A study of His Role in Dutch - Indonesian Relations, Martinus Nijhoff, Den Haag, 1982.


Dokumen-dokumen dan tulisan yang rinci mengenai hal-hal yang dikemukakan dalam tulisan ini, dapat dibaca di weblogs:






[1] Leirissa, Prof. Dr. R.Z., Perdagangan dan Kekerasan Pada Masa VOC. Lihat Hadi Soewito, Dra. Irna H.N. (Editor), Verenigde Oostindische Companie (VOC). Dua Sisi Dari Perusahaan Multinasional Dunia Yang Pertama. Hasil Seminar – Forum Dialog Indonesia – Belanda. Diterbitkan oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Jakarta, Juli 2003. Hlm. 65 – 66.
[3] Lohanda, Mona, Peran Sejarah dari Masa VOC di Nusantara. Lihat Hadi Soewito, Dra. Irna H.N. (Editor), op.cit., hlm. 120. Akumulasi utang pemerintah India Belanda kepada pemerintah Belanda sbagai Negara induknya, tahun 1949 mencapai 6,5 milyar gulden. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda Agustus – November 1949, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dipandang sebagai kelanjutan pemerintah Indie Belanda, diharuskan membayar utang tersebut. Disepakati jumlah yang harus dibayar sebesar 4,5 milyar gulden (lebih dari 1 milyar US $). Setelah pemerintah RIS dibubarkan pada 16.8.1950, pemerintah RI melanjutkan pembayaran sampai tahun 1956. Telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, sebelum dihentikan pembayarannya oleh pemerintah RI.
[4] Tulisan mengenai Perang Dunia ini sebaian disadur dari Encyclopaedia Britannica, World War II, Web Site.
[5] Herwig Zahorka, Arca Domas, ein deutscher Soldatenfriedhof in Indonesien, (Arca Domas,
    pemakaman tentara Jerman di Indonesia), Bogor, September 2000, hlm 1 – 2.
[6] Lebra, op.cit, hlm. 16.
[7] Rincian mengenai bukti-bukti tudingan ini lihat: Mother of all conspiracies, di
[8] Lebra, ibid, hlm. 94.
[9] Disadur dari The Conquest of Java, dalam: http://www.info-indo.com/history/eastindies02.htm
[10] Dr. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 11, Angkasa, Bandung, 1977, hlm. 5 dan 21.
[11] Dr. A.H. Nasution, loc.cit
[12] Batara R. Hutagalung, 10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?, Yayasan Persahabatan
   10 November ‘45/Millenium Publisher, Jakarta 2001, hlm. 69.
[13] van der Post, ibid,  hlm. 30
[14] Ibid., hlm. 220.
[15] Lebra, ibid, hlm. 20.
[16] Anderson, ibid., hlm. 40.
[17] Lebra, ibid. ,  hlm. 112.
[18] Anderson, ibid., hlm. 43.
[19] Ibid., hlm. 40.
[20] Lebra, ibid., hlm. 140 – 142.
[21] Ibid., hlm. 111 dan 122.
[22] Anderson, ibid., hlm. 46.
[23] Willy Meelhuijsen, Revolutie in Soerabaja, 17 Augustus – 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, 2000,
    hlm. 29.
[24] Ibid., hlm. 84-85
[25] Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Jakarta, 2000, hlm. 70.
[26] Anderson, ibid., hlm. 85
[27] Menurut Anderson, pertemuan tersebut tanggal 11 Agustus (hlm. 85), namun Hatta menulis (lihat Memoir
    hlm. 437), bahwa pertemuan tersebut berlangsung tanggal 12 Agustus, bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
[28] Anderson, loc.cit..
[29] Anderson, ibid., hlm. 86.
[30] Louis Mountbatten, !st Earl, Viscount Mountbatten Of Burma, Baron Romsey Of Romsey. Nama aslinya
     adalah Louis Francis Albert Victor Nicholas, Prince Of Battenberg, anak keempat dari Prinz (Pangeran)
     Ludwig von Battenberg –kemudian menjadi Marquess of Milford Haven- dan isterinya, Prinzessin Victoria
     von Hesse-Darmstadt (cucu Queen Victoria, ratu Inggris). Mountbatten tewas tanggal 27 Agustus 1979 di
     Donegal Bay, Irlandia, akibat bom yang dipasang di kapalnya oleh Irish Republican Army (IRA).
[31] Nasution, ibid., hlm. 63.
[32] Dr. Roeslan Abdulgani,  Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia, Cetakan VI, PT
     Jayakara  Agung Offset, Jakarta, 1995, hlm. 4.
[33]  R. Subiantoro, Mayjen (Purn.). Makalah dalam seminar internasional “The Battle of Surabaya, November
   1945. Back Ground and Consequences”,  Lemhannas, 27 Oktober 2000.
[34] Banyak penulisan sejarah menterjemahkan Nederlands-Indië (Inggris: Netherlands Indies) sebagai Hindia-
  Belanda, namun penulis  berpendapat, bahwa terjemahan Indië seharusnya adalah India, bukan Hindia.
[35] Beberapa penulis menyebut, bahwa menyerahnya Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942, namun sumber
  yang lebih otentik menyebut, bahwa tanggal 8 Maret adalah pertemuan pertama antara Gubernur Jenderal
  Starkenborgh Stachouwer dengan Letnan Jenderal Imamura, Panglima Tentara 16 Jepang, namun
  penandatanganan dokumen menyerah tanpa syarat dilakukan pada 9 Maret 1942 oleh Letnan Jenderal Hein
  ter Poorten, yang mewakili Gubernur Jenderal Starkenborgh Stachouwer, yang tidak mau menghadiri acara
  tersebut.
[36] Laurens van der Post adalah perwira Inggris kelahiran Afrika Selatan. Tahun 1981 dia dianugerahi gelar
  bangsawan Sir.
[37] Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996,  hlm. 16.
[38] NEFIS didirikan pada bulan April 1943 di Australia. Pada 1944 dikembangkan menjadi satu Direktorat
    dengan enam Seksi dan lima Dinas di mana bertugas sekitar 200 orang militer KNIL Simon H. Spoor  pada
    Februari 1945 naik pangkat menjadi Kolonel.  NEFIS mulai beroperasi di Jakarta sejak bulan Oktober 1945.
[39] Simatupang, ibid., hlm. 216.
[40] Ibid., hlm. 215.
[41] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 209.
[42] Ibid., hlm. 197 - 198.
[43] Hasil KMB, lihat lampiran.
[44] Nasution, ibid., jilid 11, hlm. 391.
[45] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 209 - 210.
[46] Nasution, ibid., hlm. 393.
[47] Hatta, ibid., hlm. 561.
[48] Nasution, ibid., hlm. 396.
[49] Ibid., hlm. 397.
[50] Nama penulis serta judul buku ditulis sesuai aslinya, menggunakan ejaan lama.

                                                       ********

 LAMPIRAN  - LAMPIRAN



Lampiran I

14 Butir Gagasan Presiden Woodrow Wilson

President Woodrow Wilson's Fourteen Points

(Delivered in Joint Session, January 8, 1918)

I.              Open covenants of peace, openly arrived at, after which there shall be no private international understandings of any kind but diplomacy shall proceed always frankly and in the public view.
II.            II. Absolute freedom of navigation upon the seas, outside territorial waters, alike in peace and in war, except as the seas may be closed in whole or in part by international action for the enforcement of international covenants.
III.           The removal, so far as possible, of all economic barriers and the establishment of an equality of trade conditions among all the nations consenting to the peace and associating themselves for its maintenance.
IV.          Adequate guarantees given and taken that national armaments will be reduced to the lowest point consistent with domestic safety.
V.            A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the populations concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.
VI.          The evacuation of all Russian territory and such a settlement of all questions affecting Russia as will secure the best and freest cooperation of the other nations of the world in obtaining for her an unhampered and unembarrassed opportunity for the independent determination of her own political development and national policy and assure her of a sincere welcome into the society of free nations under institutions of her own choosing; and, more than a welcome, assistance also of every kind that she may need and may herself desire. The treatment accorded Russia by her sister nations in the months to come will be the acid test of their good will, of their comprehension of her needs as distinguished from their own interests, and of their intelligent and unselfish sympathy.
VII.         Belgium, the whole world will agree, must be evacuated and restored, without any attempt to limit the sovereignty which she enjoys in common with all other free nations. No other single act will serve as this will serve to restore confidence among the nations in the laws which they have themselves set and determined for the government of their relations with one another. Without this healing act the whole structure and validity of international law is forever impaired.
VIII.        All French territory should be freed and the invaded portions restored, and the wrong done to France by Prussia in 1871 in the matter of Alsace-Lorraine, which has unsettled the peace of the world for nearly fifty years, should be righted, in order that peace may once more be made secure in the interest of all.
IX.          A readjustment of the frontiers of Italy should be effected along clearly recognizable lines of nationality.
X.            The peoples of Austria-Hungary, whose place among the nations we wish to see safeguarded and assured, should be accorded the freest opportunity to autonomous development.
XI.          Rumania, Serbia, and Montenegro should be evacuated; occupied territories restored; Serbia accorded free and secure access to the sea; and the relations of the several Balkan states to one another determined by friendly counsel along historically established lines of allegiance and nationality; and international guarantees of the political and economic independence and territorial integrity of the several Balkan states should be entered into.
XII.         The Turkish portion of the present Ottoman Empire should be assured a secure sovereignty, but the other nationalities which are now under Turkish rule should be assured an undoubted security of life and an absolutely unmolested opportunity of autonomous development, and the Dardanelles should be permanently opened as a free passage to the ships and commerce of all nations under international guarantees.
XIII.        An independent Polish state should be erected which should include the territories inhabited by indisputably Polish populations, which should be assured a free and secure access to the sea, and whose political and economic independence and territorial integrity should be guaranteed by international covenant.
XIV.       A general association of nations must be formed under specific covenants for the purpose of affording mutual guarantees of political independence and territorial integrity to great and small states alike.


=================================

Lampiran II

Konvensi Montevideo


MONTEVIDEO CONVENTION
ON RIGHTS AND DUTIES OF STATES

Agreement signed at Montevideo, Uruguay, on December 26, 1933 (and entering into force the following year), that established the standard definition of a state under international law. Adopted by the Seventh International Conference of American States, the convention stipulated that all states were equal sovereign units consisting of a permanent population, defined territorial boundaries, a government, and an ability to enter into agreements with other states. Among the convention’s provisions were that signatories would not intervene in the domestic or foreign affairs of another state, that they would not recognize territorial gains made by force, and that all disputes should be settled peacefully. The agreement was signed by the United States, Argentina, Brazil, Chile, Colombia, Cuba, the Dominican Republic, Ecuador, El Salvador, Guatemala, Haiti, Honduras, Mexico, Nicaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, and Venezuela. Bolivia was the only country attending the conference that refused to sign the agreement.

ARTICLE 1

The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.

ARTICLE 2

The federal state shall constitute a sole person in the eyes of international law.

ARTICLE 3

The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.

ARTICLE 4

States are juridically equal, enjoy the same rights, and have equal capacity in their exercise. The rights of each one do not depend upon the power which it possesses to assure its exercise, but upon the simple fact of its existence as a person under international law.

ARTICLE 5

The fundamental rights of states are not susceptible of being affected in any manner whatsoever.

ARTICLE 6

The recognition of a state merely signifies that the state which recognizes it accepts the personality of the other with all the rights and duties determined by international law. Recognition is unconditional and irrevocable.

ARTICLE 7

The recognition of a state may be express or tacit. The latter results from any act which implies the intention of recognizing the new state.

ARTICLE 8

No state has the right to intervene in the internal or external affairs of another.

ARTICLE 9

The jurisdiction of states within the limits of national territory applies to all the inhabitants.
Nationals and foreigners are under the same protection of the law and the national authorities and the foreigners may not claim rights other or more extensive than those of the nationals.

ARTICLE 10

The primary interest of states is the conservation of peace. Differences of any nature which arise between them should be settled by recognized pacific methods.

ARTICLE 11

The contracting states definitely establish as the rule of their conduct the precise obligation not to recognize territorial acquisitions or special advantages which have been obtained by force whether this consists in the employment of arms, in threatening diplomatic representations, or in any other effective coercive measure. The territory of a state is inviolable and may not be the object of military occupation nor of other measures of force imposed by another state directly or indirectly or for any motive whatever even temporarily.

ARTICLE 12

The present Convention shall not affect obligations previously entered into by the High Contracting Parties by virtue of international agreements.

ARTICLE 13

The present Convention shall be ratified by the High Contracting Parties in conformity with their respective constitutional procedures. The Minister of Foreign Affairs of the Republic of Uruguay shall transmit authentic certified copies to the governments for the aforementioned purpose of ratification. The instrument of ratification shall be deposited in the archives of the Pan American Union in Washington, which shall notify the signatory governments of said deposit. Such notification shall be considered as an exchange of ratifications.

ARTICLE 14

The present Convention will enter into force between the High Contracting Parties in the order in which they deposit their respective ratifications.

 



ARTICLE 15

The present Convention shall remain in force indefinitely but may be denounced by means of one year's notice given to the Pan American Union, which shall transmit it to the other signatory governments. After the expiration of this period the Convention shall cease in its effects as regards the party which denounces but shall remain in effect for the remaining High Contracting Parties.

ARTICLE 16

The present Convention shall be open for the adherence and accession of the States which are not signatories. The corresponding instruments shall be deposited in the archives of the Pan American Union which shall communicate them to the other High Contracting Parties.
In witness whereof, the following Plenipotentiaries have signed this Convention in Spanish, English, Portuguese and French and hereunto affix their respective seals in the city of Montevideo, Republic of Uruguay, this 26th day of December, 1933.

===========================







Lampiran III 

Piagam Atlantik

Atlantic Charter

August 14, 1941


The President of the United States of America and the Prime Minister, Mr. Churchill, representing His Majesty's Government in the United Kingdom, being met together, deem it right to make known certain common principles in the national policies of their respective countries on which they base their hopes for a better future for the world.       

First, their countries seek no aggrandizement, territorial or other;

Second, they desire to see no territorial changes that do not accord with the freely expressed wishes of the peoples concerned;

Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them;

Fourth, they will endeavor, with due respect for their existing obligations, to further the enjoyment by all States, great or small, victor or vanquished, of access, on equal terms, to the trade and to the raw materials of the world which are needed for their economic prosperity;

Fifth, they desire to bring about the fullest collaboration between all nations in the economic field with the object of securing, for all, improved labor standards, economic advancement and social security;

Sixth, after the final destruction of the Nazi tyranny, they hope to see established a peace which will afford to all nations the means of dwelling in safety within their own boundaries, and which will afford assurance that all the men in all lands may live out their lives in freedom from fear and want;

Seventh, such a peace should enable all men to traverse the high seas and oceans without hindrance;

Eighth, they believe that all of the nations of the world, for realistic as well as spiritual reasons must come to the abandonment of the use of force. Since no future peace can be maintained if land, sea or air armaments continue to be employed by nations which threaten, or may threaten, aggression outside of their frontiers, they believe, pending the establishment of a wider and permanent system of general security, that the disarmament of such nations is essential. They will likewise aid and encourage all other practicable measure which will lighten for peace-loving peoples the crushing burden of armaments.


Franklin D. Roosevelt
Winston S. Churchill

====================================
LAMPIRAN IV

Pidato Ratu Wilhelmina, 7 Desember 1942


Radio address by Queen Wilhelmina
London, 7 December 1942

Today it is a year ago that the Japanese, without previous declaration of war, launched their treacherous attack on our Allies. At that time we did not hesitate for a moment to throw ourselves into the struggle and to hasten to the aid of our Allies, whose cause is ours.

Japan had been preparing for this war and for the conquest of the Netherlands Indies for years and in so doing sought to follow the conduct of its Axis partners in attacking one country after another. This plan we were able to prevent, thanks to our immediate declaration of war. After a year of war we can bear witness that the tide is turning and that the attacker, who had such great advantages, is being forced on the defensive.

It is true that the Netherlands Indies, after defending themselves so heroically are, for the most part, occupied by the enemy, but this phase of the struggle is only a prelude. The Japanese are getting ever nearer the limit of their possibilities as our ever-growing might advance towards them from all sides. They have not been able to break China's courage and endurance and Japan now faces the ebbing of her power in this self-willed war, which will end with her complete downfall.

At this moment my thoughts are more than ever with my country and my compatriots in the Netherlands and the Netherlands Indies. After an age-old historical solidarity, in which had long since passed the era of colonial relationship, we stood on the eve of a collaboration on a basis of equality when suddenly we were both confronted by the present ordeal. The treacherous aggression on the Netherlands in 1940 was the first interruption in the process of development; the heroic battle of the Netherlands Indies, followed by the occupation of the major part of this territory in 1942, was the second.

At the time when the Indies were still free and only Holland was occupied, the vigor of our unity became apparent and on both sides a feeling of stronger kinship developed more rapidly than it could have in peacetime. Now, however, this mutual understanding has been deepened still further because the same struggle is shared in all its agony and the same distress is suffered in all its bitterness. In the Netherlands as well as in the Netherlands Indies the enemy, with his propaganda for the so-called new order, has left nothing untried to lure the spirit of the people and to disguise his tyranny and suppression with the lies of his promises for the future. But these lies and this deceit have been of no avail because nearly all have seen through them and have understood that our enemies have as their aim nothing but slavery and exploitation and that as long as they have not been driven out and defeated there can be no question of freedom.

In previous addresses I announced that it is my intention, after the liberation, to create the occasion for a joint consultation about the structure of the Kingdom and its parts in order to adapt it to the changed circumstances. The conferences of the entire Kingdom which will be convoked for this purpose, has been further outlined in a Government declaration of January 27th, 1942. The preparation of this conference, in which prominent representatives of the three overseas parts of the Kingdom will be united with those of the Netherlands at a round table, had already begun in the Netherlands Indies, Surinam and Curacao, the parts of the Kingdom which then still enjoyed their freedom. Especially in the Netherlands Indies, detailed material had been collected for this purpose and it was transmitted to me in December 1941 by the Governor-General. The battle of the Netherlands Indies disrupted these promising preparations.
We can only resume these preparations when everyone will be able to speak his mind freely.

Although it is beyond doubt that a political reconstruction of the Kingdom as a whole and of the Netherlands and the overseas territories as its parts is a natural evolution, it would be neither right nor possible to define its precise form at this moment. I realize that much which is great and good is growing in the Netherlands despite the pressure of the occupation; I know that this is the case in the Indies where our unity is fortified by common suffering. These developing ideas can only be shaped in free consultation in which both parts of the Kingdom will want to take cognizance of each other's opinions. Moreover, the population of the Netherlands and of the Netherlands Indies has confirmed, through its suffering and its resistance, its right to participate in the decision regarding the form of our responsibility as a nation towards the world and of the various groups of the population towards themselves and one another.

By working out these matters now, that right would be neglected, and the insight which my people have obtained through bitter experience, would be disregarded.
I am convinced, and history as well as reports from the occupied territories confirm me in this, that after the war it will be possible to reconstruct the Kingdom on the solid foundation of complete partnership, which will mean the consummation of all that has been developed in the past. I know that no political unity nor national cohesion can continue to exist which are not supported by the voluntary acceptance and the faith of the great majority of the citizenry. I know that the Netherlands more than ever feel their responsibility for the vigorous growth of the Overseas Territories and that the Indonesians recognize, in the ever-increasing collaboration, the best guarantee for the recovery of their peace and happiness. The war years have proved that both peoples possess the will and the ability for harmonious and voluntary cooperation.

A political unity which rests on this foundation moves far towards a realization of the purpose for which the United Nations are fighting, as it has been embodied, for instance, in the Atlantic Charter, and with which we could instantly agree, because it contains our own conception of freedom and justice for which we have sacrified blood and possessions in the course of our history. I visualize, without anticipating the recommendations of the future conference, that they will be directed towards a commonwealth in which the Netherlands, Indonesia, Surinam and Curacao will participate, with complete self-reliance and freedom of conduct for each part regarding its internal affairs, but with the readiness to render mutual assistance.

 It is my opinion that such a combination of independence and collaboration can give the Kingdom and its parts the strength to carry fully their responsibility, both internally and externally. This would leave no room for discrimination according to race or nationality; only the ability of the individual citizens and the needs of the various groups of the population will determine the policy of the government.
 In the Indies, as in the Netherlands, there now rules an oppressor who, imitating his detestable associates and repudiating principles which he himself has recognized in the past, interns peaceful citizens and deprives women and children of their livelihood. He has uprooted and dislocated that beautiful and tranquil country; his new order brings nothing but misery and want. Nevertheless, we can aver that he has not succeeded in subjugating us, and as the ever-growing force of the United Nations advances upon him from every direction, we know that he will not succeed in the future.

 The Netherlands Indies and the Netherlands with their fighting men on land, at sea and in the air, with their alert and brave merchantmen and by their dogged and never-failing resistance in the hard struggle, will see their self-sacrifice and intrepidity crowned after the common victory with the recovery of peace and happiness for their country and their people in a new world. In that regained freedom they will be able to build a new and better future.





==========================================


Lampiran V

Cuplikan Anggaran Dasar PBB

CHAPTER I
PURPOSES AND PRINCIPLES
 

Article 1
The Purposes of the United Nations are:
1.    To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;
2.    To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace;
3.    To achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and
4.    To be a centre for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends.
Article 2
The Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in Article 1, shall act in accordance with the following Principles.
1.    The Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its Members.
2.    All Members, in order to ensure to all of them the rights and benefits resulting from membership, shall fulfill in good faith the obligations assumed by them in accordance with the present Charter.
3.    All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered.
4.    All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.
5.    All Members shall give the United Nations every assistance in any action it takes in accordance with the present Charter, and shall refrain from giving assistance to any state against which the United Nations is taking preventive or enforcement action.
6.    The Organization shall ensure that states which are not Members of the United Nations act in accordance with these Principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace and security.
7.    Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll.
Lampiran VI

Civil Affairs Agreement (CAA)

Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan pemerintah Belanda. Setelah penyerahan wewenang atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal MacArthur kepada Admiral Lord Louis Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya adalah:[1]

Nota tanggal 24 Agustus 1945

“Musyawarah yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Hindia Belanda yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.
Asas-asas yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi sekutu dan pemerintah Belanda, serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan ini semata-mata hanya bersifat sementara tanpa mengganggu kedaulatan Belanda dalam bentuk apapun juga.”
dto. Ernest Bevin[2]


Azas-azas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan sipil di wilayah India Belanda dalam Komando Asia Tenggara.
1. Di daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara Sekutu itu perwira-perrwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration) secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah Hindia Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari wilayah Hindia Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah, gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum Hindia Belanda.
2. Telah tercapai kata sepakat, bahwa Pemerintah Hindia Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan diberi kembali tanggung jawab sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah India Belanda. Bila menurut pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka Panglima Tertinggi Sekutu akan segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal untuk kembali bertanggung jawab atas pemerintahan sipil.
3. Pemerintahan India Belanda, dinas-dinas administrasi serta peradilan Belanda dan India Belanda akan dilaksanakan oleh pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum yang berlaku di India Belanda.

==============================


Lampiran VII

Surat Perintah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, 2 September 1945

Pada 1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan CAA antara Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya:

                                                                       Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.

From          : Supreme Commander S.E.Asia
To              : G.O.C. Imperial Forces.

                                          Re. Directive ASD4743S.

            You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
            In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
            The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
            Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
            As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
      I wish you God speed and a sucessful campaign.


                                                                              (signed)
                                                                          Mountbatten
                                                                  ____________________
                                                                  Vice Admiral.
                                                                  Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.” 
dan kalimat berikutnya:
“……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
 “…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”







Lampiran VIII

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 67, tanggal 28.01.1949

No. 67 Resolution of January 28, 1949

[S/1234]

The Security Council.

Recalling its resolutions 27 (1947) of 1 August, 30 (1947) and 31 (1947) of 25 August and 36 (1947) of 1 November 1947, with respect to the Indonesian Question,
Taking note with approval of the reports submitted to the Security Council by its Committee of Good Offices for Indonesia,
Considering that its resolutions 63 (1948) and 64 (1948) of 24 and 28 December 1948 have not been fully carried out,
Considering that continued occupation of the territory of the Republic Indonesia by the armed forces of the Netherlands is imcompatible with the restoration of good relations between the parties and with the final achievement of a just and lasting settlement of the Indonesian dispute,
Cosidering that the establishment and maintenance of the law and order throughout Indonesia is a necessary condition to achievement of the expressed objectives and desires of booth parties,
Noting with satisfaction that the parties continue to adhere to the principles of the Renville Agreement[3] and agree that free and democratic elections should be held throughout Indonesia for purpose of establishing a constituent assembly at the earliest praticable date, and further agree that the Security Council should arrange for the observation of such elections by an appropriate agency of the United Nations; and that the representative of the Netherlands has expressed his Government’s desire to have such elections held not later than 1 October 1949,
Noting also with satisfaction that the Government of the Netherlands plans to transfer sovereignity to the United States of Indonesia by 1 January 1950 if possible and any case during the Year 1950,
Consciuos of its primary responsibility for the maintenance of international peace and security, and in order that the rights, claims and positions of the parties may not prejudices by the use of force,

1.    Calls upon   the   Government  of the   Netherlands   to   ensure   the    immediate
discontinuance of all military operations, calls upon the Government of the Republic simultanously to order its armed adherents to cease guerilla warfare, and calls upon booth parties to cooperate in the restoration of peace and the maintenace of law and order throughout the area affected;
2.    Calls upon  the  Government  of  the  Netherlands  to   release    immediately  and
unconditionally all political prisoners arrested by it since 19 December 1948 in the Republic of Indonesia, and to facilitate the immediate return of officials of the Government of the Republic Indonesia to Jogjakarta  in order that they may discharge their responsibilities under paragraph 1 above and exercize their appropriate functions in full freedom, including administration of the Jogjakarta area, which shall include the city of Jogjakarta and its immedate environs. The Netherlands authorities shall afford to the Government of the Republic of Indonesia such facilities as may reasonably be required by the Government for its effective functioning and consultation with all persons in Indonesia;
3.    Recommends that, in the interrest of  carrying out  the  expressed  objectives  and
desires of both parties to establish of federal,independent and sovereign United States of Indonesia at the earliest possible date, negotiations be undertaken as soon as possible by representatives of the Government of the Netherlands and representatives of Republic of Indonesia, with the assistance of the commission reffered to in paragraph 4 below, on the basis of the principles set forth in the Linggardjati[4] and Renvile Agreements, and taking advantage of the extent of agreement reached between the parties regarding the proposals submitted to them by representative of the United States of America on the committee of Good Offices on September 1948[5], and in particular, on the basis that :
            (a)  The establishment of the interim federal government which is to be granted the powers of internal government in Indonesia during the interim period before the tranfer of sovereignity shall be result of the above negotiations and shall take place not later than 15 March 1949;
 (b)   The   elections   which   are   to   be   held  for  the   purpose  of choosing
             representatives to an  Indonesian  constituent   assembly  should   be  completed  by
            1 October 1949;
(c)   The transfer of  sovereignity  over  Indonesia by  the Government  of  the
Netherlands to the United States of Indonesia should take place at the earliest    possible   date any case not later than 1 July 1950;

provided that, if no agreement is reached by one month prior to the respective dates referred to in sub-paragraphs (a),(b), and (c) above,the Commission referred to in paragraph 4 (a) below, or such other United Nations agency as may be established in accordance to the Security Council with its recommendation for a solution of the difficulties;
4.    Resolves that :
(a)  The  Commttee of  Good  Offices  shall  henceforth  be   known  as   the  United
 Nations Commission for Indonesia. The Commission shall act as the
 representative of the Security Council in Indonesia and shall have all of the
 functions assigned to the Committee of Good Offices by the Security Council
 since 18 December 1948 and the functions conferred on it by  the terms of this
 resolution. The Commission shall act by majority and minority views if there is a
 difference of opinion among the members of Commission.
(b)   The  Consular  Commission  is  requested  to  facilitate  the  work  of   the  United
  Nations Commission for Indonesia by providing military observers and other staff
  and facilities to enable the Commission to carry out its duties under the Council’s
  resolutions 63 (1948) and 65 (1948) of 24 and 28 December 1948 as well as
  under the present resolution, and shall temporarily suspend other activities;
(c)  The Commission shall assist the parties in the  implementation of  this  resolution
 and in the negotiations to be undertaken under paragraph 3 above and is
 authorized to make  recommendations to them or to the Security Council on
 matters within the competence. Upon agreement being reached in such
 negotiations, the Commission shall make recommendation of the provisions of
 such agreement until sovereignity is transferred by the Government of the
 Netherlands to the United States of Indonesia;
(d)  The Commission  shall have authority to consult with representatives of areas in
 Indonesia other than the Republic, and to invite representatives of such areas to
 participate in the negotiations referred to in paragraph 3 above;
(e)  The Commission, or such other United Nations agency as may be established in
accordance with its recommendation under paragraph 4 (c)   above, is authorized
to observe on behalf of the United Nations the elections to be held throughout
Indonesia and is further authorized, in respect of the territories of Java, Madura
and Sumatra, to make recommendations regarding the conditions necessary (a)
to ensure that the elections are free and democratic, (b) to guarantee freedom of
assembly, speech and publication at all times,provided that such guarantee is not
contrued so as to include advocacy of violence or reprisals;
(f)    The Commission should assist in achieving the earliest possible restoration of the
civil administration of the Republic. To this end it shall, after consultation with the parties, recommend the extent to which, consistent with reasonable requirements of public security and the protection of life and property, areas controlled by of progressively returned to the administration of the Government of the Republic of Indonesia, and shall supervise such transfers. The recommendations of the Commission may include provision for such economic measures as are required for the proper functioning of the administration and for the economic well-being of the population of the areas involved in such transfers. The Commission shall, after consultation with the parties, recommend wich, if any, Netherlands forces shall be retained temporarily in any area (outside of Jogjakarta area) in order to assist in the maintenance of law and order. If either of the parties fails to accept the recommendations of the Commission mentioned in this paragraph, the Commission shall report immediately to the Security Council with its further recommendations for a solution of the difficulties;
(g)  The Commission shall render periodic reports to the Council, and special reports
      whenever the Commission deems necessary;
5.    Request  the   Secretary-General  to   make  available  to   the  Commission  such
staff, funds and other facilities as area required by the Commission for the dischage of its functions;
6.    Calls upon the Government of the Netherlands and the  Republic  of  Indonesia to
co-operate fully in giving effect to the provisions of this resolution.


                                                                              Adopted at the 406  meeting[6]


Decissions


At its 410 meeting, on 16 February 1949, the Council accepted the recommendation of the United Nations Commission for Indonesia (S/1258) [7]that the the submission of its initial report under Council resolution 67 (1949) should be postponed until 1 March 1949.

At its 410 meeting, on 11 March 1949, the Council decided to invite the representative of Pakistan to participate, without vote, in the dicussion of the question.


===============================================


Lampiran IX

Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB)


Delegasi-delegasi:
1. Pemerintah Republik Indonesia,
2. Musyawarah Negara-Negara Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg - BFO),
3. Kerajaan Belanda,

menimbang bahwa telah bersidang dalam Konferensi Meja Bundar supaya selekas mungkin dicapai perdamaian yang baik dan kekal dalam pertikaian Indonesia dengan jalan memperoleh persetujuan antara peserta-peserta tentang cara bagaimana akan diserahkan kedaulatan yang sesungguh-sungguhnya, sempurna dan tiada bersyarat  kepada Republik Indonesia Serikat sesuai dengan asas-asas Renville;
menimbang bahwa Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia dalam peristiwa itu telah memberikan bantuan yang berharga;

telah memutuskan sebagai berikut:

I.              Seluruh hasil Konferensi Meja Bundar tercantum dalam rancangan dalam rancangan-rancangan persetujuan dan surat-surat; segala dokumen itu dilampirkan pada resolusi ini;
II.            A. Rancangan-rancangan persetujuan sebagai berikut:
1.    Rancangan Piagam penyerahan kedaulatan;
2.    Rancangan Statut-Uni, termasuk pula lampiran dan persetujuan-
persetujuan khusus tentang pokok-pokok yang terpenting hal kerjasama di kemudian hari;
3.    Rancangan persetujuan Perpindahan, termasuk persetujuan-
persetujuan khusus berisi peraturan pokok yang perlu diurus sebagai akibat penyerahan kedaulatan.
B. Tentang beberapa soal yang tersendiri, Delegasi-Delegasi telah saling
    mempermaklumkan pendirian masing-masing dengan surat-surat.
III.           Dokumen yang disebut pada A dan B, disusun dalam bahasa Indonesia dan Belanda. Kedua naskah itu mempunyai kekuatan yang sama. Adalah pula dibuat resmi berbahasa Inggris; naskah itulah yang akan menentukan jikalau ada terdapat perbedaan arti antara naskah Indonesia dan naskah Belanda.
IV.          Penerimaan resolusi ini oleh daerah-daerah yang berhimpun dalam Republik Indonesia Serikat di pihak yang satu dan oleh Kerajaan Nederland di pihak yang lain, akan dipandang ratifikasi dokumen-dokumen sebagai dilampirkan pada resolusi ini. Ratifikasi oleh salah satu pihak tidak akan mempunyai kekuatan, jika salah satu pihak yang lain tidak meratifikasi resolusi ini.
V.            Persetujuan-persetujuan yang disebut pada II akan mulai berlaku pada saat penyerahan itu akan dilangsungkan dengan segala upacara pada sidang di Amsterdam, selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
VI.          Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia atau suatu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lain akan mengawasi di Indonesia penetapan segala persetujuan  yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar.




Delegasi Pemerintah Republik Indonesia
                        Ttd.
MOHAMMAD HATTA
        Ketua
Delegasi BFO
                        Ttd.
                     HAMID
                        Ketua

Delegasi Kerajaan Belanda
                        Ttd.
            J.H. VAN MARSEVEN
                     Ketua

Penandatangan lain adalah W. Drcas, Ketua KMB, M.J. Prinsen, Sekretaris KMB, dan dari UNCI adalah R. Herremans, H. Merle Cohran, T.K. Critchley dan J.A. Romanos sebagai Sekretaris UNCI.

A. RANCANGAN PIAGAM PENYERAHAN KEDAULATAN

Pasal 1.

1.    Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dengan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
2.    Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya; rencana konstitusi itu telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Belanda.
3.    Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.

Pasal 2.

Tentang karesidenan Irian (Nieuw Guinea) telah tercapai persetujuan sebagai berikut:
a.    disebabkan hal persesuaian antara pendirian masing-masing pihak tentang Irian belum dapat dicapai, sehingga soal itu masih menjadi pokok pertikaian;
b.    disebabkan keharusan Konferensi Meja Bundar diakhiri dengan berhasil pada tanggal 2 November 1949;
c.    mengingat faktor-faktor penting yang harus diperhatikan pada pemecahan masalah Irian itu;
d.    mengingat singkatnya penyelidikan yang telah dapat diadakan dan diselesaikan perihal soal-soal yang bersangkutan dengan masalah Irian itu;
e.    mengingat sukarnya tugas-kewajiban yang akah dihadapi dengan segera oleh peserta Uni, dan
f.      mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan asas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak atau timbul diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo karesidenan Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku sambil ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat masalah kedudukan-kenegaraan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.

B. RANCANGAN STATUT[8]  UNI

Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda, telah memutuskan mengadakan kerjasama dan persahabatan atas dasar sukarela, persamaan dan kemerdekaan sepenuh-penuhnya dan membentuk Uni Indonesia - Belanda, yakni dengan maksud mewujudkan kerjasama itu di masa depan, telah sepakat akan meletakkan dasar hubungannya sebagai negara merdeka dan berdaulat pada Status-Uni, boleh ditafsirkan begini, bahwa dikecualikan sesuatu cara kerjasama yang tidak disebut padanya atau pun kerjasama di suatu lapangan yang tidak di sebut padanya, yang sekiranya dirasa perlu oleh kedua peserta di masa depan.

BENTUK UNI
Pasal 1
1.    Uni Indonesia - Belanda mewujudkan kerjasama  dengan badan perlengkapan yang teratur antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda atas dasar sukarela dan persamaan status dengan hak-hak yang sama.
  1. Uni tidak mengurangi status tiap-tiap peserta sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

MAKSUD UNI
Pasal 2
  1. Maksud Uni adalah kerjasama kedua peserta guna mengurus kepentingannya bersama.
  2. Kerjasama itu akan berlangsung terutama dalam hal-hal di bidang hubungan luar negeri, pertahanan dan -sekadar perlu- keuangan, serta pula dalam hal-hal yang bercorak perekonomian dan kebudayaan.

Pasal 3.
  1. Kedua peserta berjanji akan mendasarkan ketatanegaraannya pada asas-asas kerakyatan dan akan mengusahakan mengejar pengadilan yang bebas.
  2. Kedua peserta akan mengakui hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia yang termaktub pada lampiran Statut ini.

CARA UNI BEKERJA

Pasal 4
Semua keputusan dalam Uni diambil atas persetujuan antara kedua peserta.


KEPALA UNI

Pasal 5
  1. Dipuncak Uni adalah Sri Baginda Ratu Juliana, Putri Oranye Nassau, dan pada pergantian Tahta, ahli waris Baginda yang sah pada Mahkota Belanda turun temurun.
  2. Apabila Kepala Uni belum dewasa atau apabila Kepala Uni tidak sanggup lagi menyelenggarakan tugasnya, begitu pun jikalau Kepala Uni meletakkan jabatannya untuk sementara waktu, maka kedua peserta dengan sepakat mengatur wakilnya. Peraturan demikian dapat diadakan terlebih dahulu dengan kesepakatan.

Pasal 6.
Kepala Uni menjelmakan lambang kerjasama dengan sukarela dan yang berlangsung lama antara kedua peserta.
BADAN-BADAN PERLENGKAPAN UNI

Pasal 7.
  1. Untuk melaksanakan Uni, maka dua kali setahun, dan beberapa kali apabila dianggap perlu oleh kedua peserta, diadakan konferensi menteri-menteri atau dengan jabatan yang setara dengan itu atau yang serupa menurut ketatanegaraan peserta itu; menteri-menteri dan orang-orang itu ditunjuk oleh masing-masing peserta.
  2. Kecuali jika sudah ada kesepakatan lain, maka tiga menteri dari masing-masing peserta akan menghadiri konferensi itu.

Pasal 8.
Menteri-menteri yang menghadiri konferensi tetap bertanggungjawab kepada badan-badan perlengkapan peserta masing-masing, menurut ketatanegaraan masing-masing peserta.

Pasal 9.
Konferensi menteri itu membentuk panitia-panitia sesuai kebutuha, yang diangkat menjadi anggota panitia tadi diangkat oleh kedua peserta dengan jumlah yang sama.
Pasal 10.
  1. Kedua peserta akan mengadakan hubungan yang sepadan dan kerjasama yang tetap antara parlemen masing-masing peserta.
  2. Perundingan pertama para wakil parlemen akan diadakan dalam waktu delapan bulan setelah parlemen sementara Republik Indonesia Serikat terbentuk.

Pasal 11.
  1. Uni mempunyai sekretariat yang tetap. Tiap-tiap peserta menunjuk seorang sekretaris umum; seorang di antaranya memegang pimpinan sekretariat bergiliran setahun seorang.
  2. Semua pegawai lain diangkat dengan kesepakatan kedua sekretaris umum menurut suatu instruksi yang disusun bersama-sama oleh kedua peserta.

KEPUTUSAN DAN PERATURAN BERSAMA

Pasal 12.
  1. Pada konferensi menteri tersebut diambil keputusan dengan sepakat perwakilan Republik Indonesia Serikat di satu pihak dan perwakilan Kerajaan Belanda di pihak lain.
  2. Keputusan konferensi dapat diperlakukan menurut acara sebagai berikut.
  3. Keputusan-keputusan hendak mengadakan keputusan bersama yang diambil pada konferensi menteri perlu disahkan oleh parlemen masing-masing peserta. Setelah keputusan itu disahkan oleh kedua parlemen, maka Kepala Uni akan mencatat (konstatir) bahwa adalah persetujuan antara kedua peserta dan selanjutnya peraturan bersama itu akan diumumkan dalm Lembaran Berita Negara resmi masing-masing peserta. Karena pengumuman itu, maka peraturan bersama mendapat kekuatan hukum. Peraturan-peraturan bersama tidak boleh dibanding (onschendbar).
  4. Tentang keputusan konferensi yang lain, maka atas permohonan konferensi, dapat pula Kepala Uni mencatat, bahwa sudah ada persetujuan antara kedua peserta.

MAHKAMAH ARBITRASI UNI

Pasal 13.
  1. Ada sebuah Mahkamah Arbitrasi Uni yang menjalankan pengadilan atas nama Kepala Uni.
  2. Mahkamah itu mengadili pertikaian hukum yang dihadapkan kepadanya oleh salah satu peserta terhadap peserta yang lain atau pun oleh kedua peserta bersama dan yang timbul dari Statut Uni dari sesuatu persetujuan antara peserta atau dari peraturan bersama.

Pasal 14.
  1. Mahkamah Arbitrasi Uni beranggota tiga orang yang diangkat menjadi anggota oleh Republik Indonesia Serikat dan tiga orang yang diangkat menjadi anggota oleh Kerajaan Belanda.
  2. Anggota-anggota Mahkamah diangkat menjadi anggota untuk masa sepuluh tahun lamanya. Apabila sudah berusia 65 tahun, mereka harus meletakkan jabatannya.
  3. Setiap tahun secara bergiliran seorang Indonesia dan seorang Belanda di antara anggota Mahkamah tersebut dipilih menjadi ketua oleh Mahkamah itu.
  4. Sebelum memangku jabatannya, maka anggota-anggota Mahkamah itu bersumpah atau berjanji menurut agamanya dihadapan Kepala Uni, bahwa mereka akan memenuhi segala kewajiban jabatannya dengan jujur, teliti dan adil, selama menjalankan kewajibannya akan berperilaku dengan patut, sebagaimana seharusnya bagi seorang anggota Mahkamah Arbitrasi Uni yang baik.

Pasal 15.
  1. Mahkamah Arbitrasi Uni mengambil keputusan dengan suara terbanyak.
  2. Jika suara yang berlawanan sama banyaknya, maka -kecuali jika kedua peserta meminta lain- Mahkamah itu akan menghadapkan permintaan kepada Presiden Mahkamah Justisi Internasional atau kepada badan Internasional lain yang ditunjuk dengan suara terbanyak, supaya diangkat seorang berkebangsaan lain menjadi anggota luar biasa pada Mahkamah Arbitrasi Uni; anggota itu akan turut mengulangi bermusyawarah tentang pertikaian hukum itu serta memutuskannya, ialah dengan segala hak anggota biasa.

Pasal 16.
Ketentuan-ketentuan lanjut tentang acara Mahkamah Arbitrasi Uni dan hal menyusun dan mengatur pekerjaan Mahkamah itu, akan ditetapkan dengan peraturan bersama. Selama peraturan bersama demikian itu belum ada, maka Mahkamah sendirilah yang mengatur acara, susunan dan aturan pekerjaannya. Jika untuk hal itu Mahkamah tidak dapat mencapai persetujuan, maka berlakulah ayat kedua pasal tadi.

Pasal 17.
Kedua peserta berjanji akan mematuhi keputusan Mahkamah Arbitrasi Uni; mereka akan menjalankan keputusan itu atas kuasa dan tanggung jawabdalam lingkungan wilayah hukum masing-masing.

Pasal 18.
 Jika ketentuan-ketentuan pada hukum salah satu peserta atau pada hukum badan-badan hukum publik di dalam lingkungan daerah hukumnya di pihak satu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pada Statut Uni, pada sesuatu persetujuan antara peserta atau pun pada sesuatu peraturan bersama di pihak lain, maka yang akan diumumkan adalah golongan ketentuan yang tersebut kemudian itu.

Pasal 19.
Kedua peserta tidaklah kehilangan keleluasaan menjalankan segala hak yang ada padanya menurut hukum bangsa-bangsa atau lain-lain perihal meminta keputusan sesuatu hakim atau hakim internasional dalam hal-hal Mahkamah Arbitrasi Uni menurut pendapat kedua peserta tidak berkuasa atau pun dalam hal-hal Mahkamah itu menyatakan dirinya tidak berkuasa.

HUBUNGAN LUAR NEGERI

Pasal 20.
Aturan mengenai kerjasama kedua peserta di bidang  hubungan luar negeri diberikan pada persetujuan yang dilampirkan pada Statut ini.

PERTAHANAN

Pasal 21.
Aturan mengenai kerjasama kedua peserta di bidang pertahanan diberikan pada persetujuan yang dilampirkan pada Statut ini.

HUBUNGAN KEUANGAN DAN PEREKONOMIAN.

Pasal 22.
Aturan mengenai kerjasama kedua peserta di bidang hubungan keuangan dan perekonomian diberikan pada persetujuan yang dilampirkan pada Statut ini.

HUBUNGAN KEBUDAYAAN

Pasal 23.
Aturan mengenai kerjasama kedua peserta di bidang kebudayaan diberikan pada persetujuan yang dilampirkan pada Statut ini.

KEWARGANEGARAAN

Pasal 24.
  1. Dengan tidak mengurangi segala apa yang sudah atau sedang akan ditentukan pada persetujuan-persetujuan khusus antara kedua peserta, maka hal hak-hak kenegaraan dan lain-lain dijalankan oleh warganegara peserta yang satu di daerah hukum peserta yang lain, akan berlaku yang ditentukan di bawah ini:
a.    kebangsaan warganegara peserta yang satu tidak akan menjadi halangan untuk memegang jabatan di daerah hukum peserta yang lain, melainkan terhadap kepada:
1e.       jabatan-jabatan yang pemangkunya bertanggung jawab
kepada suatu badan perwakilan, melainkan yang sekiranya
dikecualikan undang-undang;
      2e.                   segala jabatan politik, berkuasa, kehakiman dan yang bersifat
pemimpin yang ditunjukkan undang-undang.

    1. hal menjalankan hak-hak sipil dan bekerja di bidang kemasyarakatan tiap tiap peserta senantiasa akan mengindahkan sepenuh-penuhnya segala kepentingan khusus di lingkungan wilayah hukum yang ada pada warganegara dan badan-badan hukum peserta yang lain, dan karena itu tidaklah seberapa ia akan membedakan antara warganegara dan badan-badan hukum masing-masing peserta, dengan tidak mengurangi kekuasaan tiap-tiap peserta, peraturan-peraturan yang perlu, baik guna menjaga kepentingan yang bersifat kebangsaan, mau pun guna melindungi golongan-golongan yang lemah perekonomiannya.

  1. Sekali-kali tidak boleh terjadi warganegara dan badan-badan hukum peserta yang satu di wilayah hukum peserta yang lain, dibawa secara kurang sempurna dari cara membawa warganegara dan badan-badan hukum negara asing.

KETENTUAN-KETENTUAN  KHUSUS

Pasal 25
Untuk mengurus kepentingan peserta yang satu di wilayah hukum peserta yang lain, Pemerintah peserta mengangkat Komisaris Agung. Mereka itu berkedudukan wakil diplomatik serta berpangkat Duta Besar (Ambassadeur).

Pasal 26.
  1. Sekadar tidak ada persetujuan yang menetapkan lain, maka belanja Uni seperdua ditanggung tiap-tiap peserta.
  2. Aturan-aturan lanjut mengenai belanja Uni akan ditetapkan dengan peraturan bersama. Selama belum diadakan peraturan bersama sedemikian, maka konferensi menteri itu akan mengadakan aturan-aturan seperlunya.

Pasal 27.
  1. Semua surat-surat resmi yang ke luar dari konferensi menteri dan badan-badan perlengkapan Uni akan dibuat dalam bahasa Indonesia dan Belanda.
  2. Kedua naskah itu sama kekuatannya.

Pasal 28.
Statut Uni dan persetujuan-persetujuan yang bersangkutan serta peraturan-peraturan bersama dan persetujuan-persetujuan yang akan diadakan, boleh dikirim ke sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan sesuai dengan Piagam Perserikatan bangsa-Bangsa pasal 102.

======================================



Lampiran X



UU No. 13/1956, Tentang:

PEMBATALAN HUBUNGAN INDONESIA-NEDERLAND BERDASARKAN PERJANJIAN KONPERENSI MEJA BUNDAR *)

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:
bahwa demi kepentingan Negara dan Rakyat Republik Indonesia yang sangat dirugikan oleh Perjanjian Konperensi Meja Bundar di 's Gravenhage dalam tahun 1949 dan yang didaftarkan pada Sekretariat Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 14 Agustus 1950 No. 894, dianggap perlu membatalkan hubungan antara Indonesia dan Kerajaan Nederland atas dasar Perjanjian ini, termasuk Statut Uni, persetujuan-persetujuan yang dilampirkan, serta pula pertukaran-pertukaran surat dan prasasti-prasasti lainnya:

Menimbang:
bahwa telah berulang-ulang dinyatakan kepada Pemerintah Kerajaan Nederland bahwa isi dan makna perjanjian tersebut tidak dapat dipertanggung-jawabkan lagi, karena Irian Barat sebagai bagian mutlak dari wilayah Republik Indonesia masih juga diduduki oleh Pemerintah Kerajaan Nederland, walaupun semestinya telah lama harus diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang penuh berhak atas bagian-mutlak itu, pula karena Uni Indonesia-Nederland bagi Indonesia ternyata merupakan ikatan yang merugikan dan mempersulit usaha-usaha ke arah pembangunan Negara;
Menimbang: bahwa dari pihak Indonesia senantiasa diusahakan guna mendapat persetujuan dari Kerajaan Nederland untuk mewujudkan hubungan baru yang lazim antara Negara-negara yang berdaulat penuh, dalam beberapa perundingan yang selalu kandas karena ketidak-sediaan Pemerintah Kerajaan Nederland;

Menimbang:
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas tidak seyogya dan adil diminta dari pihak Pemerintah Indonesia kesediaan terus-menerus untuk mengadakan perundingan guna mencapai perjanjian bilateral untuk pembatalan yang dimaksudkan di atas dan karena itu tidak ada jalan lain daripada pembatalan unilateral sesuai dengan arti dan makna hukum internasional;

Mengingat:
Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No. 33 tahun 1950, Undang-undang No. 7 tahun 1950 dan pasal-pasal 89 dan 120 Undang-undang Dasar Sementara;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

Memutuskan:
Menetapkan:*1165 Undang-undang Tentang Pembatalan Hubungan Indonesia-Nederland Berdasarkan Perjanjian Konperensi Meja Bundar.

Pasal 1.
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan, bahwa hubungan Republik Indonesia dan Kerajaan Nederland atas dasar perjanjian Konperensi Meja Bundar di s' Gravenhage dalam tahun 1949 dan yang didaftarkan pada Sekertariat Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 14 Agustus 1950 No. 894, dengan ini dihapuskan dan karena itu adalah batal.

Pasal 2.
Piagam Penyerahan Kedaulatan, akta penyerahan kedaulatan, serta pertukaran surat tentang status quo Irian-Barat dengan ini dihapuskan dan karena itu adalah batal.

Pasal 3.
Uni Indonesia - Nederland sebagai dimaksudkan dalam Status Uni dengan ini dihapuskan dan karena itu adalah batal.

Pasal 4.
Statut Uni, termasuk lampiran-lampirannya serta persetujuan-persetujuan dan pertukaran surat yang bersangkutan tentang hal kerjasama, baik di lapangan urusan Luar Negeri, Pertahanan dan Kebudayaan, maupun di lapangan Perekonomian dan Keuangan dihapuskan dan karena itu adalah batal.

Pasal 5.
Undang-undang, Keputusan-keputusan serta Peraturan-peraturan penyelenggaraan mengenai hal-hal tersebut dalam pasal 1 sampai 4 tidak berlaku lagi.

Pasal 6.
Hubungan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Nederland selanjutnya adalah hubungan yang lazim antara Negara-negara yang berdaulat penuh, berdasarkan Hukum Internasional.

Pasal 7.
Kepentingan bangsa Belanda yang ada dalam wilayah Republik Indonesia diperlakukan menurut aturan-aturan tercantum dalam Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan Perundang-undangan yang berlaku atau yang akan berlaku dalam wilayah Republik Indonesia.
Hak, Konsesi, Izin dan cara menjalankan perusahaan Belanda akan diindahkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan Negara. Perlakuan sebagai dimaksudkan di atas tidak dapat didasarkan atas hak-hak istimewa dengan alasan apa juapun.

Pasal 8.
Pelaksanaan undang-undang ini diatur dengan Peraturan *1166 Pemerintah.

Pasal 9.
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Pembatalan Konperensi Meja Bundar seluruhnya."

Pasal 10.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan mempunyai daya surut sampai tanggal 15 Pebruari 1956. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Republik Indonesia,

ttd.
SOEKARNO.

Diundangkanpada tanggal 22 Mei 1956.Menteri Kehakiman.
ttd.
MULYATNO.

Perdana Menteri,
ttd.
ALI SASTROAMIDJOJO

Menteri Luar Negeri,
ttd.
RUSLAN ABDULGANI
--------------------------------
CATATAN
*)Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-8 pada hari Sabtu tanggal 21 April 1956, P.7/1956


Sumber: http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+56&f=uu13-1956.htm



=============================


Lampiran XI

Pidato Ben Bot 15.8.2005 di Den Haag:
“Kini pemerintah Belanda menerima de facto proklamasi 17.8.1945!”



Toespraak door dr. Bernard Bot, minister van Buitenlandse Zaken van het Koninkrijk der Nederlanden, ter gelegenheid van de 15 augustus herdenking bij het Indië-monument
Den Haag, 15 augustus 2005
Geachte aanwezigen, dames en heren,
De Stichting Herdenking 15 augustus 1945 ben ik dankbaar voor de mogelijkheid vandaag de herdenkingstoespraak te houden. Dat is voor mij, als minister van buitenlandse zaken en vertegenwoordiger van de regering, een eervolle taak. Maar ik sta hier ook, net als velen van u, als een kind van Indië. Net als bij u roept deze herdenking bij mij gevoelens en emoties op, komen op deze dag zowel positieve als negatieve herinneringen boven aan Indonesië, 5 tijdzones en 14.000 kilometer van deze plek verwijderd, maar gevoelsmatig toch zo nabij. Het zijn herinneringen die je de rest van je leven meedraagt, maar een optimistische en toekomstgerichte levenshouding niet in de weg hoeven te staan. Immers, herdenken is, naast herinneren, ook vooruitzien.
Eerst het verleden: met de capitulatie van Japan, precies 60 jaar geleden, kwam ook een einde aan de Japanse bezetting van Nederlands Indië, een bezetting die zovelen van ons leed had berokkend. Wij gedenken de familieleden en vrienden die tijdens de Japanse bezetting het leven lieten of hebben geleden. Wij gedenken ook de talloze Indonesische dwangarbeiders, de Romusha’s, die vaak naamloos stierven.
Na de capitulatie was het leed, in tegenstelling tot wat toen vurig werd gehoopt, nog niet geleden. Meteen na de capitulatie ontstond een machtsvacuüm dat slechts geleidelijk kon worden opgevuld door de Britten. Tijdens deze zogeheten Bersiap-periode verloren vele duizenden onschuldige Nederlands-Indische en Indonesische burgers, veelal vrouwen en kinderen, het leven.
In de jaren daarna volgde een pijnlijke, langdurige en gewelddadige scheiding der wegen tussen Indonesië en Nederland. Voor wat betreft grote delen van de Nederlands-Indische gemeenschap spreken wij dus over vele jaren van fysiek en psychisch leed.
Zelf kijk ik met gemengde gevoelens terug op mijn kamptijd in Tjideng. Als kind word je misschien iets minder snel geraakt door het leed en de ontbering om je heen, vat je de dingen wat makkelijker op. Maar je wordt ook sneller volwassen. Een verblijf in het weeshuis, toen mijn moeder in het ziekenhuis werd opgenomen, maakte mij, zoals dat heet, vroeg “streetwise”.
Waarschijnlijk daarom staat die periode scherp in mijn geheugen geetst. Ik herinner me nog levendig de internering, het vertrek van mijn vader naar Birma, de koempoelans ‘s-morgens en ‘s-avonds, het urenlange wachten en daarna buigen voor kampcommandant Soni. Ook weet ik dat je duizend angsten uitstond als je wegens ziekte niet bij de koempoelan aanwezig kon zijn, omdat de Japanners je zouden kunnen betrappen bij een controle. De herinnering aan de honger is iets dat, denk ik, bij mijn generatie sterk voortleeft in de zin dat je niet snel iets weggooit wat nog enigszins eetbaar is.
Een kleine anekdote. Wij werden verplicht een soort volkstuintjes aan te leggen zogenaamd om wat groente te verbouwen. Ik was aangewezen mee te werken aan een tomatenbed. Groot was mijn teleurstelling toen op een kwade ochtend bleek dat alle zo goed als rijpe tomaten waren verdwenen.
Ik verdacht mijn buurjongen van deze euvele daad en besloot tot retaliatie. Alleen, bij hem waren de tomaten nog onrijp en groen. Ik heb ze toch verorberd en heb dat moeten berouwen. Niet lang daarna voelde ik me doodziek worden en moest mijn moeder opbiechten wat ik had gedaan. “Jongen”, zei ze, “zo komt boontje altijd om zijn loontje”.
Er wordt weer veel geschreven over de Japanse capitulatie. Natuurlijk is het verschrikkelijk wat er in Hiroshima en Nagasaki is gebeurd. Maar ik weet ook dat de oorlog niet veel langer had moeten duren of wij hadden dat kamp niet overleefd. En mijn vader zou zeker niet zijn teruggekeerd uit Birma en Siam. 15 Augustus is daarom een dag die voor mij een speciale betekenis heeft.
De bevrijding, de terugkeer van mijn vader die ik uiteraard bij die eerste ontmoeting niet kende, de terugkeer in Nederland zijn evenzovele onuitwisbare herinneringen die ik graag met U hier vandaag deel. De ontvangst in Nederland kwam enigszins als een koude douche. En ik zeg dat niet vanwege het koude klimaat waarin ik terecht kwam. Het was moeilijk uit te leggen wat wij hadden ondergaan. Steevast kwam er als reactie dat bij ons in Indie in ieder geval het zonnetje had geschenen, terwijl zij in de hongerwinter kou hadden geleden. Kortom, al snel werd duidelijk dat niemand in Nederland zat te wachten op die uit Indië afkomstige groep Nederlanders. Je leerde dus al snel niet te veel te praten over wat je had meegemaakt, en juist wel met sympathie te luisteren naar de verhalen over de oorlog in Nederland, de Duitsers en de vernietigingskampen.
Misschien is dat ook wel de reden waarom wij zo goed en snel in de Nederlandse samenleving wisten te integreren. Misschien daarom hebben we snel pleisters geplakt op al die wonden en gewoon de draad van ons leven weer opgepakt. En natuurlijk was er ook aanleiding om dankbaar te zijn. We hadden het immers overleefd en in ieder geval een nieuw thuis gevonden. Persoonlijk ben ik dus dankbaar dat ik hier voor u mag staan, dat ik zoals zo velen van u die periode goed heb doorstaan en heb laten zien dat je ook gesterkt uit zo’n beproeving te voorschijn kunt komen.
(Levende geschiedenis)
Zestig jaar, dames en heren. De afstand in tijd tussen het heden en de gebeurtenissen van toen wordt steeds groter. En brengt dit niet het risico van vergetelheid met zich mee, zoals de heer Boekholt dat twee jaar geleden bij deze gelegenheid schetste? Ik hoop en vertrouw erop dat dit niet zo zal zijn. Ik denk dat ook toekomstige generaties zich zullen blijven interesseren in het gemeenschappelijke verleden van Nederland en Indonesië. Ik denk dat onze jeugd die geschiedenis graag wil adopteren, zoals de scholieren van het Vrijzinnig Christelijk Lyceum het Indië-monument hebben geadopteerd en zoals vele andere scholen bijvoorbeeld militaire begraafplaatsen verzorgen. Maar om de geschiedenis met overtuiging te koesteren, moet in de ogen van onze jeugd het verleden en de kennis van dat verleden ook voor het heden en de toekomst relevant zijn.
Winston Churchill zei het eens als volgt: hoe verder men terug kan kijken hoe verder men vooruit weet te zien. Inderdaad: historische kennis is geen overbodige luxe, maar een voorwaarde voor een heldere blik op de toekomst. En dat geldt zeker voor de relatie tussen Nederland en Indonesië. Wanneer Nederlanders op welke wijze dan ook in contact zullen komen met Indonesië en Indonesiërs, dan zullen zij iets moeten weten van de geschiedenis van dat land, en dus ook van eeuwen van gedeelde Indonesisch-Nederlandse geschiedenis. Nederlanders die zonder enige kennis van de geschiedenis in Indonesië succesvol zaken denken te kunnen doen, of diplomatie te bedrijven, komen meestal van een koude kermis thuis.
Wanneer een samenleving de toekomst met optimisme en strijdbaarheid tegemoet wil treden moet zij wel bereid zijn ook over de minder fraaie kanten van de eigen geschiedenis eerlijk te zijn. Zeker in een tijd waarin wij in Nederland  - op de werkvloer, in de sportkantine en op school - bruggen willen slaan tussen de diverse etnische en geloofsgemeenschappen in ons land. In de context van deze herdenking betekent dat dan dat wij durven toegeven dat ook na invoering van de zogeheten ethische politiek de belangen van de Indonesische bevolking voor de meeste Nederlanders op zijn best op de tweede plaats kwamen.
Werken aan een gemeenschappelijke toekomst. Dat moet niet alleen binnen onze samenleving het adagium zijn, maar ook in de relatie tussen Nederland en Indonesië. De uitdagingen die wij gezamenlijk ter hand moeten nemen zijn legio, zoals de strijd tegen intolerantie, extremisme en terrorisme.
Indonesië is belangrijk. Het is een drijvende kracht achter regionale samenwerking in Zuid-Oost Azië. Indonesië herbergt als seculiere staat meer moslims dan welk land ook ter wereld, maar is tevens hoeder van eeuwenoude, boeddhistische, hindoeïstische en christelijke tradities. Als zodanig heeft Indonesië recht van spreken in de dialoog der culturen. Tijdens het Nederlandse voorzitterschap van de Europese Unie vorig jaar, hebben wij dan ook veel aandacht besteed aan intensivering van de betrekkingen met Indonesië.

(Boodschap aan Jakarta)
Dames en heren,
Om de relatie tussen Indonesië en Nederland verder te intensiveren is het behulpzaam om wat er nog resteert aan oud zeer weg te nemen, althans voor zover wij dat als Nederlanders in onze macht hebben. Daarom zal ik als vertegenwoordiger van ons land en als vertegenwoordiger van de generatie die de pijn van de scheiding heeft ondervonden, nog vandaag het vliegtuig nemen, die vijf tijdzones doorkruisen en 28000 kilometer afleggen. Op 17 augustus zal ik dan ons land vertegenwoordigen bij de Indonesische herdenking van de op 17 augustus 1945 uitgeroepen onafhankelijkheid. Ik zal aan het Indonesische volk uitleggen dat mijn aanwezigheid mag worden gezien als een politieke en morele aanvaarding van die datum.
Maar waar het nu in de eerste plaats om gaat is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennialang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal  met steun van het Kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden.
Aanvaarding in morele zin betekent ook dat ik mij zal aansluiten bij eerdere spijtbetuigingen over de pijnlijke en gewelddadige scheiding der wegen van Indonesië en Nederland. Bijna zesduizend Nederlandse militairen lieten in die strijd het leven, velen verloren ledematen, of werden slachtoffer van psychische trauma’s, waarvoor, opnieuw, in Nederland maar weinig aandacht bestond.
Door de grootschalige inzet van militaire middelen kwam ons land als het ware aan de verkeerde kant van de geschiedenis te staan. Dit is buitengewoon wrang voor alle betrokkenen: voor de Nederlands-Indische gemeenschap, voor de Nederlandse militairen, maar in de eerste plaats voor de Indonesische bevolking zelf.
Dames en heren,
Pas wanneer men op de top van de berg staat kan men zien wat de eenvoudigste en kortste weg naar boven zou zijn geweest. Zoiets geldt ook voor diegenen die betrokken waren bij de besluiten die in de jaren veertig werden genomen.
Pas achteraf is te zien dat de scheiding tussen Indonesië en Nederland langer heeft geduurd en met meer militair geweld gepaard is gegaan dan nodig was geweest.
Dit is de boodschap die ik mee zal nemen naar Jakarta. Daarbij hoop ik vurig op het begrip en de steun van de Indische gemeenschap, de Molukse gemeenschap in Nederland en van de veteranen van de politionele acties.
Immers, om ons gemeenschappelijke verleden levend te houden, hebben wij ook een gemeenschappelijke perspectief op de toekomst nodig. Samen werken aan een gezonde en veilige toekomst van onze samenleving, en aan goede betrekkingen met Indonesië, zal ons helpen ook de meest pijnlijke aspecten van ons verleden dragelijk te maken.
Ik dank u voor uw aandacht.

********

Lampiran XII

Pidato Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005: Belanda KINI MENERIMA PROKLAMASI 17.8.1945 SECARA POLITIS DAN MORAL
               
Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration

Address by Dr. Bernard Bot
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands
Jakarta, 16 August 2005
On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration
Colleagues, ... Honoured guests, Ladies and gentlemen,
1.      SAYA MERASA MENDAPAT KEHORMATAN BERADA DI SINI BERSAMA BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU PADA MALAM INI.
(Translation: Ladies and gentlemen - it is an honour for me to be here this evening with you all.)

2.      I am here today in my capacity as a Dutch minister to pay my respects to the Indonesian people, a people with whom we Dutch have had strong bonds for hundreds of years.
3.      Tomorrow, your country will be celebrating the 60th anniversary of your declaration of independence, the Proklamasi. It is an historic moment on which I would like to congratulate Indonesia on behalf of the entire Dutch government. Allow me also to congratulate our trusted partner, the Indonesian Ministry of Foreign Affairs, on its 60th anniversary on 19 August.
Ladies and gentlemen,
4.      This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence. Only when someone is standing on the summit of the mountain can he see what would have been the simplest and shortest way up. This applies equally to the people on the Dutch side who were involved in the decisions taken from 1945 onwards. Only in hindsight does it become clear that the separation between Indonesia and the Netherlands was marked by more violence and lasted longer than was necessary.
Ladies and gentlemen,
5.      If a society wants to face the future with its eyes open, it must also have the courage to confront its own history. This applies to every country, including the Netherlands and the Republic of Indonesia. Within the context of 17 August, this means that we Dutch must admit to ourselves, and to you the Indonesians, that during the colonial period and especially its final phase harm was done to the interests and dignity of the Indonesian people – even if the intentions of individual Dutch people may not always have been bad.
6.      The end of the Japanese occupation of Indonesia did not bring an end to the suffering of the Indonesian people nor to that of the Dutch community in Indonesia. The Japanese occupation and the period directly after the Proklamasi were followed by an extremely painful, violent parting of the ways between our countries and communities.
7.      In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering.
8.      Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation. The Indonesian and Dutch veterans who fought one another at that time have been setting a good example for many years by commemorating victims of both sides together. Ali Boediardjo, the former Secretary of the Republic’s negotiating delegation, was speaking about reconciliation in 1990 when he said: “We have one basic principle in common, that is humanism, which means that one can understand his fellow-man and can forgive the evil he has done.”
9.      This is also an important moment for me personally. The country where I was born, Indonesia, and the Netherlands, my motherland, are reaching out to one another and opening a new chapter in their relations. Let us apply ourselves to deepening our friendship with dedication and in harmony. And may our friendship serve the interests of the common challenges all of us will have to meet in the twenty-first century. Let us work together for peace, justice and prosperity.
10. Reconciliation will also be high on the agenda in Aceh. The Indonesian government and the GAM signed a peace agreement yesterday in Helsinki. On behalf of the Dutch government, I would like to congratulate both parties on the results achieved and hope that this will mean lasting peace for the people of Aceh. Because even more than all the aid from the international community, this peace agreement will be decisive for the prosperous development of the province. The role of the EU and ASEAN in monitoring the peace agreement is an important new step in the growing relationship between the EU and ASEAN.
Ladies and gentlemen,
11. The Republic of Indonesia is an important partner for the Netherlands. Your country is a driving force behind regional integration in Southeast Asia and dialogue with the European Union. And your country is assuming a prominent position in the dialogue of cultures. The secular Republic of Indonesia not only has more Muslims than any other country in the world, it is also a faithful guardian of centuries-old Buddhist, Hindu and Christian traditions. Dutch society too is rich in traditions, cultures and religions. So let us carry the Indonesian motto bhinekka tunggal ika - “unity in diversity”, which is also the motto of the European Union, in our hearts, as a permanent goal to strive for. Let Indonesia and the Netherlands, each from in its own unique position and drawing on our historical ties, make a positive contribution to understanding and respect between countries and peoples.
12. I look forward to tomorrow’s celebrations of 60 years of the Proklamasi.
PERSAHABATAN TIDAK MENGENAL BATAS NEGARA
(Translation: Friendship knows no borders.)
Knowing that you have friends on the other side of the world inspires confidence – like-minded friends to whom you feel connected and with whom you can journey on the path to the future.
MARI KITA MENYONGSONG MASA DEPAN BERSAMA-SAMA DENGAN PENUH KEYAKINAN.
(Translation: Let us embark upon the future together in trust).
TERIMA KASIH BANYAK
(Thank you very much)

********




========================================


Lampiran XIII

Belanda akan serahkan surat pengakuan Kemerdekaan RI ke SBY

Kamis, 30 September 2010 19:44 WIB | |

Jakarta–Kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda pekan depan punya makna sejarah. Dalam kesempatan itu akan disampaikan naskah resmi pengakuan pemerintah Belanda terhadap kedaulatan dan kemerdekaan RI.
Demikian papar Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, tentang agenda Presiden SBY di Belanda. Dia ditemui di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (30/9).
“Suratnya sudah diinisiasi sejak 2009 oleh pemerintah Belanda,” kata Faiz.
Menurut jadwal, pada tanggal 6-8 Oktober mendatang Presiden SBY berada di Belanda dengan agenda utama kunjungan kenegaraan. Ini kali pertama Presiden RI adakan kunjungan kenegaraan resmi ke Belanda semenjak proklamasi kemerdekaan RI pada 65 tahun silam.
“Waktu Pak Harto, Gus Dur dan Bu Mega duhulu itu bukan kunjungan kenegaraan,” jelas Faiz.
Sementara kunjungan kenegaraan Presiden SBY nanti, berlangsung atas undangan Ratu Beatrix. Surat undangan resmi dari Kerajaan Belanda itu sudah disampaikan sejak 4 tahun lalu.
“Kegiatan formal di sana nanti bertemu dengan Ratu Belanda, PM Belanda dan menandatangani satu perjanjian kemitraan komprehensif,” papar Faiz.
Agenda lain Presiden SBY selama di Belanda adalah bussiness meeting dengan para pengusaha besar dan berpidato di salah satu perguruan tinggi. Tak ketinggalan Presiden SBY dialog dengan WNI dan mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda.
Menyinggung pernyataan Dubes JE Habibie yang jadi kontroversi di Belanda, menurut Faiz sudah tak lagi jadi masalah. Semua salah paham sudah dijelaskan dan tak lagi yang menjadi ganjalan bagi pemerintah Belanda.
“Kita maklumi ada salah kutip. Pemerintah di sana juga tidak mempermasalahkan apa yang disampaikan Pak Habibie. Kita anggap sudah selesai,” paparnya.
dtc/nad





[1] Nasution, Dr. A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Diplomasi atau Bertempur, Jilid 2, Bandung, 1977,   hlm. 18–19.
[2] Menteri Luar Negeri Inggris – pen.
[3] Ibid., Third Year, Special Supplemen No. 1, appendices XI. XIII and VIII.
[4] Linggarjati Agreement, between the Government of the Netherlands and Government of the Republic of Indonesia, signed on 25 March 1947.
[5] The proposals were submitted to the Committee of Good Offices on November 1948 (see Official Records of the Security Council, Third Year, Supplement for December, document S/1117/Add 1, appendix lV.
[6] The draft of resolotion was voted on in parts. No vote was taken on the text as a whole.
[7] See official Records of the Security Council, Foerth Year, 13,410 meeting,  pp.1-2.
[8] Statut = Anggaran Dasar



No comments: