Wednesday, May 09, 2012

Teror Westerling di Republik Indonesia

Oleh Batara R. Hutagalung, 
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Pendahuluan
Pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, pada 14 September 2011 memenangkan gugatan 8 janda dan satu korban selamat pembantaian di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari), Kabupaten Karawang. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda yang dipimpin oleh Mayor Alfons Wijnen membantai 431 penduduk desa Rawagede, tanpa proses atau tuntutan apapun.

Pada 15 Desember 2005, bersama Ketua Dewan Kehormatan KUKB, Mulyo Wibisono, MSC., SH., saya membawa kasus ini ke parlemen Belanda, dan diterima oleh Bert Koenders, waktu itu sebagai jurubicara Partij van de Arbeid - PvdA (Partai Buruh) dan Angelien Eijsink, juga dari PvdA, yang membidangi masalah veteran. Bert Koenders membawa kasus ini ke sidang parlemen Belanda pada bulan Juni 2006, dan sejak itu peristiwa pembantaian di Rawagede enam kali dibahas di parlemen Belanda, bahkan sampai dilakukan voting.

Dari kiri: Batara R. Hutagalung, Bert Koenders, Angelien Eijsink

Dari kiri: Mulyo Wibisono, Batara R. Hutagalung, Bert Koenders

Pada bulan Februari 2007, dalam pemerintahan koalisi dengan CDA, Bert Koenders menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan, yang dulu pernah dijabat oleh Pronk.

Pemerintah Belanda dituntut di pengadilan sipil di Den Haag, Belanda untuk meminta maaf kepada keluarga korban, dan memberi kompensasi kepada keluarga korban. Pengadilan Belanda mengabulkan tuntutan tersebut dan menyatakan, bahwa pemerintah Belanda bersalah serta harus bertanggungjawab atas peristiwa pembantaian tersebut.

Pada 9 Desember 2011, dalam acara peringatan di Balongsari, atas nama pemerintah Belanda, Duta Besar Belanda Tjeerd de Zwaan secara resmi meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian, dan kemudian menyerahkan kompensasi kepada para janda dan satu korban selamat, masing-masing sebesar 20.000,- Euro. Namun sayang, sejak gugatan dimajukan bulan September 2009 sampai penyerahan kompensasi pada bulan Desember 2011, 2 orang janda dan korban selamat terakhir, Sa’ih, telah meninggal dunia, sehingga tidak dapat lagi menikmati uang kompensasi tersebut.

Dari kiri: Kol. Haryono, Dubes Tjeerd de Zwaan, Batara R. Hutagalung,
Rawagede/Balongsari 9 Desember 2011.

Ketika akhir tahun 2004 saya memulai penelitian mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede, masih hidup 22 orang janda korban pembantaian, dan kini hanya tinggal 6 orang. Semuanya telah berusia di atas 80 tahun.

Dalam sambutan yang saya sampaikan pada acara tersebut, di hadapan Duta Besar Belanda, selain menyampaikan kronologi perjuangan KNPMBI dan KUKB, saya menyatakan, ini bukanlah akhir dari tuntutan, melainkan awal dari akan dibukanya semua kasus kejahatan perang dan peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, termasuk peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya.

Tuntutan KNPMBI/KUKB kepada pemerintah Belanda adalah, agar pemerintah Belanda:
  1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
  2. Meminta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan, pelanggaran HAM berat lainnya, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda antara tahun 1945 – 1950.
  3. Memberi kompensasi kepada seluruh keluarga korban agresi militer Belanda.
Mungkin sebagian besar rakyat Indonesia tidak mengetahui, bahwa hingga kini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bahkan sampai 16 Agustus 2005, untuk pemerintah Belanda, NKRI tidak eksis samasekali, dan baru pada 16 Agustus 2005, Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa mulai saat itu (16.8.2005) pemerintah Belanda MENERIMA (ACCEPT) proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis, atau hanya de facto, namun tidak MENGAKUI (RECOGNIZE) de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945.

Banyak kalangan di Belanda yang menyatakan, bahwa bagi pemerintah Belanda sangat sulit untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, karena apabila hal ini dilakukan, maka pemerintah Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang mereka namakan “aksi polisionil” I (Juli 1947) dan II (Desember 1948) adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Konsekwensinya adalah, Republik Indonesia berhak menuntut pampasan perang kepada pemerintah Belanda, dan tentara Belanda menjadi penjahat perang!

Di International Criminal court – ICC (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, ada 4 jenis kejahatan yang tidak mengenal kadaluarsa (date of expiry), yaitu:
  1. Genocide (genosida/pembantaian etnis),
  2. Crime against humanity (Kejahatan atas kemanusiaan),
  3. War crime (kejahatan perang), dan
  4. Crime of aggression (Kejahatan agresi).

Keempat kejahatan ini telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, dan bahkan di beberapa daerah di bumi Nusantara seperti Jayakarta (sekarang Jakarta), Maluku, dll., telah dilakukan oleh Belanda (VOC dan Netherlands Indië) sejak lebih dari 350 tahun yang lalu.

Sebagai contoh bahwa kejahatan perang tidak mengenal kadaluarsa adalah kasus Heinrich Boere, seorang mantanh tentara Jerman. Pada bulan Oktober 2009, Heinrich Boere, ditangkap dan dimajukan ke pengadilan di Aachen, Jerman. Pada bulan Februari 2010, dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena terbukti, pada tahun 1944 di Belanda membunuh tiga orang penduduk sipil. Heinrich Boere kini berusia 90 tahun! (Lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2010/05/bekas-perwira-nazi-dihukum-seumur-hidup.html)

Belanda mengakui, bahwa jumlah rakyat Indonesia yang tewas antara tahun 1945 – 1950 sekitar 150.000 orang, sedangkan tentara Belanda yang meninggal di Indonesia sekitar 6.000 orang. Tidak semua tentara Belanda tewas dalam pertempuran, melainkan banyak yang meninggal karena penyakit atau bunuh diri. Konon kabarnya, Panglima tertinggi Tentara Belanda, Letnan Jenderal Simon H. Spoor bunuh diri, karena kecewa atas hasil persetujuan Roem-Royen, yang menyepakati dilakukannya Konferensi Meja Bundar (KMB).

Dalam sambutannya pada 16.8.2005, Menlu Belanda Ben Bot mengakui, akibat pengerahan militer secara besar-besaran, sangat banyak rakyat Indonesia yang menjadi korban. Dia hanya menyampaikan penyesalan (regret) atas peristiwa tersebut tetapi menolak meminta maaf  (apology). (Lihat:
Demikian juga penggantinya, Menlu Maxime Verhagen, menolak untuk meminta maaf kepada bangsa Indonesia, juga hanya bersedia menyampaikan rasa penyesalan. Barulah Menlu Belanda Uri Rosenthal, yang pada bulan Desember 2011 menyatakan bersedia meminta maaf kepada keluarga korban di Rawagede.

Namun putusan pengadilan di Den Haag ternyata bermata dua. Sebagai fakta, pengadilan Belanda juga menyatakan bahwa pada waktu itu, Indonesia adalah wilayah Belanda yang bernama Netherlands Indië. Dengan demikian, Dubes Belanda meminta maaf kepada warganya sendiri, dan bukan kepada warga Indonesia!

Sebagaimana diketahui, bahwa suatu putusan terhadap satu kasus, dapat menjadi juris prudensi untuk kasus-kasus serupa. Kasus pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara Belanda bukan hanya di Rawagede/Balongsari, melainkan di puluhan, bahkan mungkin ratusan tempat di Indonesia. Di Sulawesi Selatan saja mungkin terjadi di puluhan desa. Demikian juga di Sumatera, Jawa, Bali dll. Beberapa tempat yang cukup dikenal adalah pembantaian di desa Galung Lombok, Sulawesi barat, Gerbong Maut Bondowoso, Jembatan Air Mata Ibu di Payakumbuh, Pembantaian di Kranggan dekat Temanggung.

Pembantaian di Galung Lombok, Sulawesi Barat, yang dilakukan oleh anak buah Westerling pada 1 Februari 1947 termasuk peristiwa pembantaian yang paling sadis dan kejam. Westerling tidak hanya melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan saja, melainkan setalah ditarik kembali ke Jawa, anak buahnya juga melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil, dan “kudeta”nya yang gagal pada 23 Januari 1950 telah menewaskan lebih dari 90 tentara Siliwangi di Bandung yang tidak bersenjata.

Latar Belakang Sejarah
Setelah Cultuurstelsel, Poenale Sanctie dan Exorbitante Rechten, Westerling adalah hal terburuk yang "dibawa" Belanda ke Indonesia. Bab mengenai Westerling termasuk lembaran paling hitam dalam sejarah Belanda di Indonesia, bahkan mungkin termasuk pembantaian massal terkejam di dunia, karena korbannya adalah ribuan penduduk sipil, non combatant.

Yang telah dilakukan oleh Westerling beserta anak buahnya bukan hanya kejahatan perang (war crime), melainkan juga kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity) dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang sangat berat, seperti perkosaan, penyiksaan, dll. Pembantaian penduduk di desa-desa di Sulawesi Selatan (catatan: setelah dilakukan pemekaran provinsi, maka sebagian daerah sekarang termasuk Sulawesi Barat) dapat juga dikategorikan sebagai pembantaian etnis (genocide). Semua hal-hal ini terjadi dengan sepengetahuan dan bahkan dengan ditolerir oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Kejahatan yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya terjadi di masa agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Oleh karena itu, semua kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer tersebut, termasuk yang dilakukan oleh Westerling, masih dapat dituntut ke Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag. Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) telah membuktikan, bahwa kejahatan perang Belanda tidak hanya dapat dimajukan ke Mahkamah Kejahatan Internasional, melainkan juga ke pengadilan sipil di Belanda.

Belanda dan negara-negara Eropa yang menjadi korban keganasan tentara Jerman selama Perang Dunia II selalu menuntut, bahwa untuk pembantaian massal atau pun kejahatan atas kemanusiaan yang telah dilakukan oleh tentara Jerman, tidak ada kadaluarsanya. Di sini negara-negara Eropa tersebut ternyata memakai standar ganda, apabila menyangkut pelanggaran HAM yang mereka lakukan.

Ulah Westerling dan anak buahnya baik di Sulawesi Selatan, Jawa Barat mau pun dalam peristiwa “:kudeta” Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), hingga kini belum ada penyelesaiannya. Oleh karena itu perlu kiranya diungkap lebih rinci, hal-hal yang sehubungan dengan pembantaian di Sulawesi Selatan dan "kudeta APRA", juga konspirasi pimpinan tertinggi Belanda, baik sipil mau pun militer untuk menyelamatkan Westerling dari penangkapan dan pengadilan di Indonesia, setelah gagalnya kudeta APRA tersebut.

Westerling, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia adalah seorang algojo kejam berdarah dingin, namun bagi sebagian orang Belanda dia adalah seorang pahlawan yang hendak "menyelamatkan" jajahan Belanda dari kolaborator Jepang dan elemen komunis.

Tahun 1999 di Belanda terbit satu buku dengan judul Westerling's Oorlog (Perangnya Westerling) yang ditulis oleh J.A. de Moor. Boleh dikatakan, ini adalah buku yang sangat lengkap dan rinci mengenai sepak-terjang Westerling selama di Indonesia serta lika-liku pelariannya dari Indonesia setelah "kudetanya" yang gagal. Nampaknya ada hal-hal yang selama ini belum diketahui di Indonesia, terutama menyangkut penugasannya di Sulawesi Selatan dan latar belakang rencana "kudeta", yang rupanya telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda, dan kemudian kerjasama tingkat tinggi Belanda meloloskan Westerling dari penangkapan pihak Republik. Buku ini penting sekali untuk diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Bahkan yang lebih menarik lagi adalah, ternyata Pangeran Bernard, suami Ratu Juliana juga terlibat dalam konspirasi kudeta APRAnyaWesterling, karena Bernard berambisi menjadi Raja Muda (Vice Roi) di Indonesia, seperti model Raja Muda Inggris di India.

Dalam Perang Dunia II, tentara Belanda di Eropa yang hancur “dilindas” tentara Jerman hanya dalam waktu 3 hari dan tentara India-Belanda, yang di Jawa tergabung dalam ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) hanya dalam waktu tujuh hari dihancurkan oleh tentara ke XVI Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima tertinggi tentara Belanda di Netherlands Indië, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer, menandatangani dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat (unconditional surrender) di Pangkalan Udara (Lanud) Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat, pada 9 Maret 1942.

Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, namun penandatanganan dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat baru dilakukan pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS Missoury, di Tokyo Bay, Jepang. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat kekosongan kekuasaan (vacuum of power), artinya tidak ada pemerintahan.

Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus 1945, Ir. Sukarno diangkat menjadi Presiden, dan Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Kemudian disusun kabinet RI pertama. Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara berdasarkan Konvensi Montevideo telah terpenuhi, yaitu:
  1. Adanya wilayah,
  2. Adanya penduduk yang permanen, dan
  3. Adanya pemerintahan.

Berdirinya Republik Indonesia bukanlah merupakan suatu pemberontakan terhadap kekuasaan apapun, karena memang tidak ada kekuasaan suatu Negara. Juga bukan suatu revolusi, karena tidak ada penguasa atau pemerintah yang digulingkan, dan periode antara tahun 1945 – 1949 bukanlah perang kemerdekaan, melainkan perang mempertahankan kemerdekaan. Pernyataan kemerdekaan (declaration of independence) republic Indonesia berbeda dengan pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat yang dicetuskan oleh pemimpin Amerika pada 4 Juli 1776, yang merupakan pemberontakan terhadap Kerajaan Inggris, yang pada waktu itu masih berkuasa.

Berdasarkan azas uti possidetis juris (atau iuris), yaitu prinsip dalam hukum internasional untuk menentukan batas wilayah suatu Negara. Azas ini diadopsi dari hukum Romawi, yang menyatakan bahwa batas wilayah dan pemilikan lainnya dari penguasa lama, menjadi milik penguasa baru, maka wilayah Republik Indonesia mencakup seluruh wilayah bekas Netherlands Indië (India Belanda)!

Tentara Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Inggris dan
Australia, yang ditugaskan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu) untuk melucuti senjata tentara Jepang (disarmament of Japanese forces) dan membebaskan para interniran Eropa dari tahanan Jepang (Recovery of allied prisoners of war and internees – RAPWI), serta memulihkan ketertiban dan keamanan (maintain law and order). Lord Louis Mounbatten, Supreme Commander South East Asia menugaskan Letnan Jenderal Sir Philip Christison memimpin Allied Forces in the Netherlands-Indies –AFNEI (Tentara Sekutu di India Belanda).

Untuk melaksanakan tugasnya, tiga British-Indian Division dibantu oleh dua divisi tentara Asutralia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morsehead. Satu divisi tentara Inggris ditugaskan untuk Sumatera, dua divisi lainnya ditugaskan ke Jawa. Dua divisi tentara Australia ditugaskan ke Indonesia Timur.

Sementara pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera belum terbentuk dengan sempurna, Belanda berusaha membangun kembali kekuatan dan kekuasaannya di Sumatera. Untuk mengejar waktu, pada 27 Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda memimpin 11 orang pasukan payung yang diterjunkan di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Pada 6 September 1945 Brondgeest mulai merekrut semua orang mantan tentara KNIL yang berada di kota Medan dan sekitarnya. Dalam waktu singkat dia dapat mengumpulkan ratusan orang dan mereka direkrut menjadi polisi yang membantu Brondgeest.

Kemudian pada 14 September 1945, Letnan II (Cadangan) Raymond Paul Pierre Westerling dengan pesawat udara mendarat di Medan memimpin rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B. de Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris Kapten Turkhaud dan Prajurit Sariwating asal Ambon. Westerling membawa seragam dan persenjataan untuk 175 orang. Mereka diperbantukan kepada Brondgeest.

Raymond Westerling lahir di Istambul, Turki, pada 31 Agustus 1919 sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou, yang berasal dari Yunani. Westerling, yang dijuluki “si Turki” karena lahir di Istambul, Turki, masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Dia mendapat pelatihan khusus dari tentara Inggris di Skotlandia. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolferhampton, dekat Birmingham. Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai: “It’s hell on earth” (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain “unarmed combat”, “silent killing”, “death slide”, “how to fight and kill without firearms”, ”killing sentry” dsb.

 Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command (Panglima tertinggi Komando Asia Tenggara). Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.

 Pada 15 Maret 1944 di London, Belanda mendirikan Bureau Bijzondere Opdrachten -BBO (Biro untuk Tugas Istimewa), kemudian Markas Besarnya berkedudukan di Brussel dan dipimpin oleh Pangeran Bernhard. Pada 23 Oktober 1944, Westerling dipanggil untuk bertugas di BBO di Brussel, dan pada 1 Desember 1944 pangkatnya naik menjadi Sersan Mayor. Tanggal 25 Juni 1945 dia masuk ke dinas KNIL dengan pangkat (reserve) tweede luitenant (Letnan II Cadangan) dan ditugaskan di Sri Lanka pada Anglo-Dutch Country Section yang di kalangan Belanda disebut Korps Insulinde (KI). Di Eropa, Jerman sudah menyerah dan kekalahan tentara Jepang hanya tinggal menunggu waktu saja. Di Australia dan Sri Lanka, Belanda melakukan persiapan besar-besaran untuk kembali ke Indonesia.

 Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat mau pun udara yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan tentara Republik. Segera setelah diangkat menjadi Panglima tertinggi Tentara Belanda di Hindia Belanda, Letnan Jenderal Spoor mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan infanteri, komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa.

 Pada 3 Maret 1946, 60 orang serdadu Belanda pertama kali tiba di Indonesia dan langsung dibawa ke Bandung, di mana mereka memperoleh pelatihan dari seorang perwira Belanda mantan anggota Korps Insulinde. Setelah itu, realisasi untuk pembentukan pasukan parasutis berjalan dengan cepat. Pada 12 Maret 1946, Letnan KNIL Jhr. M.W.C. de Jonge, Letnan KNIL Sisselaar dan Letnan KNIL A.L. Cox (dari Angkatan Udara) ditugaskan ke Eropa untuk melakukan penelitian serta meminta bantuan dari unit parasutis Inggris dan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan pelatihan parasutis di Hindia Belanda.

 Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek, dua perwira Belanda yang pernah bertugas di Korps Insulinde, dipanggil dari Sri Lanka ke Jakarta untuk menjadi pelatih calon pasukan para. Pada 15 Maret 1946 secara resmi School voor Opleiding van Parachutisten – SOP (Sekolah Pelatihan Parasutis) didirikan dan Kapten C. Sisselaar menjadi komandan pertamanya. Pasukan jebolan SOP inilah yang kemudian digunakan dalam agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 untuk menduduki Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu.

Agar supaya tidak dapat diketahui oleh pihak Republik, kamp pelatihan dipilih sangat jauh, yaitu di Papua Barat. Semula dipilih Biak, di mana terdapat bekas pangkalan udara tentara Amerika yang masih utuh. Kemudian pada bulan April tempat pelatihan dipindahkan ke Hollandia, juga di Papua Barat, yang arealnya dinilai lebih tepat untuk dijadikan kamp pelatihan.

 Yang dapat diterima menjadi anggota pasukan para tidak boleh melebihi tinggi 1,85 m dan berat badan tidak lebih dari 86 kg. Selain tentara yang berasal dari Belanda, orang Eropa dan Indo-Eropa juga pribumi yang menjadi tentara KNIL ikut dilatih di sini. Mereka berasal dari suku Ambon, Menado, Jawa, Sunda, Timor, Melayu, Toraja, Aceh dan beberapa orang Tionghoa. Pelatihan yang dimulai sejak bulan April 1946 sangat keras, sehingga banyak yang tidak lulus pelatihan tersebut. Sekitar 40% pribumi, 20% orang Eropa dan 15% orang Indo-Eropa dinyatakan tidak lulus menjalani pelatihan.

 Pada 1 Mei 1947 telah terbentuk Pasukan Para I (1e para-compagnie) yang beranggota 240 orang di bawah pimpinan C. Sisselaar, yang pangkatnya naik menjadi Kapten. Pada 1 Juni 1947, pasukan para tersebut dibawa ke lapangan udara militer Belanda, Andir (sekarang bandara Hussein Sastranegara), di Bandung. Dengan demikian pasukan ini berada tidak jauh dari kamp pelatihan tentara KNIL di Cimahi. Namun parasut yang dipesan sejak bulan Desember 1946 di Inggris baru tiba pada bulan Oktober 1947.

 Untuk Angkatan Darat, dibentuk pasukan khusus seperti yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Birma. Jenderal Mayor Charles Orde Wingate (1903 – 1944) yang legendaris membentuk pasukan khususnya yang sangat terkenal yaitu “The Chindits”, yang sanggup menerobos garis pertahanan musuh untuk kemudian beroperasi di belakang garis pertahanan musuh. Taktik seperti ini kemudian dikenal sebagai “Operasi Wingate”, yang juga dipergunakan oleh TNI selama agresi militer Belanda II.

Sejak kedatangannya di Indonesia pada bulan Desember 1945, Kapten KNIL W.J. Schneepens mengembangkan gagasan untuk membentuk suatu “speciale troepen” (pasukan khusus) dalam KNIL (Ayahnya, Lekol W.B.J.A. Scheepens adalah perwira Korps Marechaussee –marsose- yang bertugas di Aceh. Dia tewas pada tahun 1913 akibat tusukan rencong). Gagasan ini kemudian mendapat persetujuan pimpinannya. Pada 15 Juni 1946 dia mendirikan pusat pelatihan yang dinamakan Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus) yang ditempatkan langsung di bawah Directoraat Centrale Opleidingen - DCO (Direktorat Pusat Pelatihan) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal KNIL E. Engles. Direktorat ini baru dibentuk setelah Perang Dunia II untuk menangani pelatihan pasukan yang akan dibentuk di Hindia Belanda. Kamp dan pelatihan DST ditempatkan di Polonia, Jakarta Timur.

Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi Komandan pasukan khusus ini. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan, dan setelah “berhasil” menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.

Di kancah diplomasi, untuk perundingan selanjutnya Pemerintah Inggris mengirim seorang diplomat senior lain, Lord Miles Lampson Killearn, menggantikan Sir Archibald Clark-Kerr, yang karena jasa-jasanya, tingkat kebangsawanannya naik. Sir Archibald Clark Kerr kemudian begelar Lord Inverchapel dan mendapat tugas di Washington.

Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang paling dibenci oleh Belanda, diganti oleh Letnan Jenderal Sir Montague (“Monty”) Stopford, seorang keturunan langsung dari Admiral Stopford, komandan armada Inggris yang bersama Sir Thomas Stamford Raffles mengusir tentara Belanda dari India Belanda tahun 1811. Jenderal Stopford tidak lama bertugas di Indonesia karena dia sangat tidak menyenangi situasi yang dihadapi, yang dinilainya penuh ketidakjujuran dan intrik, dan tidak cocok untuk seorang perwira dan gentleman. Pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada van der Post (lihat: Post, Sir Laurens van der, The Admiral’s Baby, John Murray, London 1996 hlm. 268):

 I cannot imagine circumstances more lethal for a simple soldier than this mess of pottage you have in Indonesia.”

 Laurens van der Post adalah seorang perwira tentara Inggris kelahiran Afrika Selatan, yang bertugas di Indonesia (India-Belanda) dan tahun 1942 – 1945 diinternir di kamp interniran selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada bulan September 1945, dia diangkat menjadi Gubernur Militer tentara Inggris untuk Jakarta (Batavia).

Stopford kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5 –penghancur dan pembantai Surabaya November 1945- yang menjadi Panglima AFNEI sampai penarikan seluruh tentara Inggris, 15th British Army Corps, dari Indonesia pada akhir bulan November 1946.

Gilbert MacKereth, atasan van der Post, semula adalah Konsul Jenderal Inggris kemudian diangkat menjadi The British Minister in Indonesia. Di akhir masa tugasnya di Indonesia, dia membuat laporan kepada Pemerintah Inggris, di mana dia memberikan catatan, bahwa perilaku Belanda dan militernya yang brutal terhadap rakyat Indonesia telah membuat syok serdadu Inggris. Mengenai laporan Mackereth, van der Post menulis:
 “… Gilberth MacKereth, in his own report to the Secretary of State at the end of his mission, was to remark how the brutal behaviour of the Dutch and their soldiery towards the Indonesians had schocked the ordinary British soldiers…”

Sayang MacKereth tidak menyampaikan hal tersebut pada awal melainkan di akhir masa tugasnya di Indonesia, sehingga kebiadaban tentara Belanda serta antek-anteknya terhadap rakyat Indonesia tidak diketahui di Inggris. Selain itu MacKereth juga tidak menyampaikan, kekejaman tentara Inggris terhadap rakyat Indonesia, terutama di Surabaya pada bulan November 1945.

 Sementara itu, dua Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal Leslie "Ming the merciless" Morshead “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di wilayah Indonesia Timur, dan setelah wilayah tersebut “bersih dan aman”, diserahkan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA), sesuai persetujuan CAA (Civil Affairs Agreement) yang ditandatangani di Chequers dekat London, pada 24 Agustus 1945.

Sebenarnya persetujuan tersebut antara Inggris dan Belanda, di mana Inggris membantu Belanda “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan setelah kekuatan bersenjata RI dihancurkan, maka wilayah tersebut diserahkan kepada NICA. Namun karena Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South-East Asia Command tidak mempunyai cukup pasukan, hanya 3 British-Indian Divisions, maka tentara Inggris dibantu dua Divisi Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie Morsehead -yang karena kekejamannya mendapat julukan "Ming the merciless", tokoh kejam dalam cerita fiksi Flash Gordon- yang sebelumnya termasuk Komando Pasifik Baratdaya (South-West Pacific Area Command) pimpinan Letnan Jenderal Douglas MacArthur (Hutagalung-2001, hlm. 164 – 165). Hal ini jelas penyalahgunaan tugas dari Allied Forces (tentara Sekutu).

Setelah menganggap bahwa Indonesia Timur telah “bersih” dan aman, maka pada 15 Juli 1946 tentara Australia “menyerahkan” wilayah Indonesia Timur kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Kemudian van Mook segera memanggil orang-orang Indonesia dari Indonesia Timur pendukung Belanda untuk mengadakan pertemuan di Malino, dekat Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 16-22 Juli 1946 Belanda menggelar yang dinamakan Konferensi Malino untuk mendirikan “Negara Indonesia Timur”, yang dikukuhkan dalam konferensi di Denpasar, Desember 1946.

Inggris yang kemudian diwakili oleh Lord Killearn, memfasilitasi kembali perundingan lanjutan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda yang dimulai pada 7 Oktober 1946. (lihat: Hatta, Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta 1962, hlm. 493). Delegasi Republik tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir, dan delegasi Belanda kini dinamakan Komisi Jenderal yang dipimpin oleh Profesor Willem Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Tanggal 14 Oktober diumumkan berlakunya gencatan senjata. Hal ini sangat diinginkan oleh Inggris, agar mereka dapat dengan tenang menarik seluruh tentaranya dari medan pertempuran melawan Republik, serta memulangkan para prajurit yang telah jenuh dan lelah dengan perang -sejak tahun 1939, sejak pecahnya Perang Dunia II di Eropa- kembali ke negaranya.

 Pada 11 November 1946 tempat perundingan dipindahkan ke Linggajati, dekat Cirebon, sehingga hasil perundingan tersebut kemudian dinamakan Persetujuan Linggajati. Butir yang terpenting bagi Indonesia tertuang dalam pasal 1, yaitu:
 “Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda, dengan berangsur-angsur dan dengan kerjasama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik.”

Pembantaian di Sulawesi Selatan
Sementara hasil perundingan Linggajati tengah dalam proses ratifikasi (diratifikasi oleh kedua Negara pada 25 Maret 1947), tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian masal terhadap rakyat Indonesia di daerah-daerah yang mendukung Republik Indonesia di luar Jawa dan Sumatera.

Walau pun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.

 Oleh karena itu, pada 9 November 1946 Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

 Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang tentara dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, Netherlands Eastern Forces Intelligent Service - NEFIS (Badan Intelijen Militer Belanda) telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.

 Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Westerling menyusun suatu buku pedoman untuk Counter Insurgency.

 Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

 Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

 Fase kedua dimulai, yaitu mencari “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para “teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke excecuties, yaitu tembak mati di tempat, tanpa proses pengadilan, tuntutan dan pembelaan. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah "11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.”

 Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir “teroris dan perampok.” Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 penduduk desa.

 Demikianlah “sweeping a la Westerling.” Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

 Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar. Hasilmya: 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris” dieksekusi.

 Setelah daerah sekitar Makassar “dibersihkan”, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.

 Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

 Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor memberlakukan Noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh. Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello (15.1.), Abokangeng (16.1.), Padakalawa (17.1.), satu desa tak dikenal (18.1.) Enrekang (18.1.) Talanbangi (19.1.), Soppeng (22.1), Barru (25.1.) Malimpung (27.1) dan Suppa (28.1.).

 Seorang saksi mata yang menyaksikan sendiri pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di bawah Westerling dan kemudian menjadi korban pemerkosaan oleh seorang perwira Belanda adalah Sitti Hasanah Nu’mang (lihat: Nu’mang, Sitti Hasanah, dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995, hlm 258 – 263). Berikut ini adalah cuplikan penuturannya:

 “... Dengan tidak diduga-duga, serdadu NICA mulai mendatangi rumah, dan membawa ayah pergi. Tidak lama kemudian, mereka datang lagi untuk mengambil paman saya, Puang Side. Datang yang ketiga kalinya, tibalah giliran saya dibawa ke kantor MP (Polisi Militer). Di sini saya bertemu ayah, Puang Side dan banyak lagi teman-teman seperjuangan yang lain.

Dua minggu di sel MP bersama ayah dan Puang Side, kami lalu dibawa ke penjara besar Pare-Pare. Kami bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan. Kira-kira sebulan lebih menjadi penghuni rumah tahanan.
Pagi itu tanggal 4 Januari 1947, kira-kira pukul 08.00, sebuah jeep MP berhenti di depan penjara besar Pare-Pare. Seorang sersan mayor turun dari jeep itu diikuti beberapa militer yang lain. Mereka berseragam loreng, bertopi baja, lengkap bersenjata sangkur terhunus, bahkan ada yang menyandang stengun. Mereka masuk penjara, kemudian memanggil satu presatu nama tahanan Merah-Putih yang belum diadili. Lalu kami disuruhnya berbaris dua-dua keluar penjara menuju kantor. Sampai di depan kantor, kami disuruh jongkok di tanah. Tidak lama kemudian, kami diperintahkan lagi keluar menuju lapangan tenis. Begiru kami berhenti, kami dibentak disuruh berangkat menuju ke barat. Di lapangan tenis, para serdadu tersebut berdiri melingkari barisan kami. Ketika semua sudah jongkok, saya tetap berdiri di tengah, dekat ayah. Saya pikir, jongkok atau berdiri toh akan sama-sama ditembak juga.

Tak lama kemudian, datanglah sebuah jeep, di atasnya duduk dua orang Belanda, seorang berbaret merah, sedangkan yang lain orangnya gemuk becelana pendek dan pakai topi helm. Salah seorangnya ternyata adalah Westerling itu mendekati ayah, dan berteriak, “inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontak! Saya akan selesaikan satu persatu!!” Kemudian terdengar suara tembakan yang memberondong, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. ayah gugur ..... Satu per satu saudara saya roboh ke tanah. Selesai menembak, westerling melangkah di depan saya lalu menggertak kasar, “Ini perempuan juga mau melawan Belanda ya!?”
“Heh, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami sendiri!!!” teriak saya geram...

...Saya diam termanggu-manggu, heran mengapa saya disisakan, tidak dibunuh bersama yang lain? Tiba-tiba seorang serdadu mendorong saya, saya disuruh naik jeep, kembali ke markas MP. Ketika mesin mulai menderu, saya masih sempat menoleh, melihat jenazah ayah dan saudara-saudara seperjuangan bergelimpangan di tanah ...

Hari itu saya bermalam di MP. Besoknya, saya dibawa lagi ke penjara besar Pare-Pare. setelah semalam di kamar sel, keesokan harinya saya dipindahkan, dicampur dengan perempuan nakal. Di sini saya tinggal lima malam. Malam itu, kira-kira pukul 21.00 malam, kamar saya dibuka penjaga, seorang MP. “Bangun! Dipanggil Tuan Besar!” bentaknya memerintah. Saya tergopoh-gopoh bangun, lalu mengikuti orang yang memanggil, menuju ke kamar Mayor de Bruin. Di situ ada dua orang tamunya, yang kemudian saya kenal sebagai van der Velaan dan seorang KNIL yang saya tidak tahu namanya. Mereka bertiga sedang ngobrol sambil menghadapi minuman keras di meja, membelakangi saya sambil menuang minuman di gelas. Entah minuman keras apa yang dituang, saya tidak lihat. Kemudian minuman itu disodorkannya kepada saya sambil berkata, “Ini limun, bukan apa-apa!” saya dipaksa minum sambil pistolnya dipegang-pegang. Belum seberapa saya meminumnya, kepala saya langsung pusing. Saya melihat dua orang Belanda tadi cepat-cepat ke luar ruang dan ... saya pun tidak sadarkan diri.

Kira-kira pukul 05.00 subuh, saya baru sadar. Saya langsung marah-marah mencaci maki Mayor de Bruin, “Kenapa saya disiksa begini? Kenapa tidak dibunuh saja? Kurang ajar, tidak berperikemanusiaan! Apa ini hukuman yang dijatuhkan kepada saya?!” Subuh itu juga saya tinggalkan kamar itu dan pindah ke kamar saya semula. Dalam kesendirian saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya ... Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu...”

 Saksi mata dan juga korban lain yang mengalami kekejaman tentara Belanda adalah Hj. Oemi Hani A. Salam (lihat: Salam, Hj. Oemi Hani A., Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45, hlm. 174 – 178), yang menuturkan pengalaman dan penderitaannya:
 “... Setelah itu, saya dibawa dan dijebloskan ke dalam tahanan di tangsi KNIL Majene. Jumlah tahanan yang ada bertambah menjadi delapan puluh orang, termasuk Ibu Depu, Siti Ruaidah, Muhamad Djud Pance, dan A.R. Tamma, yang kesemuanya merupakan aktivis PRI, aktivis KRIS muda, atau kedua-duanya.

Saya masih meringkuk dalam kamar tahanan, yang hanya berukuran 3 x 3 m, ketika terjadi peristiwa maut Galung Lombok yang teramat mengerikan pada tanggal 2 Februari 1947. Peristiwa pembantaian yang didalangi anjing-anjing Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di lain-lain daerah. Pada peristiwa yang memilukan hati itu, pahlawan M. Yusuf Pabicara Baru, anggota Dewan Penasihat PRI, bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru.

Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut. Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang gantungan, dipukul bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung, mulut dan telinganya. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang bajingan NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
...Kami bersyuku,r bahwa kami luput dari pembunuhan kejam tersebut karena nama kami, yakni Ibu Depu, Rusidah, saya dan lain-lain tidak terdapat dalam daftar ‘perampok’. ... “

Pembantaian di Galung Lombok
Pada 1 Februari 1947 terjadi pembantaian terhadap penduduk sipil di desa Galung Lombok, yang termasuk paling kejam di dunia. Galung Lombok termasuk Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar,  Provinsi Sulawesi Barat. Letaknya sekitar 300 km di sebelah utara Makassar dan sekitar 8 km dari Majene, Ibukota Sulawesi Barat.

Letnan Vermeulen memimpin langsung pasukan DST ke Galung Lombok. Ribuan masyarakat dari desa-desa di sekitarnya, seperti Tinambung, Majene, Tande dan Renggeang digiring ke Galung Lombok untuk menyaksikan eksekusi terhadap sejumlah tahanan politik dan mereka yang dituduh sebagai ekstremis yang ditahan di Majene.

Di hamparan sebuah alun-alun mereka dipersaksikan sekitar 30 mayat yang terkapar dalam genangan Lumpur bersimbah darah yang masih segar. Mereka yang korban itu adalah pemimpin-pemimpin politik dari masyarakat Mandar yang dicap oleh pasukan Westerling sebagai ekstremis yang membangkang atau menentang kekuasaan pemerintah Belanda.

Sore hari, tiba-tiba ada laporan bahwa di Segeri Talolo, Majene, terjadi penghadangan terhadap rombongan pasukan Belanda, yang mengakibatkan tiga orang tentara Belanda tewas. Akibat laporan ini, Vermeulen sangat marah dan memerintahkan untuk memberondong secara membabi buta kerumunan manusia dengan senapan mesin otomatis. Korban berjatuhan saling bertindihan antara satu dengan yang lain. Sedangkan yang masih hidup, membenamkan tubuhnya dalam-dalam ke dalam kubangan darah saudara-saudaranya yang sudah tewas.

Dalam laporannya tahun 1969, sebagaimana tertera di De Exessennota, pemerintah Belanda menyatakan, bahwa korban tewas dalam pembantaian massal di Galung Lombok antara 350 – 400 orang.

Cuplikan dari laporan pemerintah Belanda tahun 1969 di De Exessennota.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh. Pemerintah Belanda sendiri juga mengakui, bahwa pembantaian di desa Kulo dilakukan dengan semena-mena.

 H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Demikianlah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Raymond P.P. Westerling.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan, menghianati bangsanya sendiri.

Berdasarkan laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional). Karena kuatir pers Belanda dan internasional akan mengendus pembantaian-pembantaian yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya, maka Pasukan DST segera ditarik kembali ke Jawa.

 Dengan keberhasilan menumpas para “teroris”, tentu saja di kalangan Belanda –baik militer mau pun sipil- reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.” Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

 Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL.

Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya kini Kapten.

 Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

 Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat teror yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 (!) orang.

 Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena dia memperoleh “licence to kill” (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook, untuk melancarkan aksi terornya yang dinamakan “contra-guerilla.” Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda!


Kudeta" Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

 Setelah Persetujuan Renville, anggota pasukan KST (Korps Speciale Troepen) ditugaskan juga untuk melakukan patroli dan “pembersihan”, antara lain di Jawa Barat. Namun sama seperti di Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling melakukan pembunuhan sewenang-wenang terhadap penduduk di Jawa Barat. Perbuatan ini telah menimbulkan protes di kalangan tentara KL (Koninklijke Leger) dari Belanda, yang semuanya terdiri dari pemuda wajib militer dan sukarelawan Belanda.

 Pada 17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya, membuat laporan kepada atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen di mana Schill mengadukan ulah pasukan elit KST yang dilakukan pada 13 dan 16 April 1948. Di dua tempat di daerah Tasikmalaya dan Ciamis, pasukan KST telah membantai 10 orang penduduk tanpa alasan yang jelas, dan kemudian mayat mereka dibiarkan tergeletak di tengah jalan.

 Pengaduan ini mengakibatkan dilakukannya penyelidikan terhadap pasukan khusus pimpinan Westerling. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang kemudian mencuat ke permukaan. Di samping pembunuhan sewenang-wenang, juga terjadi kemerosotan disiplin dan moral di tubuh pasukan elit KST. Kritik tajam mulai berdatangan dan pers menuding Westerling telah menggunakan metode Gestapo (Geheime Staatspolizei), polisi rahasia Jerman yang terkenal kekejamannya semasa Hitler, dan hal-hal ini membuat gerah para petinggi tentara Belanda.

 Walaupun Jenderal Spoor sendiri sangat menyukai Westerling, namun untuk menghindari pengusutan lebih lanjut serta kemungkinan tuntutan ke pangadilan militer, Spoor memilih untuk menon-aktifkan Westerling. Pada 16 November 1948, setelah duasetengah tahun memimpin pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST) kemudian KST (Korps Speciale Troepen), Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST adalah Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek. Setelah pemecatan atas dirinya, Westerling menikahi pacarnya dan menjadi pengusaha di Pacet (Puncak), Jawa Barat.

 Namun ternyata Westerling tidak berpangku tangan dan menikmati kehidupan seorang sipil, melainkan aktif menjaga hubungan dengan bekas anak buahnya dan menjalin hubungan dengan kelompok Darul Islam di Jawa Barat. Secara diam-diam ia membangun basis kekuatan bersenjata akan digunakan untuk memukul Republik Indonesia, yang direalisasikannya pada 23 Januari 1950, dalam usaha yang dikenal sebagai “kudeta 23 Januari.”

 Pada 23 Januari 1950, segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond "si Turki" Westerling, mantan komandan pasukan khusus KST (Korps Speciale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Ternyata aksi gerombolan ini -yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Kudeta APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)- telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

 Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.

 Pada 25 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor yang meninggal secara misterius (ada yang mengatakan, bahwa Spoor bunuh diri karena kecewa atas persetujuan Roem-Royen yang membidani Konferensi Meja Bundar). Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan dia (Westerling) melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumors, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut. Bahwa van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling adalah suatu kesalahan, karena kurang dari satu bulan kemudian terbukti, bahwa Westerling melaksanakan niat jahatnya yang membawa malapetaka baru bagi bangsa Indonesia terutama TNI.

 Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.

 Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

 Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Hal ini tentu merupakan suatu ironi, karena Hatta sendiri serta banyak pemimpin bangsa Indonesia pernah menjadi korban exorbitante rechten.

 Sementara itu, pada 10 Januari 1950 Westerling mengunjung Sultan Hamid II dari Kalimantan, di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.

 Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

 Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau, terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya."

Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.

 Pukul 8.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya, dan pada pukul 9.00 Letkol Sadikin mendatangi Engles. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah melakukan desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.

 Di kota Bandung, secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. Hari itu, 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.

 Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.

 Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.

 Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.

 Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).


Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling
 Setelah kegagalan "kudeta" yang sangat memalukan itu, pemerintah Belanda memutuskan untuk secepat mungkin mengevakuasi pasukan RST. Pada sidang kabinet tanggal 6 Februari dipertimbangkan, untuk memindahkan pasukan RST ke Papua Barat, karena membawa mereka ke Belanda akan menimbulkan sejumlah masalah lagi. Pada 15 Februari 1950 Menteri Götzen memberi persetujuannya kepada Hirschfeld untuk mengirim pasukan RST yang setia kepada Belanda ke Belanda, dan pada hari itu juga gelombang pertama yang terdiri dari 240 anggota RST dibawa ke kapal Sibajak di pelabuhan Tanjung Priok. Komandan RST Letkol Borghouts terbang ke Belanda untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

 Disediakan tempat penampungan di kamp Prinsenbosch dekat Chaam, 15 km di sebelah tenggara kota Breda. Pada 17 Maret 1950 gelombang pertama pasukan RST tiba di tempat penampungan, dengan pemberitaan besar di media massa. Pada 27 Maret dan 23 Mei 1950 tiba dua rombongan pasukan RST berikutnya. Keseluruhan pasukan RST bersama keluarga mereka yang ditampung di Prinsenbosch sekitar 600 orang. Sekitar 400 orang telah didemobilisasi di Jakarta, dan di Batujajar sekitar 200 orang pasukan RST, sedangkan 124 orang pasukan RST yang terlibat dalam aksi Westerling, ditahan di pulau Onrust menunggu sidang pengadilan militer.

 Jumlah tentara Belanda yang ditahan untuk disidangkan jelas sangat kecil, dibandingkan dengan yang tercatat telah ikut dalam aksi kudeta Westerling, yaitu lebih dari 300 orang.

 Demikianlah akhir yang memalukan bagi pasukan elit Reciment Speciale Troepen (RST) yang merupakan gabungan baret merah (1e para compagnie) dan baret hijau (Korps Speciale Troepen) yang pernah menjadi kebanggaan Belanda, karena "berjasa" menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.

 Namun bagi Westerling dan anak buahnya yang tertangkap, ceriteranya belum berhenti di sini. Westerling sendiri masih membuat pusing pimpinan Belanda, baik sipil mau pun militer di Jakarta. Dia merencanakan untuk lari ke Singapura, di mana dia dapat memperoleh bantuan dari teman-temannya orang Tionghoa. Maka dia kemudian menghubungi relasinya di Staf Umum Tentara Belanda di Jakarta.

 Sejak kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan mendatangkan isteri dan anak-anaknya ke Jakarta. Dia selalu berpindah-pindah tempat, antara lain di Kebon Sirih 62 a, pada keluarga de Nijs.

 Pada 8 Februari 1950 isteri Westerling menemui Mayor Jenderal van Langen, yang kini menjabat sebagai Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling menyampaikan kepada van Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya. Hari itu juga van Langen menghubungi Jenderal Buurman van Vreeden, Hirschfeld dan Mr. W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga sedang berada di Jakarta. Pokok pembicaraan adalah masalah penyelamatan Westerling, yang di mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan. Dipertimbangkan antara lain untuk membawa Westerling ke Papua Barat. Namun sehari setelah itu, pada 9 Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda berhasil menangkap Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan agar Westerling diserahkan kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka tidak mungkin menolong Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat memalukan Pemerintah Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda untuk mengurungkan rencana menyelamatkan Weterling.

 Namun tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10 Februari Mayor Jenderal van Langen memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari Indonesia. Dengan bantuan Letkol Borghouts -pengganti Westerling sebagai komandan pasukan elit KST- pada 16 Februari di mess perwira tempat kediaman Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung pertemuan dengan Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada Mayor Jenderal van Langen.

 Westerling pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa hari di tempat Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada Mayor van der Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van Langen dan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi Tentara Belanda. Dan selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada Sekretaris Negara Andreae Fockema. Dengan demikian, kecuali Hirschfeld, Komisaris Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta –baik militer maupun sipil- mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggungjawab.

 Pada 17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor van der Veen ditugaskan untuk menyusun rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar Indonesia dengan pesawat Catalina milik Marineluchtvaartdienst - MLD (Dinas Penerbangan Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral J.W. Kist. Rencana ini disetujui oleh van Langen dan hari itu juga Westerling diberitahu mengenai rencana ini. Van der Veen membicarakan rincian lebih lanjut dengan van Langen mengenai kebutuhan uang, perahu karet dan paspor palsu. Pada 18 Februari van Langen menyampaikan hal ini kepada Jenderal van Vreeden.

 Van der Veen menghubungi Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan rencana tersebut. Vroon menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan dari pihak KNIL untuk menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist memberi persetujuannya, walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan sesungguhnya. Jenderal van Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya menjelaskan, bahwa diperlukan satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang perwira tinggi ke kepulauan Riau. Tak sepatah kata pun mengenai Westerling.

 Kerja selanjutnya sangat mudah. Membeli dolar senilai f 10.000,- di pasar gelap; mencari perahu karet; membuat paspor palsu di kantor Komisaris Tinggi (tanpa laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor adalah Willem Ruitenbeek, lahir di Manila.

 Pada hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah "kudeta" yang gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh van der Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di pelabuhan Tanjung Priok. Westerling hanya membawa dua tas yang kelihatan berat. Van der Veen menduga isinya adalah perhiasan. Pesawat Catalina hanya singgah sebentar di Tanjung Pinang dan kemudian melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Mereka tiba di perairan Singapura menjelang petang hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai Singapura pesawat mendarat di laut dan perahu karet diturunkan.

 Dalam bukunya De Eenling, Westerling memaparkan, bahwa perahu karetnya ternyata bocor dan kemasukan air. Beruntung dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap ikan Cina yang membawanya ke Singapura. Setibanya di Singapura, dia segera menghubungi temanTionghoanya Chia Piet Kay, yang pernah membantu ketika membeli persenjataan untuk Pao An Tui. Dia segera membuat perencanaan untuk kembali ke Indonesia.

 Namun pada 26 Februari 1950 ketika berada di tempat Chia Piet Kay, Westerling digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara Changi. Rupanya, pada 20 Februari ketika Westerling masih di Jakarta, Laming, seorang wartawan dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan bahwa Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan melanjutkan ke Eropa. Pada 24 Februari Agence Presse, Kantor Berita Perancis yang pertama kali memberitakan bahwa Westerling telah dibawa oleh militer Belanda dengan pesawat Catalina dari MLD ke Singapura. Setelah itu pemberitaan mengenai pelarian Westerling ke Singapura muncul di majalah mingguan Amerika, Life.  Pemberitaan di media massa tentu sangat memukul dan memalukan pimpinan sipil dan militer Belanda di Indonesia.

 Kabinet RIS membanjiri Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan. Hirschfeld sendiri semula tidak mempercayai berita media massa tersebut, sedangkan Jenderal Buurman van Vreeden dan Jenderal van Langen mula-mula menyangkal bahwa mereka mengetahui mengenai bantuan pimpinan militer Belanda kepada Westerling untuk melarikan diri dari Indonesia ke Singapura. Keesokan harinya, tanggal 25 Februari Hirschfeld baru menyadari, bahwa semua pemberitaan itu betul dan ternyata hanya dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh van Vreeden, van Langen dan Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk menyelamatkan Westerling dari penagkapan oleh pihak Indonesia.

 Fockema segera menyatakan bahwa dialah yang bertanggung- jawab dan menyampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali tidak mengetahui mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang sangat memalukan Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara Hirschfeld dengan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik nol.

 Pada 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap atas tuduhan terlibat dalam "kudeta" Westerling bulan Januari 1950.

 Pada 7, 8, 10 dan 11 Juli 1950 dilakukan sidang Mahkamah Militer terhadap 124 anggota pasukan RST yang ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pada 12 Juli dijatuhkan keputusan yang menyatakan semua bersalah. Namun sebagian besar hanya dikenakan hukuman yang ringan, yaitu 10 bulan potong tahanan, beberapa orang dijatuhi hukuman 11 atau 12 bulan, satu orang kena hukuman 6 bulan dan hanya Titaley diganjar 1 tahun 8 bulan. Tidak ada yang mengajukan banding. Hukuman yang sangat ringan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Belanda terhadap tentara Belanda yang telah membantai 94 anggota TNI, termasuk Letkol Lembong, menunjukkan, bahwa Belanda tidak pernah menilai tinggi nyawa orang Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Eropa, tentara Jerman yang terbukti membunuh orang atau tawanan yang tidak berdaya dijatuhi hukuman yang sangat berat, dan bahkan para perwira yang memerintahkan pembunuhan, dijatuhi hukuman mati.

 Sementara itu, setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan, bahwa Westerling sebagai warganegara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia. Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan, bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang pendukung Westerling.

 Westerling sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda di mana dia akan segera ditahan, namun –dengan izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia. Dia segera dikunjungi oleh wakil-wakil orang Ambon dari Den Haag, yang mendirikan Stichting Door de Eeuwen Trouw - DDET (Yayasan Kesetiaan Abadi). Mereka merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk menggerakkan pemberontakan di sana. Di negeri Belanda sendiri secara in absentia Westerling menjadi orang yang paling disanjung.

 Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April Westerling ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada 13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Puncak pelecehan Belanda terhadap bangsa Indonesia terlihat pada keputusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober 1952, yang menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia.

 Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam berbagai pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan dia ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab:
 "Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan."

 Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet Belanda atas penghinaan tersebut.

 Pada 17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955 Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis.

 Dengan demikian, bagi orang Belanda pembantaian ribuan rakyat di Selawesi Selatan tidak dinilai sebagai pelanggaran HAM, juga "kudeta' APRA pimpinan Westerling tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau pemberontakan terhadap satu negara yang berdaulat.

 Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika.

 Kemudian bagaimana dengan nasib KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)? Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, KNIL dinyatakan dibubarkan. Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang ingin masuk ke TNI harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian di tahun 70-an mencapai pangkat Jenderal Mayor TNI!

 Westerling meninggal dengan tenang tahun 1987.

 Referensi
  • Bank, Jan, (Editor), De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950, Sdu Uitgeverij Koninginnengracht, Den Haag, 1995.
  • Banru, M. Thalib, Tragedi Berdarah di Galung Lombok. Brosur.
  • Hutagalung, Batara R., Serangan Umum 1 Maret 1949, Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010.
  • Ijzereef, Willem, De Zuid-Celebes Affaire. Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies. De Batafsche Leeuw, Groningen, 1984.
  • de Moor, Joop A., Westerling’s Oorlog, Indonesie 1945 – 1950, Uitgeverij Balans, Netherlands, 1999,
  • Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995
 Catatan:
Pada 27 Agustus 2005, bertempat di kediaman Sdr. Andi Tenri Gappa, saya dapat bertemu dengan Ibu Hj. Oemi Hani A. Salam, yang waktu itu berusia 82 tahun. Beliau masih aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan, dan ingatan beliau masih sangat kuat. Ibu Oemi menyampaikan, bahwa beberapa saksi mata kini masih hidup dan dapat memberikan keterangan mengenai pembantaian yang dilakukan oleh Westerling tahun 1946/1947 di Sulawesi Selatan.

  
*******

5 comments:

Wal Suparmo said...

Sedikit komentar:
1) Mengenai kabar bunuh diri Jendral H.Spoor memang karena sangat kecewa bahwa operasi militer yg dilakukannya dengan susah payah untuk menduduki ibu kota Republik Indonesia ( yg oleh Belanda disebut republik Yogja karena semua daerah ex Hindia Belanda telah diduduki Belanda kembali).Sekongong-konyong semua pasukan harus ditarik mundur akibat diadakannya perundingan antara Indonesia -Belanda karena tekanan dari Amerika dengan Mashall - plannya.Yg tak sudi kalau dipergunakan Belanda untuk membiayai perang kolonial padahal tujuannya untuk membangun negara Belanda yg hancur lebur sesudah Perang Dunia ke II.Sehingga Belanda harus keluar/mundur dari Indonesia.
2)Meskipun masih anak-anak saya ada di Sulawesi Selatan waktu itu dan menurut salah satu anak buah Emmy Saelan yaitu Ibu Salawati Daud, mengingat sedikitnya jumlah penduduk pada waktu itu, yang dibunuh Westerling kurang lebih 400.Tidak mungkin 40.000 orang . Angka itu yg berasal dari pidato Kahar Muzakar di dalam rapat akbar di aloon-aloon Yogya untuk memgelorakan semangat rakyat pada waktu itu.

batarahutagalung said...

1) Benar sekali.
2) Mengenai jumlah 400 korban, mungkin yang dimaksud hanya di Galung Lombok, bukan seluruh korban Westerling.
Laporan resmi pemerintah Belanda (lihat cuplikan di tulisan di atas) menyebut jumlah korban di Galung Lombok antara 350 - 400. Dalam laporan pemerintah Belanda di De Exessennota tahun 1969, disebutkan, korban tewas di Sulawesi Selatan sekitar 3.000 jiwa.
Westerling sendiri menyatakan, telah mengesekusi 60 perampok, pengacau keamanan dan ekstremis.
Salam, Batara RH

batarahutagalung said...

Ralat: Pengakuan Westerling. Dia menyebut, yang dia bunuh jumlahnya 600 (enamratus), bukan 60 (enampuluh). Pernyataan ini ada di De Exsessennota tersebut

Wal Suparmo said...

Komentar bahwa Tentara Hindia Belanda(KNIL)dikalahkan dalam 3 hari oleh tentara Jepang adalah tidak benar( propaganda Jepang), karena :
1) Penyerangan yg pertama kali oleh tentara Jepang terhadap Hindia Belanda adalah serangan udara terhadap kota Pontianak tgl 19 Desember 1941( korban mati 500 orang).
2) Pendaratan pertama oleh tentara Jepang dilakukan di Menado dan Tarakan tgl 11 Januari 1942 . Pertempuran merebut kota Ambon dimulai tgl 30 Januari 1942 dan tantara Belanda menyerah tgl 5 Februari 1942.
3)Tentara ( Hindia) Belanda secara resmi baru menyerah kepada Jepang tgl 8 Maret 1942. Meskipun samapai tgl 31 Desember 1942 masih ada perlawanan dari tentara( Hindia ) Belanda di Papua.
Peperangan ini sangat tidak seimbang.
1) Kekuatan seluruh tentara KNIL hanya 75 000 orang dan ditambah dengan semua pasukan wajib latih dan wajib bela menjadi sekitar 85 orang. Ditambah dengan beberapa batalon tentara Australia.Tetapi idak akan melebihi 90 000 orang.
2)Ilustrasi: Kekuatan tentara KNIL di Ambon dibawah letkol J.L.R Kapitz yg di antaranya terdapat Kapt.J.Kaseger dan Lettu Didi Kartasasmita, hanya 2600 orang dibantu tentara Australia sejumlah 1170 orang dibawah pimpinan Letkol Scott.
3)Sedangkan penyerang tentara Jepang dibawah Majen Takeo Ito berjumlah 5300 orang dibantu pasukan marinir kurang lebih 1000
orang
4) Tentara KNIL pada waktu itu memang dimaksudkan hanya untuk menjaga keamanan dalam negeri. Ibarat BRIMOB pada waktu ini.Sehingga perang yg terjadi tidak seimbang mengingat tentara Jepang yg datang menyerag sekitar 900.000 orang atau kira-kira 10 kali lipat dengan persenjataan untuk melawan tentara dunia( Amerika, Iggris Austyralia) yg kuat.

batarahutagalung said...

Memang tak ada yang mengatakan atau menulis, bahwa Netherlands – Indië diduduki oleh Jepang dalam tiga hari.
Segila-gilanya Jepang, juga tidak akan menulis seperti ini karena akan langsung dijawab oleh ABDACOM dengan data-data yang sangat rinci mengenai jalannya setiap pertempuran. Rincian penyerbuan Jepang ke Asia Tenggara, termasuk ke Netherlands-Indië dapat dibaca di internet.
Juga dapat dibaca di buku saya: “SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia”, 742 halaman. Penerbit LKiS Yogyakarta.
Termasuk di dalamnya cukup rinci saya tulis mengenai penyerbuan ke Jawa, yang diawali perang di laut Jawa (War at Java Sea) pada 27 Februari 1942, di mana armada ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) dihancurkan oleh angkatan laut Jepang dalam satu hari. Setelah itu, pada 1 Maret 1942 dimulai pendaratan di Banten, Kranggan dan Eretan Wetan.
Pada 9 Maret 1942, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen Hein ter Poorten, di Lanud Kalijati, menandatangani pernyataan menyerah-tanpa-syarat kepada balatentara Dai Nippon di bawah Letjen Hitoshi Imamura. (lihat halaman 19 – 37 di buku saya). Pada hari itu, berakhirlah penjajahan Belanda di Bumi Nusantara.