Thursday, December 31, 2015

MEREKA YANG TIDAK PERNAH PUNYA NASIONALISME INDONESIA


   
MEREKA YANG TIDAK PERNAH PUNYA NASIONALISME INDONESIA



Catatan akhir tahun Batara R. Hutagalung

Jakarta, 31 Desember 2015

Meninggalkan Sejarah Indonesia, Membuat Indonesia Menjadi Sejarah.


Pendahuluan

Banyak kalangan di Indonesia yang menyatakan, bahwa kini terlihat kecenderungan lunturnya nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda. Namun apabila ditinjau sejarah Republik Indonesia sejak didirikan pada 17 Agustus 1945, akan terlihat jelas, bahwa sangat banyak yang kini menjadi warga negara Republik Indonesia, sejak berdirinya Republik Indonesia, tidak pernah memiliki nasionalisme Indonesia.

Bahkan sangat banyak pribumi yang justru berada di pihak Belanda, ketika Belanda yang dibantu sekutunya di Perang Dunia II, melancarkan agresi militer terhadap Indonesia antara tahun 1945 – 1950, dalam upaya menjajah Indonesia. Tetapi tidak berhasil.

Juga apabila meneliti masa penjajahan Belanda di Nusantara yang di beberapa daerah berlangsung selama lebih dari 300 tahun, akan terlihat bahwa banyak penguasa setempat dan bangsa Cina yang bekerjasama dengan penjajah di segala bidang.

Perlu diketahui, bahwa sampai awal abad 20, Belanda belum berhasil mengalahkan beberapa kerajaan dan kesultanan di Sumatera dan Bali.

Latar Belakang Sejarah

Di Perang Dunia II, pemerintah Nederlands Indie menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942 di Kalijati.

Kemudian Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 dan menghentikan semua kegiatan militer dan administrasi sipilnya. Tidak ada kekuasaan samasekali di wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang, termsuk di bekas jajahan belanda.

Dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender) baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945 di atas Kapal Perang AS, Missouri di Tokyo Bay. Artinya terjadi Kekosongan Kekuasaan (Vacuum of Power) antara tanggal 15 Agustus – 2 September 1945.

Di masa Vacuum of Power tersebut, pada 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dengan demikian Pernyataan kemerdekaan tersebut bukan merupakan pemberontakan kepada siapapun, karena tidak ada suatu pemerintahan. Juga bukan revolusi, karena tidak ada pemerintah yang digulingkan.

Dari sudut pandang belanda dinyatakan bahwa ini adalah suatu pemberontakan atau revolusi. Jelas pernyataan ini untuk mengecoh opini dunia, bahwa belanda masih memiliki hak sebagai penguasa.

Bangsa Belanda, bekas penguasa Nederlands indie, tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, dan berusaha untuk menjajah Indonesia. Upaya belanda dibantu oleh sekutunya di Perang Dunia II, Inggris, Australia dan Amerika Serikat. Inggris menyediakan 3 British-Indian Division di bawah komando Letjen Philip Christison, dan Australia menyediakan 2 divisi di bawah komando Letjen Leslie “Ming the Merciless” Morshead. Amerika Serikat memberi pelatihan untuk tentara belanda. Ketiga Negara tersebut membrikan bantuan persenjataan dan logistik, karena setelah Perang Dunia II, Belanda hancur dan hampir tak memiliki apapun untuk kepentingan angkatan perangnya.

Selain mendatangkan 150.000 wajib militer dari belanda, belanda juga merekrut sekitar 65.000 pribumi dari bekas jajahannya. Di antaranya sekitar 5.000 dari Maluku. Selebihnya dari berbagai etnis di wilayah bekas jajahan belanda. Kebanyakan adalah mereka, yang sebelum agresi militer Jepang tahun 1942, sudah menjadi tentara KNIL.  Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ketika dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)/Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), beberapa mantan perwira dan serdadu KNIL menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Namun sebagian terbesar termasuk para perwira menengahnya memilih untuk tetap mendukung Belanda, dan berperang di pihak Belanda. 

Selain KNIL yang berpihak kepada Belanda, juga ada pasukan bangsa Cina yang tinggal di Indonesia, Po An Tui. Mengenai pasukan Cina Po An Tui (Belanda menyebut Pao An Tui). Po An Tui (PAT) pertama kali didirikan menjelang agresi militer Jepang ke jajahan Belanda, India Belanda. Awalnya memang hanya untuk pertahanan lingkungan bangsa Cina di India Belanda. Setelah pemerintah Nederlands Indie (India Belanda) menyerah kepada Jepang pada 9 Maret 1942, di masa pendudukan tentara Jepang, pasukan Cina Po An Tui dimanfaatkan oleh Jepang untuk membantu dalam menjaga keamanan lingkungan.

Hingga saat ini, tidak pernah dilakukan penelitian yang rinci mengenai sepak terjang pasukan Cina Po An Tui.  Berdasarkan keterangan para veteran TNI yang berjuang dari tahun 1945 - 1950  mereka menegaskan, bahwa dalam agresi militer Belanda I yang dimulai tanggal 22 Juli 1947 dan dalam agresi militer ke II yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, selain KNIL pasukan PAT juga ikut terlibat dalam berbagai pertempuran melawan TNI di Sumatera dan Jawa.  

Selama masa penjajahan belanda di Asia Tenggara/Nusantara, bangsa Belanda telah menggandeng bangsa Cina sebagai mitra dalam perdagangan. Kerjasama ini dilakukan sejak tahun 1619, yaitu sejak VOC di bawah Gubernur Jenderal keempat Jan Pieterszoon Coen berhasil mengalahkan Jayakarta, yang kemudian namanya diganti menjadi Batavia.

Kerjasama Belanda dan Cina bukan hanya dalam bidang perdagangan umum saja, melainkan juga dalam perdagangan budak dan narkoba (candu) yang pada waktu itu adalah bidang perdagangan yang sangat menguntungkan. Ukuran kekayaan seseorang adalah jumlah budak yang dimilikinya.

Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, terjadi pembalasan dendam yang dilakukan oleh rakyat, terutama oleh laskar-laskar pemuda, terhadap para mantan penjajah, yaitu bangsa Jepang dan bangsa Belanda, serta terhadap mereka yang di masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang telah bekerjasama dengan para penindas, yaitu bangsa Cina dan pribumi sendiri.

Pembalasan dendam seperti ini juga terlihat setelah kekalahan Jerman di Eropa dan kekalahan Jepang di Asia. Pembalasan dendam tidak hanya dilakukan terhadap bangsa Jerman dan bangsa Jepang, melainkan juga terhadap bangsa mereka sendiri, yang selama masa pendudukan bekerjasama dengan para agresor.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pada bulan Desember 1945 dengan persetujuan tentara pendudukan Inggris, di kota Medan dibentuk kembali PAT. Awalnya memang untuk menjaga lingkungan komunitas Cina.

Kemudian di Jakarta dan di beberapa kota di Jawa juga dibentuk pasukan Cina PAT. Sejak pertengahan tahun 1947 hampir di semua kota di Jawa dan Sumatera pasukan PAT dibentuk, dipersenjatai dan dilatih oleh tentara Belanda.

Po An Tui berorientasi ke Kuomintang dan mereka juga mengibarkan bendera Kuomontang. Panglima tertinggi PAT, Lim Seng diberi pangkat Letnan Jenderal.

Sejak munculnya Partai Komunis Cina, komunitas Cina di perantauan, termasuk di India-Belanda terpecah. Ada yang mendukung komunis, seperti Liem Koen Hian yang ikut dalam BPUPK, ada yang mendukung Kuomintang, ada yang tetap setia kepada Belanda, dan beberapa orang ikut dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, a.l. Laksamana John Lie.

Dalam agresi militer Belanda I tanggal 22 Juli 1947 dan ke II tanggal 19 Desember 1948, pasukan PAT membantu tentara Belanda berperang melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Setelah KMB, tahun 1950 tentara Belanda ditarik kembali ke Belanda.KNIL dan Po An Tui dibubarkan. Sekitar 23.000 mantan tentara KNIL diterima di Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan pada 16 Agustus 1950, APRIS menjadi Tentara nasional Indonesia (TNI).

Karena pernyataan Mao Tse Tung tahun 1950 bahwa semua orang Cina di seluruh dunia adalah warga negara RRC, sebagian besar bangsa Cina di Indonesia tidak mengambil kewarga-negaraan Indonesia.

Republik Indonesia menolak Dwi kewarga-negaraan. Berdasarkan kesepakatan antara Republik Indonesia dan RRC tahun 1955, sampai tahun 1962 bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia harus menentukan, apakah menjadi warga negara Indonesia atau warga negara RRC.

Pada bulan November 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nr. 10, yang menyatakan, bahwa orang asing dilarang berdagang di luar Ibukota Kabupaten. Dengan demikian, semua orang Cina yang bukan warga negara Indonesia, harus melepas usaha mereka di luar Ibukota Kabupaten.

Setelah keluar Perpres tersebut, lebih dari 100.000 bangsa Cina kembali ke RRC dan yang tinggal di Indonesia kemudian mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Republik Indonesia. Dengan demikian, bangsa Cina yang selama ratusan tahuhn bekerjasama dengan Belanda, sejak itu “terpaksa” menjadi warga negara Indonesia, agar mereka dapat berdagang sampai ke pelosok-pelosok/kampung di Indonesia.



Sepak Terjang Pribumi Pro belanda

Hingga saat ini, mengenai peran para pribumi yang membantu belanda dalam upaya belanda menguasai Indonesia, belum pernah diungkap, apalagi dibahas. Padahal peran para pribumi ini, yang waktu itu belum sebagai warganegara Republik Indonesia, sangat signifikan, terutama dalam membocorkan dokumen-dokumen, rencana-rencana pemerintah RI dan TNI serta dalam peristiwa pembantaian puluhan ribu rakyat Indonesia, sangat penting.  

Di buku-buku sejarah mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 – 1950, sering ditulis mengenai adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh pribumi untuk memberikan informasi ke pihak belanda. Beberapa pengkhianatan berakibat sangat fatal untuk puluhan ribu jiwa.

Eksekusi di tempat yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian kini termasuk Provinsi Sulawesi barat) terhadap rakyat pendukung Republik Indonesia, dilakukan berdasarkan informasi dari penduduk setempat yang menjadi mata-mata belanda. Sesuai daftar nama yang diberikan, maka oang-orang tersebut ditembak di tempat. Tragisnya, setelah eksekusi para pendukung Republik Indonesia, para informan tersebut juga ditembak mati di tempat.

Hal ini juga terjadi a.l. di desa Galung Lombok, dekat Majene, Sulawesi Barat. Pada 1 Februari 1947 pasukan elit Westerling Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Letnan Vermeulen mengumpulkan ribuan penduduk dari Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar untuk menyaksikan eksekusi terhadap pendukung Republik Indonesia. Berdasarkan daftar nama yang diberikan oleh para informan, tahap awal 29 orang ditembak satu-persatu. Kemudian gelombang kedua, secara acak ditembak lebih dari 200 orang. Kemudian karena ada laporan bahwa pejuang Indonesia membunuh tiga orang prajurit belanda yang akan memperkosa seorang wanita, Vermeulen memerintahkan untuk menembak kearah kerumunan massa. Hanya dalam waktu beberapa jam dalam tiga gelombang, keseluruhan lebih dari 600 orang ditembak mati di tempat, termasuk para informan pribumi. Di antara yang tertembak mati ada seorang wanita hamil dan anakp-anak.

Demikian juga yang terjadi di desa Rawagede, dekat Karawang pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas Kapal Renville. Pada waktu itu tentara belanda terus memburu Kapten TNI Lukas Kustaryo dan pasukannya.

Belanda mendapat informasi dari mata-matanya, bahwa Kapten Lukas berada di desa Rawagede. Di pagi buta desa tersebut dikepung dan segera dimulai menyisir rumah penduduk satu-persatu. Namun tidak ada seorangpun anggota TNI.

Karena penduduk setempat tidak mau memberitahu keberadaan Kapten Lukas dan pasukan TNI, maka komandan pasukan belanda, Mayor Aflons Wijnen memerintahkan anak buahnya untuk membunuh semua laki-laki di atas usia 15 tahun. Namun ternyata di antara 431 penduduk laki-laki yang dibunuh, juga ada seorang bocah berusia 12 tahun. Ketika itu sedang musim hujan, sehingga orang-orang yang ditembak di tepi sungai, langsung hanyut ke laut.

Karena tidak ada satupun penduduk laki-laki, maka para janda dan anak-anak terpaksa menguburkan mayat-mayat penduduk laki-laki yang tewas. Hari itu ada seorang wanita yang harus menguburkan ayah, suami dan dua putranya. Ini semua karena ulah seorang pribumi yang menjadi mata-mata belanda.

Pada perundingan Renville yang dimulai tanggal 8 Desember 1947, Belanda menunjukkan kehebatannya dalam mengadu-domba pribumi Nusantara. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh seorang pribumi antek Belanda, Kolonel KNIL Raden Abdulkadir Wijoyoatmojo.

Peristiwa Madiun September 1948 adalah manuver militer Belanda, dalam rangka mempersiapkan agresi militernya yang terbesar terhadap Republik Indonesia, yang dimulai pada 19 Desember 1948. Yang sangat berperan di sini adalah “Van der Plas Connection” yang dibentuk Januari 1942.

Untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun yang dimulai tanggal 19 September 1948, TNI harus mengerahkan seluruh pasukan yang dimilikinya, baik dari Divisi I Jawa Timur, termasuk Brigade Mobil Polisi, pasukan Divisi II dan Divisi III Jawa tengah, serta pasukan Divisi Siliwangi, yang akibat persetujuan Renville harus keluar dari jawa Barat. Hal ini mengakibatkan, bahwa di Yogyakarta tidak ada satu batalyonpun yang menjaga Ibukota Republik Indonesia waktu itu.

Di tengah kekosongan pasukan di Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 belanda melancarkan agresi militernya secara besar-besaran terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia di Sumatera dan Jawa.

Padahal waktu itu ditengah berlangsungnya perundingan antara Indonesia dengan belanda yang difasilitasi oleh PBB. Komisi PBB, United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dipimpin oleh orang Amerika.

Serangan terhadap Ibukota Yogyakarta dimulai dengan menduduki lapangan terbang Maguwo. Di pagi hari pukul 06.45, bersamaan dengan pendaratan tentara belanda di Maguwo, Wakil Tinggi Mahkota Belanda (Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon - HVK) Dr. Willem Drees, menyampaikan pidato di radio, di mana dia menyatakan, bahwa belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville.

Mulusnya penyerangan dan pendaratan tentara belanda di lapangan terbang Maguwo dekat Yogyakarta, dikarenakan telah  terjadi pengkhianatan di pihak Republik Indonesia. Ada yang memerintahkan agar senjata berat ditarik dari Maguwo.

Akibatnya, satu-satunya lapangan terbang dekat Ibukota RI Yogyakarta, Maguwo hanya dijaga oleh 150 tentara dengan senjata ringan. Tentara belanda tidak mendapat kesulitan untuk menghancurkan pertahanan TNI di Maguwo. Hampir seluruh prajurit TNI ditembak mati. Di pihak Belanda, tak seorangpun yang mati.  Beberapa serdadu yang selamat kemudian menuturkan peristiwa jatuhnya Maguwo ke tangan tentara Belanda. .

Di masa perang gerilya, pada 1 Januari 1949 Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia, yang isinya memberi perintah kepada seluruh pasukan di wilayah Divisi III, Jawa tengah Bagian Barat, agar melancarkan serangan serentak pada 17 Januari 1949.

Instruksi Rahasia tersebut ada yang membocorkan ke pihak belanda. Akibatnya, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari gerilyawan Indonesia, di daerah Kranggan, dekat Temanggung, sejak awal Januari 1949 setiap pemuda Indonesia yang ditemui di jalan ditangkap, langsung dibawa ke tepi Kali Progo, kemudian ditembak mati dan mayatnya dilempar ke Kali Progo. Pembunuhan ini berlangsung sampai bulan Februari 1949. Diperkirakan sekitar 1.500 pemuda Indonesia ditembak mati tanpa proses hukum. Di tepi Kali Progo dibangun Monumen untuk mengenang peristiwa ini.

Ironisnya, pada 10 Desember 1948 Belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (Universal Declaration of Human Rights). Sembilan hari kemudian, belanda melancarkan agresi militernya di mana selama masa agresi militer tersebut puluhan ribu penduduk sipil non-combatant, dibunuh tanpa proses hukum apapun.

Demikian secuil kisah pengkhianatan para pribumi yang menjadi informan belanda, atau bahkan berperang di pihak Belanda, yang berakibat fatal untuk rakyat Indonesia.

Di pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu juga telah disusupi antek-antek Belanda, sebagaimana dituturkan oleh Letjen TNI (Purn.) TB Simatupang dalam bukunya “Laporan Dari Banaran”, yang terbit pertama kali tahun 1960.

Di masa agresi militer Belanda ke II yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dalam catatan hariannya, Simatupang menulis (Laporan dari banaran, halaman 133 – 134):

... Rupa-rupanya Belanda menarik dua kesimpulan yang utama dari peperangan pertama dan dari persetujuan Renville:
(a)  Republik telah terdesak ke daerah-daerah yang paling padat penduduknya dan paling sedikit penghasilannya di Sumatera dan Jawa, sehingga apabila blokade ekonomi diteruskan (dan blokade demikian diteruskan di depan mata KTN, yang tidak dapat berbuat apa-apa selain dari melaporkannya ke DK), Republik akan menemui kesulitan-kesulitan di dalam negeri, sehingga dia terpaksa menerima tuntutan-tuntutan Belanda.

(b)  Sekiranya yang tersebut tidak terjadi, maka dari pengalaman-pengalaman selama peperangan pertama Belanda rupanya menarik kesimpulan bahwa apabila dia menyerang Republik, perlawanan akan dapat dipatahkan dalam waktu singkat dan selanjutnya bahwa perlawanan yang mungkin akan diteruskan oleh beberapa golongan akan dapat dipatahkan dengan bantuan dari beberapa pemimpin Republik sendiri ...

Demikian penuturan Letjen TNI (Purn.) TB Simatupang.

Konferensi Meja Bundar (KMB) dan sesudahnya

Di masa agresinya sampai gencatan senjata pada 10 Agustus 1949, belanda berhasil mendirikan 15 Negara-negara atau daerah otonom, di mana para penguasanya adalah orang-orang yang pro belanda.

Dari 23 Agustus – 2 November 1949 berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag, belanda dengan hasil, didirikannya Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Parlemen RIS.

Menjelang dimulainya KMB, semua kasus kejahatan yang dilakukan oleh tentara belanda ditutup. Namun pada 5 September 1949, di tengah perundingan perdamaian di belanda, hukuman mati terhadap seorang pemuda pejuang Indonesia, Wolter Robert Mongisidi dilaksanakan.

Sejarah mencatat, tak lama setelah berdiri, di beberapa Negara Bagian RIS bentukan belanda timbul kemarahan rakyatnya yang sejak awal tidak setuju dengan pembentukan Negara yang terpisah dari Republik Indonesia dan pergolakan rakyat tak dapat dicegah oleh pemerintah-pemerintah bentukan Belanda. Beberapa pemerintahan Negara Bagian kemudian dipaksa oleh rakyatnya untuk membubarkan diri atau dibubarkan secara paksa oleh rakyatnya, sehingga pada bulan April 1950, hanya tinggal 3 Negara Bagian RIS yang tersisa, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT).

Dengan persetujuan NST dan NIT, pada 19 Mei 1950 Pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah pimpinan Mr. Assaat Datuk Mudo mengadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dicapai kesepakatan untuk kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada 12 Agustus 1950, KNIP Republik Indonesia menyetujui Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara NKRI yang telah disusun oleh panitia bersama, dan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengesahkan Undang-Undang Dasar Sementara untuk NKRI.

Tanggal 15 Agustus Perdana Menteri RIS M. Hatta menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RIS Sukarno. Demikian juga dengan Mr. Assaat Datuk Mudo –Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia- yang menyerahkan mandatnya kepada Presiden RIS. Setelah itu Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan pada 17 Agustus 1950 Ir. Sukarno mengumumkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kudeta APRA Westerling pada 23 Januari 1950 yang didalangi oleh Pangeran Bernard, suami dari Ratu Juliana bersama Sultan Hamid II dari Kalimantan, dan   pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga adalah rancangan belanda   mengalami kegagalan total. Kemudian terjadi konspirasi tingkat tinggi militer dan sipil belanda untuk menyelamatkan Westerling kembali ke belanda, di mana dia dielu-elukan sebagai pahlawan.

Sekitar 4.000 bekas KNIL etnis Maluku bersama keluarganya diboyong ke belanda. Kemudian berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau KNIL dinyatakan bubar.  Sesuai dengan hasil KMB, mereka yang ingin bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) diterima dengan pangkat yang sama. Namun sebelum dibubarkan, banyak dari mereka dinaikkan pangkatnya, bahkan sampai dua tingkat.

Dari uraian di atas terlihat, bahwa ketika Republik Indonesia didirikan, sekitar 65.000 pribumi yang mungkin masih merasa sebagai warganegara belanda, menjadi serdadu KNIL yang sampai 10 Agustus 1949 berperang di pihak belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Di bidang politik, baik di pemerintahan maupun di parlemen RIS duduk orang-orang yang bukan warganegara Republik Indonesia (RI), melainkan warga negara RIS.

Setelah KNIL dan RIS dibubarkan, mereka “terpaksa” menjadi warganegara Republik Indonesia.

Sebagian bekas KNIL menjadi anggota TNI. Banyak bekas petinggi-petinggi pribumi pro belanda ikut ke belanda, a.l. Kol. KNIL R. Abdulkadir Wijoyoatmojo. Namun sebagian terbesar, terutama di wilayah 15 Negara-Negara Bagian atau Daerah Otonom bentukan belanda, para pejabatnya masih tinggal di daerah masing-masing.

Di lingkungan masyarakat di daerah-daerah, masih diketahui dengan jelas peran orang tua atau kakek mereka di zaman penjajahan dan di masa Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

Sampai tahun 50-an karena masih sangat segar di ingatan masing-masing, cukup terbuka siapa-siapa saja yang pernah mengabdi untuk belanda. 

Ada kelompok pribumi Nusantara yang tinggal di belanda mendirikan paguyuban dengan menyatakan “Kesetiaan Abadi” (door de euwen trouw) kepada belanda.

Yang tentu menjadi pertanyaan penting, apakah mereka (dan keturunannya) yang di zaman penjajahan, bahkan sampai tahun 1950 masih di pihak belanda untuk menghancurkan cita-cita Republik Indonesia sebagai bangsa yang Merdeka, tiba-tiba sejak tahun 1950 semua menjadi nasionalis?

Demikian juga dengan bangsa Cina yang selama ratusan tahun bekerjasama dengan penjajah memperdagangkan pribumi Nusantara sebagai budak di negeri sendiri, dan kemudian tahun 1962 “terpaksa” menjadi warga negara Republik Indonesia agar dapat menghindari Peraturtan Presiden No. 10 tahun 1959. Apakah dapat diharapkan nasionalismenya?

Memang harus diterapkan azas pra-duga tak bersalah. Jelas tidak semua dari mereka yang sampai tahun 1950 masih setia kepada belanda, setelah tahun 1950 masih tetap setia kepada belanda.

Namun diketahui, cukup banyak yang setelah tahun 1950 masih menerima uang pensiun dari pemerintah belanda, yang menyebabkan mereka tetap setia kepada belanda. Bahkan kabarnya sampai sekarang, terutama mereka yang termasuk jaringan Van der Plas Connection atau yang terus bertugas sebagai informan belanda, tetap mendapat gaji dari Belanda.

Setelah KMB, ternyata Belanda tidak henti-hentinya mengadu-domba bangsa Indonesia dan terus berusaha memecah-belah NKRI, dengan bantuan mantan kakitangan dan antek-anteknya di masa lalu.

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, termasuk dari belanda sendiri, ternyata belanda ikut terlibat di berbagai peristiwa di Republik Indonesia, dari mulai pemberontakan RMS sampai peristiwa tahun 1965. Pada waktu itu, selain peran Van der Plas Connection dan Pater Josephus (Joop) Beek, juga diketahui adanya OLAF (Our Local Army Friends) sebagaimana disebut oleh Andrew Gilchrist, Duta Besar Inggris di Jakarta pada waktu itu. Di tahun 60-an dan 70-an beberapa mantan tentara KNIL yang sampai tahun 1949 masih berperang di pihak Belanda, berhasil menjadi PATI (Perwira Tinggi) di TNI.

Konflik di antara para pejuang Republik Indonesia berlanjut terus hingga tahun 80-an, dan yang mendapat keuntungan adalah justru mereka yang sampai tahun 1949 masih di pihak belanda yang bertujuan untuk memecah-belah NKRI. Bukan rahasia lagi, bahwa sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang dikabarkan, bahwa banyak menteri di pemerintahan RI adalah titipan asing.

Mengenai hal ini, bukanlah hal baru, sebagaimana telah dituturkan oleh Letjen. TNI (Purn.) TB Simatupang, bahwa sejak tahun 1948 di pemerintah Republik Indonesia telah ada antek Belanda.

Kemungkinan besar inilah penyebab utama, mengapa segala usaha untuk membuka lembaran sejarah dan menuntut Negara-negara yang selama agresi militer mereka di Indonesia (Jepang 1942 – 1945, Belanda, Inggris dan Australia dari 1945 – 1950) dan meminta pertanggungjawaban atas pembantaian jutaan rakyat di wilayah pendudukan Jepang dan setelah itu di wilayah Republik  Indonesia mengalami kesulitan besar.

Pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak merespons tuntutan agar menunjukkan bahwa Indonesia Berdaulat Dalam Politik Luar Negeri.

Pertengahan tahun 2012, tiga lembaga penelitian terbesar di belanda mengajukan proposal untuk melakukan penelitian mengenai segala sesuatu yang terjadi di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, justru pemerintah Indonesia yang menolak, tanpa menyebut alas an penolakan. Mungkin ini salahsatu bukti, bahwa lobby pemerintah belanda di kalangan pejabat di Indonesia, terutama di Kementerian Luar Negeri RI sangat kuat. Kementerian Luar Negeri RI sejak bertahun-tahun tetap tidak mau menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengapa pemerintah RI membiarkan sikap belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945.

Bukan hanya para diplomat di seluruh dunia, orang awam juga mengetahui, bahwa apabila dua Negara akan saling berhubungan diplomatik, keduanya harus saling mengakui dan menghargai kesetaraan. Kemungkinan di sini juga “keberhasilan” lobby belanda untuk menutupi fakta ini, karena apabila belanda terpaksa mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka belanda harus menghadapi tuntutan, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Selain harus membayar pampasan perang, yang paling keberatan terhadap pengakuan de jure ini adalah veteran belanda, karena mereka akan menjadi penjahat perang.

Di lain pihak, apabila Indonesia tetap menerima versi belanda bahwa kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1947, maka berarti pemerintah Indonesia membiarkan pandangan, bahwa yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenatai oleh Jepang, karena demikianlah alasan belanda melancarkan “aksi polisional”nya. Yang dikirim bukanlah polisi, melainkan pasukan-pasukan elit dan marinirnya.

Kalau melihat “peta kekuatan” jaringan Belanda, Van der Plas Connection dan  jaringan Pater Beek serta jaringan sekutu belanda, ABDACOM, tidak tertutup kemungkinan, bahwa apabila MENINGGALKAN SEJARAH INDONESIA, MEMBUAT INDONESIA MENJADI SEJARAH!

Imperium Uni Sovyet yang gagah perkasa, hanya bertahan 70 tahun, kemudian pecah dan bubar. Bahkan salahsatu Negara kuat di Eropa, Republik Demokratik Jerman ( Jerman Timur) hanya bertahan 4O tahun. Pemerintah Jerman Timur membubarkan diri dan  bergabung dengan Jerman Barat.

Telah sering diberitakan, bahwa berbagai konflik dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang rawan, selalu ada campur-tangan asing. Namun belum pernah disebutkan dengan tegas, Negara mana saja yang ikut-campur atau “bermain.” Sudah jelas orang-orang dari Negara-negara tersebut tidak mungkin untuk turun tangan sendiri, karena akan sangat janggal, apabila banyak bule berseliweran di pelosok-pelosok daerah konflik. Tugas ini tentu dilakukan oleh para pribumi.

Bung Karno telah memprediksi apa yang akan dihadapi bangsa Indonesia, sehubungan dengan antek-antek Belanda tersebut yang tinggal di Indonesia. Dalam pidato pembukaan KAA pada 18 April 1955 Bung Karno Mengatakankan:

“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”


Selain itu juga ada kalimat Bung Karno yang sangat terkenal:

“PERJUANGANKU LEBIH MUDAH KARENA MENGUSIR PENJAJAH. PERJUANGANMU AKAN LEBIH SULIT KARENA MELAWAN BANGSAMU SENDIRI”


********

Revisi Agustus 2017.

Referensi dan lampiran-lampiran yang sehubungan dengan artikel di atas, dapat dilihat di buku tulisan Batara R. Hutagalung:

“Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2010. 742 halaman.



********


Lihat juga weblogs:


---------------------------------------------------------------



Delegasi KUKB dipimpin oleh Ketum KUKB, Batara R. Hutagalung berkunjung ke Parlemen Belanda, Tweede Kamer, di Den Haag pada 9 Oktober 2013


Ini kunjungan KUKB pimpinan Batara R. Hutagalung yang keempat ke Parlemen Belanda





No comments: