Tuesday, October 20, 2009

Dari Rawagede Ke Parlemen Belanda


DARI RAWAGEDE KE PARLEMEN BELANDA

 

Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung bersama Bert Koenders, Juru Bicara Fraksi Partai Buruh Belanda (PvdA), di Tweede Kamer, Den Haag


Rakyat Merdeka, 19 Desember 2005

Laporan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda


KAMIS (15/12) lalu, di gedung parlemen (tweede kamer) Belanda, Den Haag, berlangsung pertemuan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung, Ketua Dewan Kehormatan KUKB Laksamana Pertama TNI (Purn) Mulyo Wibisono MSc. dengan Bert Koenders —juru bicara fraksi Partai Buruh Belanda (PvdA) dan Angelien Eijsink — anggota frak¬si PvdA di parlemen Belanda

Dalam pertemuan dengan dua anggota parlemen Belanda dari Fraksi PvDA tersebut, Batara menyampaikan berbagai permasalahan yang ada antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda yang dianggap KUKB belum diselesaikan. Pertama, hingga kini Belanda tetap tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kedua, Belanda tetap tak mau minta maaf kepada bangsa Indonesia dan tidak pernah memperhatikan nasib para korban agresi militer Belanda, yang mereka sebut aksi polisionil ke I dan ke II di Indonesia.

Dalam konteks ini, KUKB mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Belanda untuk: 

Pertama, mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945; dan 

Kedua, minta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelangaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan.

Sejarah mencatat, pada 9 Desember 1947 tentara Belanda telah membantai 431 penduduk Rawagede. Pembantaian di Rawagede (Bekasi) dan di Sulawesi Selatan adalah kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan karena itu jelas melanggar konvensi Jenewa, yaitu dilarang membunuh penduduk sipil (non combatant).

Dan di Rawagede, bahkan yang dibunuh waktu itu adalah remaja-remaja bukan saja yang berumur 15 tahun, tapi ada yang masih berumur 12 tahun. Saat ini masih hidup 22 janda korban, 11 di antaranya sudah tinggal di panti jompo dan 11 orang hadir pada acara peringatan Pem¬bantaian di Rawagede, yang diselenggarakan 13 Desember lalu.

Dan Selasa (13/12) pekan lalu, dalam pembicaraan dengan para korban pembantaian yang masih hidup di Rawagede, Batara dan Mulyo menanyakan, apakah mereka tidak pernah menuntut kepada pemerintah Belanda mengenai masalah konpensasi.

Mereka jelas tidak mengetahui mengenai hal-hal tersebut dan sama sekali tidak pernah menerima bantuan atau konpensasi apapun dari pemerintah Belanda. Dan mereka menyatakan persetujuannya, agar kedua orang pimpinan Komite mewakili mereka untuk menyampaikan tuntutan mereka kepada pemeritah Belanda.

Berkenaan permasalahan yang diungkap Batara, Koenders menyatakan, mereka dari generasi yang lebih muda tak punya beban. Masalahnya menurut Koeders, sampai sekarang memang ada veteran-veteran Belanda masih bersikukuh tak mau mengakui dan tidak mau meminta maaf.

Dia menanyakan dua butir Petisi yang dikemukakan apakah sudah mendapat respon pemerintah Belanda Menjawab pertanyaan ini, Batara menyatakan, kegiatan KUKB sudah berlangsung tiga setengah tahun, tetapi sama sekali tidak ada respon dari pemerintah Belanda. Beda dengan pemerintah Inggris, lanjut Batara, setelah pihaknya mengadakan demo pada 10 November 1999 silam, pada 1 April 2000 kemudian sudah dikirim orang dari Departemen Luar Negeri Inggris bertemu pihaknya di Surabaya.

Koenders lalu berjanji menyampaikan dan mempertanyakan hal ini kepada pemerintah Belanda lewat parlemen, mengapa tidak ada respons sama sekali dari pemerintah Belanda. Koenders menilai, ini harusnya tidak boleh terjadi. RM

No comments: