Wednesday, December 31, 2008

Surat Terbuka Kepada Menteri Luar Negeri Belanda

KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA
COMMITTEE OF DUTCH HONORARY DEBTS
______________________________________________________________


Surat Terbuka Kepada
Yth. Drs. Maxime J.M. Verhagen
Menteri Luar Negeri Kerajaan Belanda


Jakarta, 30 Desember 2008

Kepada Yth.
Drs. Maxime J.M. Verhagen
Menteri Luar Negeri Kerajaan Belanda
d/a. Kedutaan Besar Kerajaan Belanda
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3
Kuningan, Jakarta Selatan
Indonesia


Yth. Menteri Maxime Verhagen,

Terlebih dahulu kami sampaikan penghargaan kami atas kehadiran Duta Besar Belanda, Dr. Nikolaos van Dam, pada acara Peringatan Peristiwa Tragedi di Rawagede, yang dilaksanakan di Monumen Rawagede pada 9 Desember 2008.

Sehubungan dengan pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Belanda, Aad Meijer pada 24 November 2008, sebagaimana diberitakan oleh The Associated Press pada 25 November 2008, bahwa pemerintah Belanda menawarkan untuk berdiskusi dengan para janda dan seorang korban selamat dari pembantaian di Rawagede, untuk membantu dalam dukacita mereka (”to help them with their grieving”), kami ingin mengetahui lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pernyataan ini.

Di Rawagede, kami telah membahas pernyataan ini dengan para keluarga korban. Dalam sambutannya pada acara peringatan di Rawagede, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) juga telah menanyakan mengenai hal ini kepada Duta Besar van Dam, namun beliau belum memberikan jawaban.

Namun untuk Kesah, 85 tahun, salah seorang dari para janda korban Rawagede, tawaran Anda untuk berdiskusi sudah terlambat. Dia meninggal kemarin pada 29 Desember 2008 pukul 09.00 (waktu setempat). Sa’ih, 86 tahun, korban terakhir yang selamat dari pembantaian di Rawagede, juga sedang sakit keras.

Dalam jawaban Mr. Aad Meijer sehubungan dengan penolakan atas tuntutan keluarga korban pembantaian, disebutkan alasan penolakannya adalah karena peristiwa tersebut telah sangat lama (too old), dan tidak dapat diterima, sebagaimana dikutip dari berita di Associated Press: ‘’Dutch government lawyer says no massacre compensation’’, bahwa : “…the case can no longer be heard because it is too old…”. …”).

Sehubungan dengan hal ini, kami ingin mengingatkan Anda, bahwa di International Criminal Court (ICC) yang berkedudukan di Den Haag, Ibukota Belanda, ada 3 (tiga) jenis kejahatan yang tidak mengenal kadaluarsa, yaitu pembantaian etnis (Genocide), kejahatan atas kemanusiaan (Crimes against humanity) dan kejahatan perang (war crimes).

Hal ini juga telah dikemukakan oleh Ketua KUKB dalam sambutannya. Sebagai contoh, pembantaian etnis (genocide) yang dilakukan oleh Turki terhadap etnis Armenia tahun 1915, sampai sekarang tetap dibahas di Eropa.

Para penjahat perang Jerman yang melakukan kejahatan perang selama Perang Dunia II (1939 – 1945), yang diduga masih hidup, sampai sekarang masih terus diburu. Juga orang-orang Belanda yang pernah diinternir oleh Jepang di kamp-kamp interniran selama masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942 – 1945, sampai sekarang masih tetap menuntut pemerintah Jepang untuk meminta maaf dan menuntut kompensasi atas perlakuan buruk yang mereka alami selama di kamp interniran.

Yang dituntut oleh bangsa Indonesia adalah kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia, setelah PD II selesai tahun 1945, yaitu di masa agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17.8.1945. Dengan demikian, usia peristiwa ini masih lebih muda dibandingkan dengan kejahatan perang Jerman dan Jepang, yang dituntut oleh mantan interniran.

KUKB menilai, hubungan Republik Indonesia – Belanda masih belum normal karena tidak adanya kesetaraan kedudukan Republik Indonesia dan Belanda.

Hal ini sehubungan dengan penolakan pemerintah Belanda atas pengakuan secara yuridis (de iure) terhadap proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945. Pendahulu Anda, Mr. Ben Bot dan Dubes Belanda van Dam meyatakan bahwa pengakuan de iure telah diberikan akhir tahun 1949, yaitu pada waktu penyerahan kedaulatan (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949.

Perlu Anda ketahui, bahwa negara yang diakui de iure oleh pemerintah Belanda, Republik Indonesia Serikat (RIS), telah dibubarkan pada 16.8.1950 dan pada 17.8.1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan RI (NKRI). Negara yang diakui oleh pemerintah Belanda –RIS- sudah tidak ada lagi, dan kini pemerintah Belanda berhubungan dengan NKRI yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945.

Kebijakan visa-on-arrival yang dinikmati oleh warga Belanda yang akan berkunjung ke Indonesia, ternyata tidak berlaku resiprokal, artinya timbal balik. Warga Belanda tidak perlu bersusah payah untuk memperoleh visa Indonesia, namun di lain pihak sangat sulit bagi warga Indonesia yang akan berkunjung ke Belanda, karena harus memenuhi berbagai persyaratan dan memerlukan waktu yang lama. Juga belum tentu memperoleh visa untuk Belanda. Alasan bahwa Belanda terikat dengan perjanjian Schengen tidak dapat diterima. Visa dapat diberlakukan terbatas, yaitu hanya untuk Belanda saja. Kebijakan pemberian visa-on-arrival yang hanya berlaku untuk satu pihak, bukanlah perjanjian antara dua negara yang sederajat. Ini adalah suatu ketidak adilan, dan menjadi bukti tidak adanya kesetaraan antara RI dan Belanda.

KUKB akan menyampaikan hal ini kepada Parlemen Republik Indonesia, agar Parlemen RI mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dengan Belanda, karena ternyata hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau menerima Republik Indonesia sebagai negara yang setara dengan Belanda. Apabila dua negara akan saling menjalin hubungan diplomatik, sudah seharusnya keduanya saling menghargai dan mengkui kedaulatan dan hari kemerdekaan masing-masing negara, dan tidak mendiktekan, kapan hari kemerdekaan negara mitra tersebut. Semua perjanjian kenegaraan harus berlaku resiprokal.

Kami sangat menghargai upaya dan respon yang ditunjukkan oleh Parlemen Belanda dan masyarakat Belanda sejak awal perjuangan kami menuntut keadilan bagi para korban kekejaman Belanda di Indonesia, terutama para korban Rawagede.

Kami yakin, bahwa Pemerintah Belanda sanggup untuk berbuat lebih banyak bagi para korban dan bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan, dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan hingga saat ini, yang memang baik, namun sangat disayangkan masih belum cukup.


Atas perhatian yang diberikan, kami sampaikan terima hasih.


Hormat kami,

Komite Utang Kehormatan Belanda

(Ttd.)
Batara R Hutagalung
Ketua


(Ttd.)
Dian Purwanto
Sekretaris

Tembusan:
1. Presiden RI
2. Parlemen RI
3. Tweede Kamer Belanda
4. Media massa

===============================
English translation




Open Letter
To The Honorable Drs. Maxime J.M. Verhagen
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands


Jakarta, December 30, 2008


To
The Hon. Drs. Maxime J.M. Verhagen
Minister of Foreign Affairs
The Netherlands

Via:     Embassy of the Kingdom of the Netherlands
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3
Kuningan, Jakarta 12950
Indonesia


Dear Minister Maxime Verhagen,

First and foremost, we would like to express our gratitude on the presence of the Ambassador of the Netherlands, Dr. Nikolaos van Dam, on the Commemoration of Rawagede tragedy, which was held in Rawagede Monument on December 9, 2008.

In conjunction to the statement of the Speaker of Ministry of Foreign Affairs of the Kingdom of Netherlands, Mr. Aad Meijer, on November 24, 2008 as reported by The Associated Press on November 25, 2008; that the Government of Netherlands offered to discuss the case with the widows and a survivor of Rawagede massacre in order ‘’to help them with their grieving’’; we would like to find out further the context of this statement.

In Rawagede, we have discussed this statement with families of the victims; and in his welcome speech during the commemoration of Rawagede incident, the Chairman of the Committee of Dutch Honorary Debts (KUKB) has made the same inquiry to Ambassador Van Dam, which unfortunately yet to be replied.

But for Mrs. Kesah, 85 years, one of the widows of the Rawagede victims, your offer for a discussion is too late. She died yesterday on December 9, 2008 at 09.00 (local time). Mr. Sa’ih, 86 years, the last survivor of the Massacre of Rawagede, is also seriously ill.





In Mr. Aad Meijer’ response to claims from families of Rawagede victims, the reasons of the rejection to the claims are the tragedy has been ‘’too old’’ and ‘’unacceptable’’, as quoted from the text from the Associated Press’ news ‘’Dutch government lawyer says no massacre compensation’’, that : “…the case can no longer be heard because it is too old…”.  In conjunction to this statement, we would like to remind you that in International Criminal Court which based in The Hague, the capital of the Netherlands, there are 3 (three) main classes of offense that do not expire,  which are: Genocide, Crimes Against Humanity and War Crimes.

These have also been mentioned by the Chairman of Dutch Honorary Debts Committee (KUKB) in his speech. As example, the genocide of Armenians by the Turks in 1915, is still much discussed in Europe today.

The German war criminals who committed war crimes during the World War II          (1939 – 1945) and believed are still alive today, are still searched and investigated. The same applied to Dutch victims who abducted and imprisoned by Japan in ‘internment camps’ during Japan occupation in Indonesia (1942-1945), Dutch people are still demanding the Government of Japan to apologize and providing compensation on the atrocities they experienced in the ‘interment camps’.

The inquiries made by Indonesian people are on the War  Crimes and Crimes Against Humanity which committed by Dutch military personnel in Indonesia aftermath of the World War II in 1945, during the period of Dutch military aggression after Indonesia declared its Independence on August 17, 1945. By a simple justification, this inquiry is more recent than, and as relevant as, the war crimes of German and Japan that pursued by the ex-internees.

The Committee of Dutch Honorary Debts (KUKB) assesses that the relationship between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands is still not normal, due to the absence of equal standings between the two nations.

This is in conjunction of the refusal of the Government of Netherlands to de iure acknowledgment of the Independence Day of the Republic of Indonesia, August 17, 1945. Your predecessor, Mr. Ben Bot and Ambassador of Netherlands Mr. Van Dam, have issued statement that de iure acknowledgment of Indonesian independence is given on late 1949, in the event of sovereign hand over (soevereniteitsoverdracht) from the Government of Netherlands to the Goverment of the United States of Republic Indonesia (RIS or Republik Indonesia Serikat) on December 27, 1949.

It is important to be brought to your attention, that the nation which being de iure acknowledged by the Government of Netherlands, which was the United States of Republic Indonesia (RIS), had been dissolved on August 16, 1950, and on August 17, 1950, the Unitarian Republic of Indonesia (Negara Kesatuan Republik Indonesia - NKRI) have been re-established. The Nation to which the acknowledgement designated to – the United States of Republic Indonesia – has no longer exist, and today the Government of Netherlands has relationship and deal with the Unitarian Republic of Indonesia which Independence was declared on August 17, 1945.



The ‘Visa on Arrival’ policy which enjoyed by citizens of the Netherlands on their visits to Indonesia is not ‘reciprocal’. It is effortless for Dutch citizens to obtain Indonesian visa, while on the other hand it is very difficult for Indonesian citizens to visit Netherlands, since they have to fulfill many requirements and go through red tapes that time consuming, with possibility not being able to obtain the visa. The reason that the Netherlands is bond by Schengen Agreement is hardly acceptable. ‘Visa on Arrival’ policy which applied on one party and not vice-versa does not qualify as mutual agreement of two nations with equal standings. This is example of unfairness and proof of the absence of equal standings between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands.

The Committee of Dutch Honorary Debts (KUKB) shall generate this matter to Indonesian Parliament; in order to inquire the Government of Indonesia to review the diplomatic relationship between the Government of Indonesia and the Government of Netherlands, in the basis that the Government of Netherlands still refuse to accept Republic of Indonesia as a nation equal to the Netherlands. If two nations are engaged in a diplomatic relationship, there should be mutual respects and mutual acknowledgment of each nation’ sovereignty and Independence Day – instead of one nation dictating what and when the other’ independence is. All the agreements between the two nations shall be in mutual basis and reciprocal.

We do appreciate efforts and responses shown by the Netherlands’ Parliament and the people of Netherlands since the start of our struggle and quest for justice for the victims of Dutch atrocities in Indonesia, especially the Rawagede victims.

We believe that the Government of Netherlands is able to do much more for the victims and Indonesian people in general, compared to what have been done until present, which is good, but sadly – still in-adequate.

Thank you for your attention.

Yours sincerely,

The Committee of Dutch Honorary Debts





Batara R Hutagalung                                            Dian Purwanto
Chairman                                                                  Secretary


Copy to          :           1. President of Republic of Indonesia
                                    2. Parliament of Republic of Indonesia
                                    3. Tweede Kamer of the Netherlands
                                    4. Mass Media